Rabu, 18 Desember 2013

Jalan Lintas Negara Butuh Keseriusan Pemda, Pemprov Dan Pemerintah Pusat



Oleh: Nikodemus Niko
Mahasiswa Sosiologi FISIP Untan.

Saat pulang ke kampung halaman ku tercinta di Batang Tarang. Perjalanan dari kota Pontianak sampai simpang ampar perjalanan lumayan lancar, jalan masih bagus. Begitu meluncur dari simpang ampar menuju Batang Tarang ke arah Sosok, sebagian besar jalan rusak parah. Hal ini menunjukkan Buruknya infrastruktur jalan Lintas Negara di Kabupaten Sanggau yang menghubungkan antara negara Malaysia-Indonesia.

Pejuang Becak



By: Nico

Lalu lalang kendaraan di Jalan Imam Bonjol Pontianak pagi ini mengiringi langkahku menuju kampus. Sebenarnya dosen pagi ini tidak masuk, makanya aku enggan mau ke kampus. Tetapi karena tugas kuliah sebagai pengganti kuliah harus dikumpulkan pagi ini, terpaksa aku harus datang ke kampus. Sepanjang perjalanan, kemacetan panjang memang sudah menjadi konsumsi pengguna kendaraan di Kota Pontianak. Kebetulan hari ini kuliahnya di Magister Ilmu Sosial sehingga jarak antara kost dengan kampus tidak sampai lima menit.

Nuclear: solution Energy Crisis in Indonesia

Peringkat 28 dalam

Global Energy Initative Essay Contest2013

Nikodemus Niko
Age 20, Indonesia
Tanjungpura of University, West Kalimantan

I was born in a remote village. The village which is far away from the big city. Pejalu is the name of my village. There is no electricity flowing in my village. When night falls, my house only in lighting by ‘pelita’ (the kerosene lamp). Finally, I'm forced to settle in the city to attend school. I'm not used to the life in the town. Every man require electricity to support his life. However, it never i feel in my village. Electric was one of the component of many very role in the life of a people and even for every human being. Almost all areas of human need employment of electric power. Housewife cannot cooking and washing clothes without electrical energy. In indonesia is currently being in crisis electrical energy. It is ironic, a country that has its natural resources abundant, was now crisis energy. I believe the whole world feels thinking about and energy crisis. The core of the world's energy problems is the imbalance demand and supply as well as access to energy resources.

Senyuman Untuk “Dia”


By: Nikodemus Niko

Kala pagi menjelang.......................
Kala itu juga ingatan ku tertuju padanya...........
Aku ingin menangis dalam lamunan embun pagi........
Namun, tertahan bersama isakku................

Dalam isak tangisku pagi ini...............
Rasaku telah tertuang lega..........
Aku bisa menghembus nafas segar............
Dalam hati bergumam “terima kasih Tuhan”..........

Disudut kamarku, terlihat senyum indahnya.........
Perlahan ku terbangun.................
Tersenyum sambil menatap indah wajahnya..............
Meski hanya fotomu yang terpajang.................
Tetapi hadirmu sungguh hadir didalam hatiku........................

Bukan Untukku



By: Nico Ajah

Tiap kali aku sedih
Tak seorangpun yang tahu arti kesedihan ku
Hatiku kterluka
Tergores rindu yang kau torehkan
Waktu yang terus mengejarku tanpa henti
Membuatku tersadar kalau aku tak boleh menoleh ke massa lalu
Aku terus beranjak meninggalkan masa yang terlalu indah tu ku lupakan
Aku ingin berlari dan pergi jauh dari hidup dan hatimu
Hal itu aku lakukan bukan berarti aku sudah tak menyayangimu
Tetapi aku hanya mencoba untuk belajar hidup tanpamu
Sebab yang ku tahu, engkau bukanlah milikku

Kenangan Terakhir di Novgorod



Awan berarak menyapaku tanpa suara. Semilir angin pagi ini seolah berbisik mengucapkan “good morning” di kota tua Veliky Novgorod. Pagi ini Verdinand benar-benar datang menemuiku, duduk di sampingku dan tersenyum menatapku. Aku benar-benar tak berdaya melihat tatapan itu, tatapan yang begitu hangat, penuh harap dan selalu memvonisku ingin terus bersamanya. Dari taman Kremlin tampak berdiri kokoh Monumen Millennium of Russia, yang menjadi saksi bisu kerinduan ku padanya. Aku sadar, aku sangat mencintainya, aku tidak ingin kehilangannya.

Dedaunan berserakan tersapu angin, menghanyutkan ku dalam pelukan Verdinand yang sungguh hangat ku rasa. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang. Sudah lama ku merindukan moment seperti ini. Jarak yang memaksa kami harus terpisah, Verdinand tidak memiliki waktu banyak bersamaku di Novgorod, dia adalah tentara militer yang bertugas di Moskow.
Dear,
Maaf, belum sempatku membagi kebahagiaan,
Belum sempat ku membuat mu tersenyum,
Aku tak ingin kehilangan tuk kesekian kali,
Tuhan kumohon jangan lakukan itu,
Sebab ku sayang dia,
Sebabku tak rela tak selalu bersamanya,
Aku rapuh tanpa dia,
Seperti kehilangan harap,
Jikalau memang harus ku alami duka,
Kuatkan hati ini menerimanya.

Selembar surat dari Verdinand itu selalu kubawa dan terus ku ingin membacanya.
“untuk apa kamu membaca surat ini, sementara penulisnya ada di hadapanmu,” Verdinand menatapku lekat.  Aku tidak sanggup menatap matanya lagi, air mataku jatuh begitu deras menghujani wajahku. Aku tak berdaya, begitu lemas dan Dia memelukku erat.
“Aku selalu merindukanmu Ver. Jangan tinggalkan aku lagi”, lirihku.
“Aku juga merindukanmu, Flo. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Verdinand kemudian mengecup keningku sebelum tanganku digenggam erat olehnya.
Aku yang tak bisa banyak berkata-kata hanya ikut kemanapun Verdinand pergi. Ia mengajakku ke Restauran Tall Ship di tepi sungai Volkhov. Tempat dimana aku dan Verdinand pertama kali bertemu, dan tempat pertama kali Verdinand menyatakan cintanya padaku. Verdinand memilih tempat paling pojok. Ruang makan yang menyerupai ruang kemudi kapal itu memiliki kenangan yang tak akan mungkin bisa aku lupakan.
“Aku punya kejutan buat kamu. Aku keluar sebentar ya sayang.”
“Iya. Tapi jangan lama-lama,”
“Tenang aja sayang, aku pasti kembali,” senyum Verdinand itu sungguh menghipnotisku untuk terus selalu mencintainya.
“I love you,” aku berucap seolah berbisik.
“Love you too, sayang.”

Lama aku menunggu Verdinand kembali. Sudah dua jam dia berlalu. Kemana dia pergi? Kenapa dia belum kembali. Berjuta pertanyaan timbul dalam benakku. Aku tak bisa tinggal berdiam diri saja disini. Aku menyusul Verdinand, entah kemana aku harus mencarinya. Dari kejauhan aku melihat kerumunan orang, entah apa yang sedang terjadi disana. Aku segera menghampiri orang-orang itu. Kutemukan Verdinand terbaring disana.
“Ver! Apa yang terjadi? Ver! Kamu kenapa ver?” Aku tak sanggup lagi menahan tangis.
Verdinand tertabrak mobil saat membeli bunga untukku, dia terpental sangat jauh. Mawar merah yang ia bawa berserakan bercampur dengan merahnya darah yang keluar dari kepalanya.
“Ver, bangun. Dengar aku Ver, bangun.” Aku pegang erat tangannya. Perlahan Verdinand membuka mata.
“Happy Anniversary, sayang.” Verdinand mengucapkan itu padaku. Dia masih saja mengingat hari kami jadian dua tahun lalu. Verdinand menghembus nafas terakhirnya dalam pelukanku.
“Ver! Bangun Ver.”

Bongkahan-bongkahan es membeku di sepanjang jalan mengiringi perjalanan kisahku bersama Verdinand. Mengukir kenangan yang tak akan pernah kulupakan dalam hidup. Aku sangat mencintainya. Tapi kenapa Tuhan harus mengambilnya dariku? Sekarang aku harus menerima kenyataan yang sangat pahit, kenyataan yang tidak pernah aku inginkan.
Aku ingin menemani Verdinand didalam tanah sana, menemaninya dalam kegelapan, kesunyian, dan kedinginan.