Senin, 11 Januari 2016

Yuk! Mampir di Batang Tarang

Oleh: Nikodemus Niko

Jika sahabat memiliki kesempatan untuk berkunjung ke pulau Kalimantan, apa yang pertama akan sahabat jelajahi? Tidak ada salahnya jika mencoba mengunjungi Suku asli pulau Kalimantan; Dayak. Dayak sendiri memiliki banyak sub-suku dengan bahasa dan kebudayaan yang berbeda-beda, justru disinilah letak keunikannya. Kekayaan budaya dan tradisi adat terdapat pada masing-masing sub-suku Dayak di Kalimantan. Salah satunya Dayak Mali di Batang Tarang, Kalimantan Barat.

Batang Tarang adalah sebuah ibu kota kecil Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Memang, penduduk setempat lebih mengenalnya dengan sebutan ‘Balai’ yang artinya tempat berkumpul. Namun, masyarakat di luar kecamatan ini mengenalnya dengan sebutan Batang Tarang, sebab banyak sebutan Balai yang digunakan di Kabupaten Sanggau, misalnya Balai Karangan dan Balai Sebut yang masih terletak di kabupaten yang sama; Sanggau, yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Masyarakat asli Batang Tarang adalah Etnis mayoritas Dayak sub-suku Dayak Mali, dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Nah, jadi apa saja yang dapat dinikmati di daerah yang tidak padat penduduk ini?


Setiap kali liburan kuliah saya selalu pulang ke kampung, yang kebetulan saya adalah asli orang Batang Tarang, tepatnya saya tinggal di kampung Pejalu, Dusun Manang, Desa Cowet. Letak kampung saya sekitar satu jam lebih perjalanan dengan naik sepeda motor. Jalannya masih belum aspal alias masih tanah kuning yang becek di kala musim penghujan. Belum ada listrik, dan sinyal operator ponsel sangat susah. Jadi kalau sudah masuk ke wilayah kampung, akan terasa tinggal di dalam hutan rimba; menantang bukan?

Batang Tarang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, karena itulah alasan saya selalu rindu kampung halaman. Buah durian merupakan buah khas yang terkenal dari Batang Tarang, meski buah durian dapat kita jumpai di berbagai sudut kota di tanah air. Durian di Batang Tarang berbuah dua kali dalam setahun, yaitu sekitar bulan November-Januari dan Juni-Agustus. Walau tidak ada prediksi pasti durian berbuah atau tidak. Durian Batang Tarang terkenal manis dan montong, tidak kalah dengan durian Bangkok di Thailand.  Khas-nya lagi durian Batang Tarang memiliki biji yang berukuran kecil, seukuran ujung jari kelingking.


Durian Khas Batang Tarang
Pembeli bahkan dapat menunggu sendiri buah durian jatuh dari pohonnya, karena pohon durian yang tidak jauh dari jalan raya trans Kalimantan yang menghubungkan Malaysia, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Maka tidak heran jika banyak bis-bis asal Sarawak, Malaysia singgah di tepi jalan untuk membeli durian dan sudah pasti di  bawa pulang ke negaranya untuk dijadikan sebagai oleh-oleh. Berbagai jenis makanan olahan dari durian seperti dodol durian yang dikenal dengan nama Lempok khas Batang Tarang, yang dijual hingga ke pusat Kota Pontianak. Tidak hanya buah durian, tetapi ada juga buah langsat, buah mentawa’k, dan masih banyak buah lain yang dapat di jumpai di Batang Tarang. Jenis buah-buahan yang tumbuh di hutan liar biasanya banyak disukai orang-orang dari negara tetangga.

Tidak jauh dari pusat kota Batang Tarang, terdapat Bukit Tiong Kandang yang cukup tersohor bagi para pecinta alam. Terletak di Desa mangkit yang letaknya sekitar empat puluh lima menit dengan naik sepeda motor dari pusat kota. Tiba di Desa Mangkit pengunjung tidak dapat langsung mendaki, harus dengan petua adat Dayak Mali yang terdapat di Desa tersebut. Sebab di Bukit Tiong Kandang masih terdapat hal magis dan benda-benda yang di anggap keramat oleh masyarakat setempat. Seperti misalnya: Pantek, benda keramat berupa patung, dan juga terdapat dua batu besar yang berhimpitan dinamakan Batu Bekepet. Benda-benda keramat tersebut merupakan peninggalan nenek moyang Etnis Dayak Mali yang hampir ada di setiap sudut-sudut desa di Batang Tarang.

Bukit Tiong Kandang Dari Desa Temiang Mali
Para pengunjung pun tidak boleh sembarangan memetik tanaman di Bukit Tiong Kandang, bahkan tidak boleh membuang sampah sembarangan karena mitos nya akan di tegur oleh penunggu bukit tersebut. Dari pemukiman warga ke puncak bukit ditempuh sekitar kurang lebih satu jam. Lelah memang. Namun ketika tiba di puncak bukit, pemandangan luas nan indah menyuguhkan betapa alam Indonesia sungguh mempesona. Kota kecil Batang Tarang terlihat jelas dari atas bukit, serta kota Tayan yang dialiri liukan sungai kapuas sungguh memanjakan mata. Tak ingin rasanya saya beranjak hingga sore. Semakin sore suasana dingin makin terasa, romantis memang bercengkerama dengan alam yang betul-betul masih perawan.

Bukit Tiong Kandang Dari Desa Mangkit
Masyarakat di kaki bukit ini pun sangat ramah dan welcome terhadap siapa saja yang berkunjung, dan lagi-lagi Desa Mangkit merupakan salah satu desa penghasil durian yang di jual di pasar Batang Tarang, jadi sepulang dari Bukit Tiong Kandang dapat ikut bersama warga menunggu durian jatuh di malam hari, warga setempat menyebutnya “nginah”. How lucky I am! Berasa betul-betul mendapatkan durian runtuh, karena saya mempunyai beberapa teman disana jadi saya langsung ikut mereka nginah. Bagi pendatang yang menginap, bisa tinggal langsung bersama warga disana. Jadi sekaligus dapat belajar kehidupan mereka.
Terdapat pula Riam’p Batu Ikan’t yang letaknya di desa tetangga Mangkit yaitu Desa Mak Ijing. Wisata air riam ini masih belum banyak di ekspose, karena keberadaannya yang belum banyak diketahui banyak orang. Hanya sekitar lima belas menit perjalanan menuju riam dari pemukiman warga. Indah dan eksotisme alamnya betul-betul terasa ketika mandi di air jernih yang tidak tersentuh oleh tangan-tangan nakal pengusaha. Hutan-hutan di sekeliling riam ini terawat dengan baik, masyarakat setempat lah yang menjaganya.

Riam'p Batu Ikan’t-Desa Mak Ijing
Tidak afdol rasanya jika berkunjung ke kampung-kampung di Batang Tarang tidak mencoba sensasi ke sawah atau ke ladang. Dalam bahasa Dayak Mali ladang disebut Ume’k. Jangan lupa mampir di Kampung saya, Kampung Pejalu. Tradisi ladang berpindah Etnis Dayak zaman dahulu masih di warisi hingga di era teknologi kini, dimana masyarakat masih membuka ladang dengan menebang pohon dan membakar. Namun cara tersebut sama sekali tidak menyebabkan kerusakan fungsi ekologi hutan, karena setelah berladang masyarakat adat akan meninggalkan lahan hingga enam sampai sepuluh tahun. Tradisi ladang berpindah ini sudah turun temurun dilakoni masyarakat adat Dayak Mali.

Berladang dengan sistem berpindah ini hanya sekali dalam setahun bahkan dua tahun. Setelah dibakar dan sisa-sisa kayu dibersihkan, maka akan ada tradisi Nugal yang selalu di nanti-nanti oleh saya. Nugal adalah menanam padi dengan menabur butir-butir padi pada lubang di tanah. Lubang-lubang kecil itu dibuat oleh laki-laki sedangkan perempuan-perempuan menabur butir padi pada setiap lubang. Semua pemuda-pemudi dan orang tua turun ke ladang bersama-sama untuk Nugal. Biasanya akhir dari Nugal adalah makan bubur kacang hijau dan mencoret-coret wajah kawan dengan arang hitam. Sungguh bahagianya, tidak salah jika banyak ahli psikologi mengatakan “Happiness is simple”. Berbeda dengan berladang, masyarakat juga menggunakan sistem sawah yang setiap tahun bisa sampai dua atau tiga kali garap. Jadi terdapat bentang sawah nan luas bernama Me’k Impong, dimana masyarakat dari berbagai kampung bertemu seperti Kampung Manang, Kampung Mungguk Mayang, Kampung Sei Borok, dan Kampung Pejalu.

Uniknya lagi Dusun Manang yang terdiri atas dua kampung yaitu Kampung Pejalu dan Kampung Manang sendiri, dimana masyarakat di Kampung Pejalu adalah Etnis Dayak Mali dan hampir 100% beragama Katolik, sedangkan masyarakat di Kampung Manang adalah Etnis Melayu yang 100% beragama Islam. Sangat pantas untuk menjadi contoh bukti toleransi antar umat beragama di Indonesia. Karena kedua kampung ini saling menghargai dan menganggap saudara antara satu sama lain. 

Tradisi Nugal Suku Dayak Mali-Batang Tarang
Pada musim panen masyarakat Dayak Mali memiliki tradisi setiap tahun memberi padi makan, tradisi ini disebut “Gawai Pade” yang dilaksanakan sekitar bulan April dan Mei setiap tahun setelah panen. Setiap desa tanggal pelaksanaannya berbeda-beda, jadi pengunjung bisa menikmati tradisi Gawai Pade dari berbagai desa di Batang Tarang. Tradisi ini juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Esa, atas hasil panen yang diberikan kepada masyarakat Dayak Mali. Karena Gawai Pade tidak diadakan di Desa Cowet, jadi saya menikmati tradisi ini di desa lain yang tidak jauh letaknya dari kampung saya. Dalam tradisi Gawai ini esensinya adalah mengucap syukur atas panen padi dan makan-makan. Tuak (minuman terbuat dari permentasi beras ketan) adalah minuman wajib dalam pelaksanaan tradisi Gawai. Bagi teman-teman Muslim, jangan mencoba ikuti ritual adatnya karena biasanya tamu yang berkunjung akan disuguhkan makanan seperti daging babi, daging ayam, dan daging anjing. Namun, tidak menjadi masalah jika berkunjung ke rumah teman yang memang di kenal dekat.

Hampir semua penduduk daerah perkampungan di Batang Tarang bermata pencaharian sebagai petani karet. Mereka menggantungkan hidup pada hasil karet yang mereka sadap setiap hari. Termasuk saya sendiri yang dari kecil sudah menyadap pohon karet, bahasa Dayak Mali menyebutnya “Motong’k.” Setiap pagi masyarakat Motong’k di kebun karet masing-masing, bekerja paruh waktu hingga tengah hari, dan setengah hari nya mereka habiskan untuk bekerja di sawah atau ladang.

Kreativitas pemuda dan pemudi di Batang Tarang sangat patut untuk di apresiasi, dimana mereka sebagai generasi penerus tradisi selalu berpegang teguh pada nilai dan budaya adat Dayak Mali. Setiap menjelang bulan Januari, perkumpulan pemuda dan mahasiswa Dayak dari Batang Tarang mengadakan acara Pawai Budaya untuk menjaga tradisi leluhur mereka. Biasanya acara ini dirangkaikan bersamaan dengan perayaan Natal bersama pemuda dan pemudi di Batang Tarang. Acara ini sangat menarik untuk diikuti, karena pengunjung atau wisatawan dapat menyaksikan tarian-tarian adat serta ritual adat lainnya yang direpresentasikan melalui anak-anak muda Dayak Mali.

Pawai Budaya Dayak Mali-Batang Tarang (1)

Pawai Budaya Dayak Mali-Batang Tarang (2)
Lokasi-lokasi wisata di Batang Tarang memang tidak se-tenar wisata yang ada di Pulau Jawa, Bali atau Lombok. Namun, budaya dan alam yang menyatu dalam kehidupan masyarakat di pedalaman Pulau Kalimantan boleh menjadi referensi kunjungan wisata sahabat. Yuk! Mampir di Batang Tarang. Indonesia itu kaya dan indah, guys!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar