Sabtu, 22 September 2012

kisah nyata



Tak ada uang rokok pun jadi
Feature by nico

            Pagi ini cuaca di kota pontianak tampak terselubung kabut asap. Sekitar pukul 09.00, embun pagi masih turun perlahan mengiringi perjalananku. aku telah melewati jalan imam bonjol untuk menuju counter hp yang terletak di jalan tanjung pura.
            Setelah selesai membeli pulsa dan juga batery untuk hpku, aku hendak buru-buru pulang ke rumah karena masih ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Di perjalanan pulang, tiba-tiba seorang polisi berpakaian lengkap Polantas melintas di depan motorku. Aku terpaksa harus berhenti, tanpa aku tahu apa salahku.
“Boleh saya lihat surat-surat dan SIM nya?”, polisi itu langsung melontarkan perkataan itu padaku.
“Maaf pak, saya tidak ada bawa apa-apa”, aku menjawab jujur.
“Lalu apa yang kamu bawa? Motormu itu lampu belakangnya warna putih. Aturannya warna merah lampu itu”, polisi itu bernada agak kesal.
“KTP mu ada?”, polisi itu menanyakan lagi. Aku rogohkan dalam tas ku, ternyata KTP ku terselip disana.
“Ada pak”, sahutku sigap. Polisi itu langsung mengambil KTP ku sembari berkata,
“Ikut saya ke pos polisi”. Aku tersentak kaget dan ikut saja tanpa berkata apa-apa lagi.
            Setibanya di pos polisi tanjung pura, yang bersampingan dengan pasar tengah. Disana suasananya sangat ramai sekali, aku beranikan diri untuk masuk ke dalam pos itu. Disana ku jumpai polisi beberapa orang polisi. Di dalam pos, aku lama sekali menunggu pak polisi yang menyita KTP ku di jalan tadi. Aku risih dan tak tahu harus bagaimana setelah sekitar setengah jam menunggu salah seorang polisi bertanya padaku,
“nunggu siapa dek?”.
“Saya nunggu pak polisi yang tadi mengambil KTP ku”, jawab ku dengan wajah lesu. “Siapa nama polisi nya?”, tanya bapak itu lagi.
“Tak tahu nama nya, ndak sempat nanya juga tadi”, jawab ku apa ada nya.
“Ya kalau tidak tahu nama nya, kamu mau nunggu sampai kapan disini”, kata polisi itu tak bersahabat denganku. Aku kesal diperlakukan seperti ini, mungkin kata pepatah pontianak mengatakan “saket ati tak belawan”, itu lah keadaanku saat ini.
            Jarum jam terus berdetak, ia tak kenal lelah. Begitu juga aku yang tak lelah menatap ke arahnya terus menerus. Mungkin jarum jam itu sudah muak melihat mukaku yang sudah hampir satu jam setengah menunggu di hadapannya. Sudah banyak yang menyelesaikan urusannya disini, ada yang kena tilang karena motornya memakai knalpot racing, ada juga yang salah membelok di area tanjung pura, ada juga yang motornya tidak memiliki flat, dan banyak kasus yang ku jumpai. Sementara aku, hanya bengong seperti orang bodoh. Aku mencoba beranikan diri untuk bertanya pada pak polisi bernama pak Joko yang kebetulan adalah komandan.
“Pak, bagaimana saya ini?”, ujarku padanya.
“Ya mana saya tahu, kamu aja tidak tahu nama polisi yang mengambil KTP kamu”, bapak itu berkata sambil sibuk dengan hp nya.
“Orang yang ngambil KTP mu pakai motor apa?ciri-ciri orang nya seperti apa?”, bapak itu menambahkan.
“Kalau tidak salah dia pakai motor matic, kayak vario gitu, pak. Orang nya tidak terlalu gemuk, ndak juga terlalu kurus”, jawab ku sambil mengingat-ingat.
“Tidak ada itu, atau kamu coba ke pos yang di garuda”, ucap dia.
“Ndak lah pak, orang tadi bapak itu suruh saya ke pos sini kok”, ucap ku masih kekeh pada pendirianku.
“Nanti dulu ya, saya hubungi satu per satu mereka”. Aku terdiam beberapa saat. Tanpa kata, hanya bisa termenung dengan pikiran yang berkecamuk dalam benakku.
            Setelah sekian lama aku menanti, sekitar 2 jam lebih. Akhirnya pak komandan itu berkata padaku,
“bapak yang ambil KTP mu nama nya pak Haris. Dia pakai motor besar kok, bukan motor bebek”, ucap nya padaku dengan muka yang tak bersahabat.
“Kamu ini gimana mau nya? Mau sidang, nanti bayar dendanya di pengadilan atau tidak ikut sidang bayar dendanya disini saja?”, bapak itu bertanya lagi padaku.
“Kalau saya ikut sidang dendanya berapa? Kalau saya bayar denda disini berapa?”, tanya ku polos.
“Kalau di pengadilan kamu kena tiga pasal kan, belum punya sim, tidak ada kelengkapan surat-surat, dan lampu belakang motormu warna putih. Itu dendanya bisa Rp.2.500.000, kalau kamu bayar disini kami bisa bantu kamu bayar Rp.250.000”, pak Joko itu menjelaskan. Aku langsung tertunduk dan rasa lemah. Aku tak menjawab apapun. Selang beberapa menit,
“kamu gimana mau nya? Harus cepat, nanti biar saya yang ngomong sama bapak yang ambil KTP mu itu”, bapak itu melotot padaku.
“Saya tak punya uang sebanyak itu pak”, jawab ku pasrah.
“Kamu adanya berapa?”, tanyanya lagi.
“Saya Cuma punya uang Rp.20.000 , pak”, jawab ku apa adanya.
“Mana ada denda yang Rp20.000”, jawab pak Joko cuek kemudian bapak itu sibuk lagi dengan hp nya.
            Aku benar-benar pasrah. Apapun yang terjadi aku sudah siap dalam segala keadaan. Aku menangis dalam hati, namun berusaha ku tahan. Pak polisi yang berperawakkan gagah dan juga ganteng itu masuk pos dengan penuh wibawa.
“Mana yang KTP nya di tahan?”, tanya dia. Aku langsung angkat tngan ku,
“saya pak”.
“Kamu sini duduk”, ucapnya lagi. Aku langsung menuju kursi dan duduk tepat di hadapannya.
“Kamu udah macam satpol pp saja ngambil-ngambil KTP, ris”, ucap pak joko pada pak haris.
“Kamu melanggar beberapa pasal”, kemudian pak haris mulai menjelaskan pasal demi pasal, sembari menunjukkan buku tilang nya pada ku.
“Jika kamu membayar denda disini hanya Rp250.000, itu sebagai uang titipan sidang nama nya”, pak haris mengakhiri penjelasannya.
“Saya tidak punya uang sebanya itu pak”, jawab ku.
“Kalau begitu, kami bisa bantu kamu, Rp100.000, bagaimana?”, sudah seperti negosiasi barang saja. Aku langsung menutup muka ku, tanpa sadar aku menangis di depan polisi itu.
“Kamu kenapa menangis?”, tanya pak Haris padaku.
“Saya gak punya uang segitu pak”, jawabku.
“Kamu punya nya berapa?”, tanyanya lagi.
“Saya Cuma punya Rp20.000, pak”, jawabku.
“Tidak bisa dek, disini sudah tertulis minimal itu Rp100.000, kalau bisa sih saya akan bantu. Kalau kamu tidak bisa bayar motor kamu yang kami tahan”, ujar dia lagi.
“Sudah masukkan saja motor nya, udah gak punya sim, gak ada surat-suratnya lagi. Jangan-jangan motor ngambil di parkiran tu”, sahut polisi yang bernama pak Irsyad.
“Tu, atasan saya sudah beri perintah itu”, kata pak haris. Aku menutup muka, sembari menangis. Isak tangisku semakin terdengar saat kunci motor ku di ambil. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa pasrah.
“Masa’k gara-gara lampu motor aja, motor saya harus di sita pak. Tadi saya Cuma beli pulsa doang, gak nyangka akan kejadian seperti ini”, ucapku, aku sudah tidak menangis lagi.
“Kalau begitu, kamu pulang dulu ambil uang nya, saya ijinkan”, ucap pak haris.
“Tapi saya benar-benar tidak punya uang segitu pak”, jawabku ngotot.
            Setelah sekian lama bernegosiasi, “kalau begitu suruh dia beli rokok jak”, kata pak Joko.
“Ya sudah kamu dengar kan apa kata komandan saya, nanti abis ini kamu ke bengkel ganti lampu nya dengan warna merah ya”, kata pak haris padaku.
“Iya, pak”, jawabku. Aku harus membeli rokok sampoerna mild dan L.A mentol. Itupun ada sedikit kesalahan lagi, rokok L.A yang aku beli salah.
“Orang minta nya L.A mentol, di beli nya L.A mint, tukar lagi sana”, ucap pak Irsyad, dengan nada tegas namun agak sedikit bercanda. Aku yang tidak mengerti soal menyoal rokok terpaksa ku langkahkan kaki ku menuju warung tempat ku membelinya. Aku lesu, aku lapar, sudah hampir setengah tiga, belum ada sebutir nasi pun masuk dalam perut ku. setelah urusan rokok selesai, aku pamitan dengan bersalaman pada pak joko dan pak irsyad.
            Sungguh ini menjadi pelajaran berharga buatku, betapa rumit nya berurusan dengan pihak kepolisian, ujung-ujung nya duit juga. Disadari atau tidak, duit bisa mengatasi segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar