Selasa, 04 Maret 2014

Kerak Cinta Untuk Ino


By: Nikodemus Niko

Pagi indah di Lemukutan Island. Betapa indahnya kekayaan bahari Bhumi Khatulistiwa. Ingin kuucapkan kata “selamat Pagi” ini hanya untukmu. Namun, ibarat bunga yang belum tersapa oleh kumbang yang akhirnya ia layu. Mungkin begitu rasa ini padamu. Deburan ombak di pagi ini membangunkan aku dari alam mimpiku. Desahan angin pagi mengiringi embun menyambut datangnya mentari. Ini bukan tentang awal semuanya bermula. Rasa ini sejak lama. Dari awal pertama aku mengenal sosok kamu, yang aku tangkap dari sinyalku adalah decak kekaguman. Entahlah. Rasa kagum itu darimana asalnya bermula. Yang aku pandang kamu adalah orang yang berbudi pekerti luhur, santun dalam perilaku dan lisan. Dan, lagi-lagi entahlah datangnya dari mana, rasa ini semakin tumbuh subur di hatiku.
Ino begitu aku mengenal namanya. Sosok cowok yang ku kenal sangat berpikiran dewasa. Ya, mungkin itu adalah bagian dari kriteria pria idamanku. Sejak pertama mengenalnya aku sempat berpikir bahwa dia sangat mirip dengan nabi yusuf. Nabi yang sangat tampan yang pernah tertulis dalam Al-Qur’an. Ya, ini memang sebuah imaji ku semata. Karena aku mengenal seseorang bukan dari fisik, melainkan dari sebuah hati.
Aku tau kita memang sangat jauh berbeda, kamu tak akan pernah punya rasa yang sama denganku. Karena jurang pemisah itu terlalu tinggi untuk kulalui. Aku tidak pernah berfikir untuk dapat rasakan hal yang tidak biasa ini, sehingga aku hanya bisa mengagumi dan mengagumimu.
Dapat melihat senyummu dari dekat adalah anugerah tersendiri bagiku, dapat berbincang walau satu patah kata denganmu adalah suatu karunia yang terindah. Dan seperti yang terjadi pada hari ini, kamu tersenyum manis kepadaku. Itu bagaikan suatu mukjizat bagiku. Mendapatkan senyuman termanis darimu. Ingin kumiliki senyum itu kala setiap pagi menyapaku. Kala hari mulai dijemput oleh gemintang malam yang akan menebar indah warni angkasa.
Akhir pekan begini, biasanya aku habiskan untuk beristirahat dari aktivitas kuliah yang cukup membuatku pusing. Tapi kali ini weekend aku habiskan bersama teman-temanku di Pulau Lemukutan, tak terkecuali Ino. Tenda mulai dibangun penuh sederhana, inilah sebuah usaha. Semua disibukkan dengan aktivitas ringan, yang pasti tidak seperti saat mengerjakan makalah di perpustakaan. Panas terik matahari menyengat wajah saat kami melangkahkan kaki menelusuri tepi pantai penuh bebatuan di Pulau Lemukutan. Ada Ino. Ah... Ini memang moment yang tak terlalu indah dari melihat senyumnya.
Itulah bagian dari rasaku kini. Rasa bahagia yang seolah membakar hingga membuat muka memerah saat memikirkanya. Memang aku mengagumimu, menyukaimu, menginginkanmu, mencintaimu kemudian  menyayangimu. Ah, itu hanya sebuah mimpi semata bagiku. Entah kenapa aku selalu rindu suaramu, aku selalu ingin mendengar semua ceritamu. Meskipun suara yang kau miliki hanya biasa saja, namun di hatiku memberikan kenyamanan sampai aku suka senyum-senyum sendiri mendengarnya meskipun yang kau katakan saat itu bukanlah hal lucu.
“Ayooo… cepat masak nasinya!!!” teriak Ririn, Sang ‘Mak Dapok’ di ujung sana. Gelar ini memang cocok untuknya. Kalau bahasa kerennya ‘Chef’ gitu.
Bbraaakkk… aku tersentak kaget.
“Eh maaf-maaf”. Lamunanku seketika buyar, membawa kembali dunia nyata yang jauh dari apa yang aku bayangkan. Ternyata aku sedang melamun.
Sekian menit berlalu aku lewati bersama diam yang terlalu sering mengusikku.
“Rin, nasinya udah mateng, nih. Gue ngerjain apa lagi?”
“Nasi segitu mana cukup buat kita serombongan. Lu masak nasi lagi.”
Hmmm, ini kerjaan yang sering dan bahkan tiap hari aku lakukan. Tapi kali ini cukup memacu ketelitian lebih. Karena memasak dengan kompor gas bukanlah hal yang mudah. Sehingga aku harus memasak dengan penuh perasaan dan hati.
“Ada keraknya gak?” Suara terdengar dari sana?
“Ada gak say? Ino minta keraknya”, ica yang dapat gelar ‘Mak Babu’ mengulangi pertanyaan yang sama. Gelar ini dia dapatkan karena dia tugasnya hanya nyuci piring doang.
“Kerak? Hmm, eh. Ada nih”, aku jadi salah tingkah dan mati gaya dibuatnya.
Ino sembari mengambil kerak nasi yang masih melekat di bawah panci untuk masak nasi.
“Enak. Enak. Ini makanan jarang-jarang aku dapat di pontianak”, ino bicara sambil menatap ke arahku.
“Itu masaknya dengan penuh cinta dan perasaan”, ica nimbrung.
Dug, dig, dag, gup. Aku benar-benar salah tingkah. Degup itu membuat aku tak dapat menghindari rasa itu.
Melihatnya mengunyah kerak yang tidak terlalu keras itu membut darahku berdesir dalam. Inikah rasa hati? Yang mengalir melalui seluruh pembuluh darahku. Oh anak adam, beginikah rasanya memendam segala rasa yang ada? Aku nggak pernah mau punya perasaan seperti ini. Kenapa semuanya datang tiba-tiba? Kenapa rasa itu harus untuk dia? Dan beribu pertanyaan kenapa yang nggak bisa kujawab.
Aku nggak tahu pasti, entah kapan aku mulai suka diam-diam mencuri pandang ke dia, dan entah kapan aku mulai rajin nulis kata-kata puitis yang isinya nama dia, yang pasti aku gak tau kapan perasaan aneh itu terus menghantui. Aku benar-benar terjebak oleh perasaan nggak jelas ini.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku nggak bahagia dengan perasaan ini. Diam-diam kagum sama seseorang bukan hal yang menyenangkan. Apalagi kalau kenyataannya aku tahu orang itu sudah memiliki kekasih hati, tentunya sama sekali dia nggak akan peduli denganku. Ini memang menyakitkan.
Memang seharusnya aku berani ngelakuin apapun karena aku sedang jatuh cinta. Seharusnya aku nggak segan nunjukin kalau aku suka dan kagum pada dia. Tapi… nggak, aku nggak bisa bebuat konyol. Lebih baik aku diam dan menyimpannya rapat-rapat.