Sabtu, 13 Oktober 2012

ijinkan aku pergi



Ijinkan aku pergi............
By:nikodemus niko
            Mentari telah tenggelam. Kini sang malam mulai datang menghampiri waktu, indah nya gemintang mulai menghiasi gelapnya rona malam. Aku masih termenung di kamar ini, dibuai oleh lamunan yang tak tentu arah. Lamunan ku buyar seketika, saat handphone di atas meja kamar ku berbunyi. Nada khas itu sangat aku kenal, pasti Handi yang sms.
Dalam hati aku bertanya, “hmmmm, ada apa ya Handi sms aku?”. Buru-buru aku buka sms itu, di layar handphone ku tertulis,
“Ketika senja datang, menghampiri sang bulan, bergegaslah kau keluar dari rumahmu, lihatlah sosok matahari yang kau benci disaat sinar matahari menyengat kulitmu, lihatlah ia dengan jiwamu, sosok cahaya yang selalu menyinarimu, sama saja sosok mu seperti itu. Tanpamu, hidup aku akan gelap selalu”. Tanpa ku sadari, saat aku melantunkan kata demi kata itu, pipi ku telah dibasahi butiran bening. Ku ulangi setiap kata dalam pesan singkat itu, saat itu pula aku mulai terisak.
            Malam ini mata ku tak bisa terpejamkan sama sekali. Setelah sms Handi barusan, aku jadi kepikiran terus. Ingin ku menangis lagi, tetapi buat apa? Apa yang mesti aku tangisi? Jalan ini adalah yang terbaik untuk aku dan dia,
“PUTUS”.
Tetapi perasaan ini emang gak bisa di bohongin, kalau pada kenyataan nya aku sangat mencintai dia, aku sangat menyayangi dia. Aku kembali terisak untuk yang ke sekian kalinya, sambil mengingat semua kenangan tentang aku dan dia. Hingga ku pejamkan mata ini dan terlelap diselimuti malam yang kian larut.
            Pagi yang cerah ini, ku awali dengan sebuah doa kecil. Dalam doa pagi ku, tak lupa ku ucapkan doa untuk dia. Meski pada kenyataannya aku sudah tanpa dia lagi, hari-hariku harus ku jalani tanpa senyumnya lagi. Aku merasa kalau sebagian semangat dalam hidup aku kini telah pergi meninggalkan ku.
“kenapa dia pergi meninggalkan ku?”, kembali hati ku bergumam.
Namun, semua itu ku tinggalkan sejenak karena aku harus buru-buru berangkat ke kampus.
            Setiba di kampus, aku bertemu keempat sahabat ku. Sahabat yang selalu ada buat aku.
“mata mu kenapa put, kok sembab gitu?”, sari mulai menegur ku.
“iya tuh, sampai hitam gitu put kantung mata mu”, hermansyah langsung nyambar. “jangan-jangan putri habis nangis ya? Muka nya juga kelihatan sedih banget tuh”, imbuh fatma.
“emang kamu kenapa put?”, tanya ilham kemudian.
Aku hanya terdiam dan tertunduk tanpa berkata apapun. Hati aku ingin menangis, tetapi aku tahan sekuat tenaga ku. Dengan mata yang berbinar-binar aku beranikan diri untuk mengangkat kepalaku,
“aku gak kenapa-kenapa kok. Cuma ada masalah kecil aja”, jawab ku dengan nada parau.
“serius kamu gak apa-apa put?”, sahut fatma.
“iya serius aku baik-baik aja”, aku sungging kan sebuah senyuman kecil. Meski senyuman itu hanya untuk menutupi kesedihan ku saja.
            Mata kuliah kelas pertama aku jalani dengan lancar tanpa ada kendala apapun. Walau hati aku tak bisa tuk berpaling dari kegalauan yang ku alami sekarang. Namun sebisa mungkin, aku tepiskan rasa itu. Setelah kelas pertama berakhir, aku memutuskan untuk tidak keluar kelas. Mood ku lagi gak bagus hari ini. Kebetulan fatma dan sari pun ada di kelas, aku hampiri mereka dan aku duduk di bangku sebelah fatma.
“fat, aku putus ma handi”, aku langsung terisak dalam pangkuan fatma.
“udah lah cin, jangan nangis gitu dong. Gak enak ma temen-temen yang lain juga”, fatma mencoba menenangkan ku. Tetapi aku tak bisa tuk menghentikan air mata ku. aku terus menangis, sakit hati yang aku rasakan sungguh terasa menyiksa ku.
***
            Setiap malam hati ku selalu di hantui masa lalu bersama dirinya. Aku ambil buku harian di dalam laci lemari ku, dan ku tuliskan tentang isi hati ku.
Dear diary,
Jujur, aku ingin dan selalu ingin melupakan semua tentang mu...
Semua kenangan yang pernah kita lewati bersama....
Namun, hal itu tak pernah bisa aku lakukan...
Semua nya terlalu sakit buat aku lupakan...
Nangis.............
Cuma itu yang bisa aku lakukan....
Hanya itu............
Kebahagiaan mu adalah hal terpenting dalam hidup aku...
Meski terlalu sakit buat ku tuk tersenyum menyaksikan kebahagiaan mu bersama dia...
Tapi, untuk mu aku akan coba tuk tersenyum....
Dan mungkin, inilah senyuman termanis yang pernah mengambang di bibir ku....
Namun, tidak dengan hati ku....
Malam kian larut, perlahan ku coba pejamkan mata ini. Melupakan sejenak semua yang telah terjadi.
            Saat mentari mulai menjelang, perlahan ku buka kedua mata ku. Terlihat jelas foto mu masih terpajang dengan rapi di sudut kamar ku. tangisan ku tak bisa terhindari lagi.
“aku cengeng, aku terlalu lemah menghadapi semua ini”, hati ku ingin berontak. Tapi aku tak berdaya karena cinta ini terlalu dalam untuknya. Pagi ini aku putuskan untuk tidak masuk kuliah. Karena aku merasa hatiku tidak ingin di ganggu oleh siapapun. Aku hanya berdiam diri di kamar, tanpa siapapun yang ada di sampingku. Hanya diary ini yang selalu setia menemani ku.
Dear diary,
Tuhan, entah ke mana lagi aku harus membawa luka ini......
Rasa nya aku tak sanggup lagi menahan beban ini sendirian.....
Perih banget Tuhan............
Aku tak mampu menahan semua rasa yang menyesak dada ini......
Cinta ini tak kanpernah tergantikan untuk nya.............
Sampai kapanpun...........
Meski kini dia t'lah membenci ku..............
Tetapi, sebagaimana pun ia membenci ku........
Aku kan tetap bertahan dengan cinta ini...........
Biar lah aku tanggung semua ini............
Semua memang salah ku, karena aku berani mencintai, maka aku juga harus siap untuk merasakan sakit karena cinta............
Dan kini, akibat itu t'lah aku terima............
            Seharian aku tak keluar kamar, tak ada sedikitpun rasa lapar menghampiri ku. kini aku benar-benar merasa sendiri. Sepanjang hari, hati ini terasa perih dan tak berdaya. Di kamar ini aku hanya bisa menangis saat mengingat semua tentang dia.
“aku benci sama diri aku sendiri, kenapa aku harus mencintai dia?”, hati kecilku berkata lirih. Saat isak tangis ku mulai reda, namun air mata ku masih saja mengalir. Ku tulis sebuah goresan untuk dia.
Lembaran sirna
Saat senyum itu t'lah pergi dari hidup ku.........
Tak pernah terpikir oleh ku, untuk siapa aku di sini.....
Tetapi, aku hanya terus  dan terus menanti senyum itu kan kembali....
Meski aku tahu itu sangat menyakitkan.....
Tak ada yang ku ingin kan....
Hanya, aku ingin setia pada hati aku.....
Setia pada cinta yang saat ini t'lah terluka.....

Sekarang, aku sudah bisa berdiri  tanpa mu............
Aku sudah bisa melepaskan semua tentang mu dalam hidup ku...
Sejujurnya, aku  sangat mencintai mu.....
Namun, aku sadar......
Cinta mu bukan untuk dan milik ku............
Aku yang sekarang lebih bisa dan biasa tanpa mu............
Aku tak bisa tuk membenci mu....
Karena aku bukan seorang pembenci........
Aku hanya seorang pencinta yang lemah.....
Dan tak berdaya saat cinta itu pergi,,.......
Aku tak bisa tuk lupakan cinta ini..........
Sekarang, ijinkan aku pergi........
Dari hidup dan hati mu, tuk selama nya........

penyesalan di akhir kisah



Penyesalan di Akhir Kisah
By: Nikodemus Niko

            Langit mendung tak ditemani sinar mentari pagi ini tak menyurutkan semangat Farhan untuk mengarungi hari, melewati tugu digulist yang tepat berada di jantung Universitas Tanjung Pura Pontianak. Padatnya kendaraan membuat Farhan menurunkan kecepatan kendaraan roda dua yang selalu menjadi teman setianya dalam mengarungi dunia perkuliahan.
Farhan adalah anak seorang pejabat tinggi di bumi khatulistiwa ini. Farhan saat ini sudah menempuh akhir-akhir masa studi nya di jurusan Ilmu Sosiologi. Meski demikian dia adalah sosok yang tak terlalu dikenal banyak orang di kampus nya. Entah apa yang membuat nya bersikap tertutup. Bahkan teman dekatnya sekalipun tidak terlalu mengerti dengan sikap Farhan.
Setiba nya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang biasa disebut “kampoes biroe”, Farhan perlahan memasuki halaman parkiran yang tidak terlalu luas itu. Tanpa basa-basi dengan siapapun ia langsung beranjak menuju ruang kelas nya.
“woy, bro. Apa kabar ni?”, kedatangan Farhan disambut hangat oleh Reynald, sahabat baiknya.
“woy. Kabar baik bro. Ape can kau ni?”, Farhan dengan bahasa khas pontianak, sembari menyalami sobatnya.
“tak ade ni, bro. Tadi malam kau ke mane bro?”, tanya Reynald yang tak mau kalah logat pontianak nya.
“tak ade ke mane-mane. Di rumah yak, mang kau ke mane?”, Farhan balik bertanya pada Reynald.
“aku semalam ke PCC, ade pameran gadget boy. Rase aku nak beli, tapi belom ade duet nye ni”, jelas Reynald sambil tertawa.
“wihh, benar sikit lah bro, ngape aku tak tau ye?”, Farhan malah tambah semangat.
“camane kau nak tau, kau diam di rumah yak terus”, canda Reynald pada sahabatnya itu. “dah lah. Dah ade dosen tu”, Reynald sembari menunjuk ke arah pintu kelas.
            Selesai kuliah Farhan langsung pulang ke rumah nya di kawasan perumahan elit danau sentarum, kota baru, pontianak. Itulah yang terjadi pada diri Farhan. Rumah-Kampus-Rumah-Kampus. Meski banyak UKM yang tersedia di tingkat kampus maupun di tingkat universitas, namun tak satupun yang menarik minatnya untuk terjun di dunia organisasi. Sebagai mahasiswa banyak hal yang bisa di lakukan di dalam maupun di luar kampus, tetapi berbeda dengan diri Farhan yang hanya mentok di kampus dan di kelas saja. Dari segi akademik, Farhan tergolong anak yang pintar di kelasnya. Selama tujuh semester ini nilai mata kuliahnya tidak ada terdapat angka C.
            Seketika Farhan tersentak kaget mendengar nada dering dari hp nya. Tertera tulisan di layar ponselnya, “Farhan, papa kecelakaan masuk rumah sakit Antonius”. Pengirim sms itu adalah mamanya Farhan. Bergegas Farhan ke garasi mobil dan langsung menuju rumah sakit Antonius. Tidak sampai sepuluh menit Farhan sudah menemui mamanya yang sedang terisak.
“ma, gimana keadaan papa?”, Farhan dengan muka sendu.
“papa lagi kritis han”, mamanya sambil terisak. Farhan kemudian memeluk mamanya erat.
“gimana ceritanya papa bisa kecelakaan ma?”, Farhan bertanya lagi.
“mama juga kurang tahu han, tadi pas waktu mama lagi di butik suster nelpon mama dan bilang kalau papa kecelakaan di jalan diponegoro”, mama Farhan masih tak bisa hentikan tangisnya.
Tiba-tiba dokter muncul dari balik pintu ruang ICCU.
“maaf, keluarga nya pak Haryo Pratama?”, tanya dokter yang mendapatkan Farhan dan ibunya yang sedang berpelukan.
“iya, dokter. Saya anak nya pak Haryo”, jawab Farhan tegas.
“bisa ikut ke ruangan saya, ada yang ingin saya bicarakan”, dokter langsung menuju ruang kerjanya diikuti oleh Farhan dan mamanya.
“silakan duduk”, dokter mempersilakan Farhan dan mamanya.
“iya, terima kasih dokter”, sahut mama Farhan yang sudah agak sedikit tenang.
“begini saudara Farhan”, dokter mengawali kata-katanya. “pak Haryo kehilangan banyak darah, dan kebetulan stok darah di rumah sakit yang golongannya sama dengan pak haryo sudah habis”, jelas dokter kepada Farhan dan mamanya.
            Malam kian larut bersama rintik hujan yang membasuh bumi khatulistiwa. Farhan tampak kebingungan dengan keadaan yang ia hadapi sekarang. Di pontianak ia tak kenal banyak orang. Kemanakah ia harus mencari bantuan? Hingga akhirnya ia menelpon Reynald, sahabat dekatnya untuk menolongnya mencari batuan.
“rey bapak aku masuk rumah sakit, gimana ni? Aku harus dapat darah yang golongan O untuk bapak aku”, ujar Farhan sedikit panik.
“iya Han, aku akan bantu kau sebisa aku”, Reynald seolah menunjukkan solidaritas nya sebagai sahabat.
“gimana kalau kita ke PMI jak, yang di jalan Ahmad Yani tu”, seru Reynald lagi.
“ayok lah”, Farhan dan Reynald langsung menuju tempat dimana mobil Farhan diparkirkan.
            Setibanya di PMI, tidak ada golongan darah yang di cari. Farhan dan Reynald harus kecewa, dan usaha mereka dirasakan sia-sia.
“kemana lagi kita harus mencari ni Rey?”, Farhan terlihat putus asa.
“aku pikir-pikir lok bro”, Reynald pun jadi ikutan tegang.
“aku tahu kita mesti ke mana. Ayok ikut aku”, Reynald tiba-tiba teringat dengan UKM PMI yang ada di Untan. Mereka langsung menuju tempat itu. Disana mereka langsung mendapatkan pendonornya, yang kebetulan ada di tempat.
            Di ruang yang berbeda, ayah Farhan kondisinya semakin lemah. Benturan keras dikepalanya membuat darah tak berhenti mengalir. Sudah tiga jam berlalu, ayah Farhan tak kuat lagi untuk menahan sakit. Hingga akhirnya ia harus menghembuskan nafas terakhirnya di kasur rumah sakit. Saat diperiksa oleh dokter, pak Haryo memang sudah tidak bernyawa lagi.
            Di ujung pintu, tampak Farhan memegang sebuah kantong kresek yang berisikan dua kantong darah golongan O. Maut memang tak bisa di tunda, Farhan harus menitikkan air mata karena harus kehilangan sosok papa yang selama ini ia sayang. Ia pandangi sekujur tubuh yang terkulai lelap itu dengan tatapan kosong. Air matanya mengalir dari sudut indah di kedua matanya.
“papa............. jangan tinggalin Farhan, pa”, Farhan teriak sekuat yang ia mampu. Mamanya yang tak bisa terima kenyataan pahit itu harus di bopong karena pingsan. Nasi sudah menjadi bubur. Semua usaha Farhan percuma.
***

            Pagi berganti malam, membuat waktu tak pernah bisa terhentikan. Semenjak kepergian papanya, Farhan jadi sering murung di kampus. Sementara ia harus menyelesai kan tugas akhirnya yaitu skripsi. Ia tak pernah berpikir panjang dalam mengambil suatu tindakan, pikiran nya kacau, galau dan sedih. Semua menjadi satu paket yang tak bisa terpisahkan dari hidup Farhan saat ini. Ia harus mengeluarkan uang banyak untuk membeli sebuah skripsi dari orang lain.
            Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan gelar sarjana. Saat wisuda, Farhan menjadi salah satu mahasiswa yang cum loud, dengan IPK nya 3,90. Hal ini menunjukkan bahwa, Farhan adalah salah satu mahasiswa berprestasi di kampusnya.
            Setelah keluar dari dunia kampus, Farhan di tuntut untuk memasuki dunia kerja. Bukan hanya bermain game saja di rumah. Berbagai perusahaan ia sudah coba masukkan lamaran pekerjaanm namun alhasil, semua nihil. Bukan hanya IPK saja yang diutamakan untuk mencari suatu pekerjaan, tetapi juga skill dan pengalaman dalam sebuah organisasi. Hampir rata-rata perusahaan yang sudah mewawancarai nya, menanyakan hal yang serupa yakni “waktu kuliah pernah masuk organisasi apa?”. Pertanyaan itu yang selalu terasa berat untuk ia jawab.
            Kesana kemari ia mencoba dan mencoba lagi untuk bisa mendapatkan pekerjaan, namun keberuntungan belum berpihak padanya. Semenjak saat itu Farhan kehilangan arah hidupnya, ia mengalami depresi tingkat berat, hingga ia harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Secarik kertas usang tersimpan rapi diselipan buku hariannya.
“aku pernah kehilangan orang yang berarti dalam hidup aku, yaitu papa. Aku sangat menyesal karena aku terlambat menolongnya. Aku mengira itu adalah penyesalan terakhir dalam hidup aku. Tetapi aku salah, ada penyesalan yang lebih berarti lagi. Aku pernah kehilangan kesempatan menimba pengetahuan pada waktu aku masih kuliah. Aku menyesal karena dulu aku pernah kuliah tetapi aku tidak pernah masuk dalam dunia organisasi kampus. Sekarang semua nya sudah terlanjur”.

bingkisan terakhir untuk ayah



Bingkisan Terakhir Untuk Ayah
By: Nikodemus Niko

            Birunya langit yang menyatu dengan laut dihiasi kilau cahaya mentari pagi ini sungguh menakjubkan setiap insan ciptaannya. Sebongkah batu besar menambah semerbak indah pantai kura-kura beach di pagi ini. Lambaian daun kelapa ditepi pantai seakan kudapatkan dari seseorang yang pernah hadir dalam hidupku. Angin berdesir menembus tulang belulangku yang terasa lelah.
            Perlahan ku buka kedua mataku yang mulai redup bersama nyanyian ombak di tepi pantai. Aku masih merenung, kebingungan. Kemana lagi kaki ini kan hendak melangkah. Tak ada lagi dia yang dahulu selalu menemaniku. Semua berlalu bersama kenangan yang kini telah usang. Aku rapuh, tak ada gairah lagi tuk jalani hari-hari.
            “hai, sendirian aja nih”, sapa ardi yang sedari tadi memperhatikan ku.
“iya nih, Ar. Adek aku belum pulang sekolah, makanya aku sendiri aja”, jawabku pada ardi.
“oh, gitu ya. Boleh aku temenin nggak?”, ardi mencoba menawarkan dirinya.
“oh, tentu boleh lah, Ar”, jawab ku lagi.
Meski sudah ada ardi yang menemaniku, pikiranku masih menerawang jauh tanpa arah. Aku masih tertegun dalam lamunan yang tak kunjung berujung kurasakan.
“aku masih ingat masa-masa kita kecil dulu lho Rin”, Ardi sambil menatap wajahku.
“Rin, Rina. Kamu kenapa?”, Ardi melambaikan tangan kanannya ke arah mataku.
“oh, eh. Iya, Ar. Kenapa?”, aku yang sejak tadi terdiam dalam lamunan tersentak kaget. Sambil ku menyusup air mata yang tak ku rasakan meleleh di pipiku.
“kamu menangis Rin? Kamu kenapa?”, Ardi terlihat panik dengan wajah yang serius.
“aku tidak apa-apa kok Ar. Tadi mata aku kelilipan. Ada sampah ndak?”, aku mengelak sambil mencari-cari alasan dengan berpura-pura menunjukkan mataku.
“Rina, aku kenal kamu dari kecil. Kita temanan bukan hari ini dan kemarin, tetapi sejak kita masih kecil. Aku tahu siapa kamu Rin, kamu ada masalah? Cerita sama aku Rin”, Ardi berusaha menenangkan perasaanku yang tiba-tiba ingin kuluapkan. Aku langsung rebahkan kepalaku di dada bidang Ardi, sahabat yang selalu ada dikala aku punya masalah. Aku tumpahkan tangisku yang tak bisa ku redam lagi.
“maafkan aku Ar. Aku jadi cengeng kayak gini”, aku melepaskan diri dari pelukan yang seketika membuatku merasa nyaman.
“nggak apa-apa kok, Rin, kamu cerita ma aku, kamu ada masalah apa?”, Ardi berusaha mencoba tuk tahu apa yang sedang terjadi pada diri aku.
“aku belum bisa cerita sekarang Ar, maafin aku”, aku sembari mebuang muka dari ardi.
“o, ya tadi kamu bilang apa Ar. Tentang masa kecil kita”, aku berusaha tuk mengalihkan pembicaraan.
“iya, aku kangen masa-masa kita waktu kecil dulu. Setiap hari sabtu dan minggu kita selalu sama-sama berjualan manisan di pantai”, Ardi berusaha menerawang masa lalu yang seolah masih menari di pelupuk matanya.
“hahahaha. Aku juga sangat merindukan masa-masa itu Ar”, aku sambil tertawa renyah. Masa kecil itu tak pernah kulupakan sedikitpun dalam hidupku. Menjadi seorang anak pantai yang berjuang setiap hari untuk mendapatkan sesuap nasi. Berjualan manisan buah-buahan ditemani sengat terik mentari pantai, membuat semangatku tak pernah surut tuk berjuang dan belajar.
Dari situlah awal kisah ku bermula. Waktu itu umurku 14 tahun. Saat ku menawarkan daganganku kepada sepasang turis asing. Mereka tidak terlalu pandai berbahasa indonesia.
“manisan nya pak, bu”, ucapku pada kedua orang bule itu.
“what do you say?”, sahut salah seorang dari mereka.
“oh, iya”, aku yang tak mengerti apa yang diomongkan orang itu langsung ingin beranjak pergi.
“hey, where are you going?”, orang itu tiba-tiba menghadang langkahku.
“kemu mau pegi kemena?”, kata orang bule itu seperti anak TK yang lagi belajar ngeja saja.
“saya mau berjualan disana”, jawabku sambil menunjuk ke arah orang ramai.
“jangan pegi dulu”, yang perempuan nya ikut seperti anak TK juga. Mereka seperti mahkluk luar angkasa yang tidak aku mengerti sama sekali bahasanya.
“you, kemu kelas berapa school, sekolah?”, masih saja orang itu seperti nenek-nenek kehilangan tongkat.
“saya kelas dua SMP”, sahutku dengan lantang.
“kemu mau jadi anak kemi?”, mereka menunjukkan diri mereka, aku malah jadi bingung sendiri maksud orang bule itu.
“mau”, jawabku polos. Aku yang tidak mengerti apa-apa, langsung kubawa mereka pulang kerumahku yang tidak terlalu jauh dari bibir pantai.
“maaf rumahnya jelek”, ucapku sambil tertawa pada kedua bule itu. Mereka malah ikutan tertawa sambil bilang “Oh”. Mungkin mereka tidak mengerti dengan apa yang aku ucapkan. Setelah mereka berpanjang lebar berbicara pada bapakku, karena sejak kecil ibuku sudah pergi jauh meninggalkan kami semua.
            Aku dibawa ke pontianak oleh sepasang bule itu. Mereka adalah duta dari belanda yang ditempatkan diwilayah kalimantan barat. Mereka belum mempunyai anak, sehingga rumah dinas mewah yang mereka tempati di jalan Ahmad Yani itu tampak sepi tanpa anak-anak. Semenjak itu aku dibiasakan untuk hidup mewah, tetapi aku merasa didalam darah aku mengalir darah pesisir pantai yang tak bisa untuk aku ubah. Aku tetap menjadi diri aku sendiri, mencuci pakaian sendiri, membersihkan rumah, dan kegiatan lainnya. Mereka semakin menyayangi aku. hingga saat aku berumur 18 tahun, pertama kali aku masuk di perguruan tinggi ternama di Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjung Pura, Pontianak. Aku tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran. Aku tidak pernah bermimpi untuk bisa duduk di bangku kuliah, apalagi bisa masuk di Fakultas Kedokteran. Sering aku menangis sendiri, mengenang nasibku lima tahun lalu.
            Saat tiba waktu liburan semester, aku selalu pulang mengunjungi ayah dan adik-adikku. Itulah waktu untukku melepaskan segala kerinduan ku pada mereka. Mencurahkan kepenatan yang kulalui di kota pontianak.
“ayah sekarang jangan melaut lagi yah”, aku mengingatkan ayah yang dahulunya selalu melaut untuk mencari rupiah untuk pendidikan kami.
“iya, Rin. Ayah sudah tidak pernah melaut lagi semenjak kamu tinggal di pontianak. Siapa yang jaga adik-adik kamu?”, ayah masih tetap seceria dulu. Senyum indah yang dulu masih bisa kudapatkan hingga sekarang.
“kan setiap bulan, orang tua angkatmu selalu mengirimi ayah uang”, ucap ayah kemudian.
“iya, ayah jangan sering capek. Rina tidak mau ayah sakit saat Rina tidak ada di samping ayah”, aku tampak menunjukkan raut wajah sedihnya karena harus berpisah lagi dengan orang-orang yang ia cintai.
“doakan Rina ya, yah”, ucapan terakhir itu mengiringi deru suara mobil ku meninggalkan rumah ayah yang kini sudah berdiri kokoh, tegap meski nampak sederhana.
“doa ayah selalu menyertaimu Rin”, ayah berucap dalam hati yang seakan ikut menggetarkan hatiku.
            Tugas akhir membuat ku sibuk dan tak sempat untuk mengetahui keadaan ayah dan juga adik-adikku. Tetapi kadang aku sms mereka, namun tidak terlalu sering. Menjadi dokter pendamping di rumah sakit Antonius adalah suatu kebanggan buat aku. Selain membantuku menyelesaikan skripsi, aku juga selalu mendapatkan uang tambahan dari pihak rumah sakit. Mungkin hanya sebagai penghargaan saja. Target ku, tiga bulan lagi aku harus wisuda dan mendapatkan gelar Dokter.
            Berbagai praktek selalu menyibukkan ku, hingga aku tidak mengetahui kalau ayah sedang sakit di kampung. saat adik-adikku sms yang mengabarkan bahwa ayah sedang sakit, aku hanya balas “jangan lupa suruh minum obat dan periksa ke dokter”. Aku tidak tahu kalau ayah menderita penyakit kronis yang sudah parah.
            Penyelesaian skripsi ku sudah memasuki tahap akhir, sehingga aku tidak punya waktu untuk orang lain, bahkan diriku sendiri. Aku sering telat makan, bahkan sempat juga sakit-sakitan. Sehingga membuat orang tua angkatku panik. Detik terakhirku menghadapi sidang skripsi membuat sekujur tubuhku dingin. Aku tidak tahu entah kenapa semua bisa terjadi.
Di ruang dan waktu yang berbeda, terbaring sosok ayah yang kini telah menjadi jenazah. Sosok yang pantang menyerah, sosok yang selalu tersenyum dalam keadaan sesulit apapun.
Detik bahagia ku memperoleh gelar dokter, beriringan dengan terhentinya nafas ayah berhembus di dunia ini. Aku girang, aku bangga, aku bahagia, semua rasa membaur dalam jiwaku saat itu. Tak dapatku ungkapkan dengan kata-kata apa yang terjadi.
            Seketika ria itu terhenti, dunia kini terbolak saat ku lihat ada puluhan kali missed call. Saat ku baca salah satu sms dari adik ku yang mengatakan bahwa ayah telah meninggal dunia. Semua bahagia ku tiba-tiba menjadi sebuah ledakan tangis. Tak ada yang lebih berarti dalam hidupku selain saat ku lihat senyum ayah ketika aku memperoleh gelar Dokter. Tetapi semua pupus, sirna tanpa bekas.
Aku langsung bergegas menuju kampung halaman ku tercinta. Tak kuhiraukan lagi siapapun. Di sepanjang perjalanan aku tak bisa menahan air mata.
            Ku langkahkan kaki gontai saat tiba didepan rumah ayah. Dari kejauhan tampak sosok yang tak asing dimataku, kini telah terbungkus kain putih. Aku menangis, aku terpukul.
“ayah, Rina sekarang sudah jadi Dokter beneran yah. Bangun yah, dengarkan Rina bercerita”, aku terisak dalam tangis sembari mengguncang-guncangkan jenazah ayah.
“ayah, bangun yah. Rina punya hadiah buat ayah, rina sayang ayah. Maafkan rina yah. Rina tak berada di samping ayah saat-saat terakhir ayah”, aku terus menangis tanpa henti. Aku menyesali semua yang terjadi hanya dengan tetesan air mata.
            Aku tidak akan pergi kemanapun lagi, setelah menyelesaikan studi ku dan mendapatkan gelar Dokter. Aku memilih untuk tinggal di kampung halamanku. Aku akan mengabdi disana. Untuk ibuku, untuk perjuangan ayahku. Aku tidak pernah membayangkan aku yang dahulu adalah penjual manisan, kini telah berdiri tegap menjadi seorang dokter yang siap mengabdikan diri kepada masyarakat.

baju merah untuk bunda



Baju merah untuk bunda......
By: nikodemus niko

            Langit masih tampak gelap, embun pagi mulai luruh hinggap di dedaunan. Membasuh bumi dengan penuh belas kasihan. Dari kejauhan tampak seorang ibu separuh baya dengan sebuah keranjang di gendongan nya. Ia berjalan menelusuri hutan belantara di pagi buta untuk mencari nafkah. Dia adalah ibu lusia. Ia tinggal bersama seorang anak nya yang bernama niko, tidak jauh dari tepi hutan. Mereka tinggal di sebuah gubuk reot yang telah usang dan tampak tak layak huni. Namun, keadaan lah yang memaksa mereka untuk tinggal di gubuk itu. Di pagi buta, ibu lusia harus pergi ke hutan untuk mencari nafkah. Ia bekerja sebagai buruh penoreh kebun karet yang hasil nya di bagi dua dengan pemilik kebun. Sementara niko harus pergi sekolah di sebuah SMP yang letak nya sangat jauh dari tempat mereka tinggal, sekitar dua jam perjalanan di tempuh dengan berjalan kaki. Jarak sekolah yang begitu jauh, tidak menyurutkan semangat niko untuk pergi ke sekolah. Meski dengan keterbatasan, niko sungguh gigih menimba ilmu.
            “gimana belajar mu hari ini nak?”, ibu lusia bertanya pada niko sambil meniup api yang berasap pada sebuah tungku besi yang sudah berkarat, dengan sebuah panci di atasnya. “hari ini niko dapat nilai delapan bunda pelajaran matematika. Tadi belajar tentang aritmatika, susah benar bunda”, niko dengan nada lantang. “hahahahahaha, kamu belajar arit jangan di sekolahan, di sawah saja nak”, ibu lusia tertawa lebar. Ia sangat suka bercanda dengan buah hati yang sangat ia sayangi di dunia ini. “bukan arit yang buat nebas rumput itu bunda, hahahahaha”, niko ikut tertawa melihat ulah ibunya. “iya, bunda tahu nak. Kamu harus rajin-rajin belajar. Hanya kamu tumpuan bunda satu-satu nya nak. Kamu harta paling berharga yang bunda miliki sekarang”, tawa yang tadi baru saja terdengar, kini menjadi sebuah nada sedih. Ibu lusia meraih tubuh niko dan memeluknya.
            Hari kian sore, untuk makan nanti malam, ibu lusia memasak daun singkong yang ia petik di samping rumah nya. Daun singkong yang hanya sedikit itu ia masak dengan kuah yang hampir setengah panci. “bunda masak apa?”, niko keluar dari bilik kamar yang hanya bertutup bambu. “bunda masak sayur kesukaan kamu nak”, bunda menjawab dengan nada lembut. “asik...... udah matang belum bunda? Niko sudah lapar nih”, niko sangat girang dan bernada manja. “belum. Sebentar lagi nak, yang sabar ya”, bunda dengan penuh bijaksana. “sayur nya sudah matang. Tolong ambilkan ibu mangkok, nak”, bunda bersuara pelan. Niko segera mengambil sebuah mangkok kecil. “mangkok ini mana cukup, nak. Ambilkan lagi mangkok yang agak besar”, kata bunda sambil mengaduk-aduk sayur yang sudah matang itu. “kok bunda masak sayur nya banyak sekali”, Niko sambil menyodorkan sebuah mangkok yang ukuran nya cukup besar. Bunda langsung mengangkat panci yang berisi sayur dan menuangkan dalam mangkok. Sayur yang hanya berisi kuah dan sedikit daun singkong itu niko pandang dengan penuh syukur. Bunda kembali menitikkan air mata. “bunda kenapa menangis?”, niko terheran. Kembali bunda merangkul tubuh mungin niko. “maafkan bunda nak, hanya ini yang mampu bunda berikan”, bunda sambil terisak. Niko pun ikut menangis dalam pelukan bundanya, “bunda, semua ini sudah cukup buat niko. Semua ini berkat dari Tuhan, bunda. Kita harus bersyukur”, niko sambil mengusap air mata nya. “bunda jangan sedih lagi ya. Puji Tuhan, kita sudah di beri rejeki hari ini, bunda”, niko berusaha menenangkan sembari menyapu air mata bunda nya. Mereka pun makan dengan penuh syukur.
            Pagi menjelang, mentaripun bersinar penuh gemilau. Membuat langkah niko tidak pernah lelah untuk menelusuri hutan, demi menimba ilmu. Terkadang ia sering terlambat masuk sekolah, karena harus membantu pekerjaan bunda.
“selamat pagi, bu. maaf saya terlambat lagi”, ucap niko pada bu guru yang sedang mengajar di depan kelas.  Seisi kelas menatap ke arahnya.
“kenapa kamu terlambat niko?”, tanya ibu guru padanya.
“tadi pagi saya membantu ibu antarkan dagangan dulu ,bu”, niko menjawab dengan polos. Guru-guru di sekolah niko pun sudah mengenal sosok niko yang selalu membantu ibunya. Meski demikian, niko juga terkenal sebagai salah seorang siswa yang pintar dan berprestasi di sekolah. Dengan keterbatasannya nico selalu membuat guru-gurunya bangga.
***
            Sore itu awan tampak marah. Langit tak terlihat berseri seperti biasanya. Rintik hujan mulai membasuh bumi. Niko dan bundanya sudah sejak lama berada di dalam gubuk tempat mereka tinggal.
“bunda. Besok niko akan ikut lomba cerdas cermat di tingkat kecamatan”, niko memberitahu bunda nya kalau ia akan menjadi utusan sekolahnya dalam ajang lomba cerdas cermat di tingkat SMP se-kecamatan.
“iya kah nak? Lomba cerdas cermat yang makan kerupuk itu ya?”, bunda masih saja lemod.
“bukan bunda. Cerdas cermat itu lomba mata pelajaran”, niko mencoba menjelaskan.
“oh, begitu”, bunda tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala nya.
“kau sudah belajar belum untuk persiapan besok?”, bunda bertanya lagi.
“niko sudah belajar dong bunda, dari kemarin malahan. Bunda doakan niko ya, biar bisa menang. Membawa nama sekolah, biar bisa terkenal”, niko berucap dengan nada sombong namun bergurau dengan bunda nya.
“amin. Amin. Bunda selalu mendoakan yang terbaik untuk mu nak”, bunda merangkul niko sembari mencium keningnya.
            Pagi-pagi sekali niko sudah berada di sekolah untuk berangkat ke kecamatan. Ia akan pergi bersama teman-teman dan guru-gurunya. Sebelum berangkat ia dan teman-temannya mengadakan doa bersama. Niko terlihat khusuk sekali, ia sangat ingin menjadi pemenang dalam ajang bergengsi itu, ia ingin mengharumkan nama sekolahnya. Setelah beberapa menit berlalu, mereka berangkat dengan di boncenga sepeda motor gurunya.
            Setibanya di sana, mereka hampir saja terlambat karena perlombaan sudah mau di mulai. Dengan tergopoh-gopoh niko dan teman-temannya menempati bangku peserta yang sudah disediakan oleh panitia lomba. Selama perlombaan berlangsung niko dan teman-teman terlihat santai, guru pembimbing mereka hanya tersenyum melihat mereka dari bangku penonton. Semangat itulah yang membuat niko dan kawan-kawan keluar menjadi juara pertama dalam ajang itu. Piala yang setinggi satu meter itu diterima oleh niko sebagai perwakilan, niko ingin menangis dalam keharuan. Selain menjadi juara dalam lomba itu, niko juga mendapatkan beasiswa sekolah hingga ia tamat SMA. Jika saja bunda nya bisa ikut menyaksikan keberhasilan niko saat ini, mungkin ia akan terharu dalam tangisan.
            Sebelum pulang ke daerah terpencil yang terletak di perkampungan, waktu seharian itu juga dimanfaatkan niko dan teman-temannya untuk menikmati keramaian kota. Mereka memasuki toko-toko pakaian hanya sekedar untuk melihat-lihat saja. Dari kejauhan tanpa sengaja niko melihat sebuah baju berwarna merah, tidak terlihat mewah tetapi sangat menarik hati niko untuk mendekat.
“baju ini indah sekali”, gumam niko dalam hati nya. Ia memberanikan diri untuk memegang baju itu.
“ingin sekali aku membeli baju ini untuk bunda”, hatinya terus berkecamuk dalam statement yang sederhana. Dari kejauhan bu sulis, guru niko melihat niko yang sedang asik dengan baju itu. Perlahan gurunya mendekat.
“kamu mau beli baju itu ya niko?”, petanyaan itu mengejutkan niko dengan raut muka yang tak menentu. Niko tidak menjawab, baju itu masih di pegangnya. Ia hanya menarik nafas panjang, tak tahu harus menjawab apa.
“kalau kamu mau nanti ibu yang bayarkan, tadi kan kamu menang lomba. Uang kamu masih ibu yang pegang”, bu sulis berkata bijaksana pada niko.
“i.i.i.iya bu. Saya ingin beli baju ini untuk bunda”, niko tergugup namun dengan penuh semangat. Tanpa ragu lagi ia langsung membawa baju itu ke kasir untuk di bayarkan.
“terima kasih ya bu”, niko sambil tersenyum. Ibu sulis hanya bisa tersenyum sambil menganggukkan kepala.
            Rumah niko tampak sepi. Terlihat hanya kucing yang sedang tidur di atas karung goni. Bunda belum tampak sama sekali, niko sudah sangat rindu ingin bertemu bunda. Seharian ini ia tidak bersama bunda.
“bunda, bunda. Bunda dimana?”, niko memanggil-manggil bunda nya. Tak ada sahutan yang terdengar oleh niko.
“bunda dimana?”, niko agak sedikit berteriak, karena ia tahu kalau bunda nya bermasalah dengan pendengaran nya.
“iya. Bunda disini”, terdengar sahutan dari belakang rumah. Niko bergegas menuju sumber suara.
“kau sudah pulang nak?”, bunda hanya bisa bertanya begitu saat niko pulang.
“iya bunda. Niko punya sesuatu buat bunda”, niko sambil menarik tangan bunda nya untuk naik ke bilik rumah. Niko sambil menunjukkan baju merah yang dibelikan nya di kota.
“ini untuk bunda nak?”, bunda seperti tak percaya dibelikan baju bagus. Selama ini ia tidak pernah membeli baju baru. Pakaian yang mereka pakai sehari-hari hanya pakaian bekas yang diberikan majikannya.
“iya bunda. Berkat doa bunda, niko bisa menang lomba. Uang nya niko pakai buat beli baju ini untuk bunda”, niko menahan diri dengan mata yang berkaca-kaca melihat kebahagiaan bunda nya. Bunda langsung memeluk erat tubuh mungil niko sembari terisak. Keduanya larut dalam tangisan, dengan penuh syukur bunda berterima kasih pada Tuhan yang memberikan rejeki untuk mereka. Waktu akan menjawab semua rencana Tuhan untuk umat nya. Bukan Dia tidak menggubris segala doa dan permohonan kita, tetapi ia sudah menyiapkan rencana terindah-Nya dalam hidup kita.