Jumat, 03 Juni 2016

Ethnoecology

'Ethnoecology" emerged as that branch of the new ethnography which describes people's conceptual models of their environment. It is distinguished primarily by its subject matter, which includes classifications of plants (Berlin et al. 1974, Friedberg 1979), animals (Blumer 1957, 1967, Kesby 1979), land forms (Conklin 1967), and so on, and shares its methods and underlying premises with the broader field of 'cognitive anthropology' (Tyler 1969) to which it belong.

Source: https://inamuse.wordpress.com/2010/11/12/peralatan-sehari-hari-suku-wana-di-cagar-alam-morowali-1/ 

The frefix 'ethno-' is used to denote a field of knowledge defined from the viewpoint of the people being studied (Fowler 1977:216) and is similar in meaning to the term 'folk' (as in 'folk knowledge', 'folk model', 'folk medicine'). Thus, ethnoecology is a branch of 'ethnomedicine', 'ethnobiology' and so on. The use of the frefix 'ethno-' is essentially 'ethnocentric'; it impies that those bodies of knowledge not labelled 'ethno-', usually those generated by academic study in the 'western' tradition, are somehow privileged: 'Scientific knowledge, as we conceive it, has cross-cultural validity; ethnoscience, on the other hand, refers to knowledeg that is indigeneous to a particular language an culture' (Glick 1964:273).

Dimana Letak Kehadiran Negara?

Joko Widodo--Presiden Republik Indonesia
Source: http://gumilang.me/1302/profil-dan-biodata-joko-widodo-atau-jokowi/

“Kabinet Kerja” pada masa kepemimpinan Jokowi telah membangun citra positif bagi parlemen. Nawa Cita yang kemudian dibangun melalui elaborasi media massa, menempatkan kepemimpinan Jokowi di puji puja berbagai kalangan; mulai dari kalangan tukang sayur dan pemulung hingga kalangan elit. Pada prinsipnya, Nawa Cita membangun visi “menghadirkan kembali negara” dalam berbagai persoalan di negeri ini. Selain itu Nawa Cita juga membawa esensi “membangun dari pinggir”.
Permasalahan yang kemudian muncul yaitu, mengapa harus “menghadirkan kembali negara,” apakah selama ini negara tidak pernah hadir dalam mengatasi persoalan negeri? Menurut pandangan saya, tidak juga. Memang kehadiran negara saat kekuasaan rezim orde baru terepresentasi dalam tubuh militer, dimana terdapat hubungan yang tidak harmonis antara civil society dengan military society.

Senin, 09 Mei 2016

Pembagian Tanah Gratis di Kalimantan: Pengabaian Hak Rakyat Lokal

Oleh: Nikodemus Niko

Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Universitas Padjajaran

Sumber: www.triptrus.com

Program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah pusat dengan mendatangkan penduduk dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan sudah berlangsung sejak lama; sejak masa pemerintahan orde baru. Mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan, pemerintah cukup berhasil menekan angka penduduk di pulau Jawa, salah satunya dengan adanya program transmigrasi. Pulau Jawa memiliki tanah yang subur untuk lahan pertanian, namun mengapa banyak rakyat pulau Jawa yang harus “diungsikan” ke pulau Kalimantan? Merujuk pada Undang-undang nomor 3 Tahun 1972, bahwasannya transmigrasi memiliki tujuan demografis, tujuan ekonomi dan pembangunan, serta tujuan pertahanan keamanan.

Sabtu, 23 April 2016

Surat Untuk Bapak Presiden Republik Indonesia

Pak presiden yang mulia, perkenankan saya memperkenalkan diri saya. Nama saya Florentina, saya seorang anak berumur 7 tahun saat ini sedang duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Saya bersekolah di SDN Nomor 21 Munguk Tawak, sebuah sekolah negeri yang terdapat di pedalaman pedesaan Kalimantan Barat. Setiap pagi saya pergi ke sekolah berjalan kaki dengan teman-teman saya di kampung, tidak seperti mereka yang bersekolah di perkotaan, yang biasa diantar oleh orang tuanya menggunakan mobil atau motor. Orang tua saya sudah berangkat ke sawah ketika saya pergi ke sekolah.

Jumat, 22 April 2016

#DearYou



Sulitkah sebuah alasan?

Ketika memang, kau dan aku tak kan mungkin menjadi kita.

Setidaknya ucapkan, mengapa harus meninggalkan luka.

Bukankah dahulu yang ingin selalu bersama adalah kau.

Minggu, 13 Maret 2016

Olivia dan Bayi Lelakinya: Nyanyian Sumbang dari Pedalaman Kalimantan

Nikodemus Niko
*Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Universitas Padjajaran

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160221_indonesia_un_prihatin_kebiri

Olivia (bukan nama sebenarnya) yang dipanggil Oli, gadis kampung yang melahirkan anak lelaki pertamanya sekitar tiga minggu yang lalu. Saya mengetahui hal ini setelah diberitahu oleh ayah saya di kampung. Oli adalah seorang anak dari kampung pedalaman di Kalimantan Barat, yang kebetulan adalah satu kampung dengan saya. Oli saat ini baru berumur 15 tahun, umur yang masih belia, dia berhenti sekolah di bangku kelas VII SMP empat tahun lalu. Jadi, jika Oli masih bersekolah saat ini, ia sudah duduk di bangku kelas X SMA. Namun sayang, nasib baik tidak berpihak kepadanya. Jarak sekolah yang jauh dari kampung, membuatnya enggan untuk pergi ke sekolah, apalagi dengan menggunakan sepeda. Jarak sekolah SMP yang berada di kecamatan cukup jauh dari kampung, sekitar satu jam dengan menggunakan sepeda.

Sabtu, 06 Februari 2016

Ceritaku: Hujan ditengah Gurun

Saat ini aku telah usai menjalani semester pertama perkuliahan di kampus yang baru: studi Master di salah satu universitas ternama di Indonesia. Jika menurut peringkat terbaru, kampusku masuk lima besar kampus terbaik di “tanah air beta” ini. Bangga dong bisa menempuh studi di kampus Top. Bukan saja hanya bangga tanpa diikuti kualitas diri. Aku terus, terus dan terus memaksa diri untuk menyesuaikan iklim pendidikan di tempat baru. *sambil sisiran didepan cermin
Padahal bagiku, kuliah S2 itu bak menemukan hujan ditengah gurun pasir: adem. Ayah, Ibu, I love them. Mereka yang menjadi sumber semangatku. Iya, kuliah di pulau Jawa (dan lagi di kampus bagus) memang membawa tantangan tersendiri bagi aku. Tadinya saat S1 aku juga kuliah di kampus Top di pulau Kalimantan, ngerasa diri sudah maksimal banget dalam segala hal. Tapi nyata nya, semua itu belum ada apa-apa nya, dan terasa ketika kuliah di pulau Jawa yang penuh persaingan dan tentunya kerja keras. #ngunyahbeling

Jumat, 15 Januari 2016

Kesongkor Ka’k Baba’k Pintu’

*Nico Ajah
#SerialKisahCintaAnakDayakMali.
Foto: via http://www.fotografindo.com/gallery/351

Ari ujan’t abek, amei ngen, pas ken urek teng’k dio ko. Ko panai ayek? Ken urek da sap amei, kunak nadama ko nghina, kunak nadama ko misoh. Ken pun ojo yak bebuat ani-ani agik, ken hak mang na aja belaba. Suwai ngak nadama ko ayek setuju ngan adep. Ko nana cantek, bala nadama ko na belaba, udah bala pengaya rata. Nge, ken’t ha’k ani meh, jik tekek dudung’k nge, ayek berati ani-ani, udip ken ngak masih numpangk ngan nadama ken’t.

Niat ate yak nyacah ko, kerena ken’t da sangat bener kaseh kak ko, sangat bener sayangk kak ko. Jengen ngak meh ko, ken’t pun panai rati ko sayangk ngak kak ken’t. Da memang tegel adep bekenal, da memang tegel adep bepegei, biasawa sengak aja njumpa dingan duwe’k, pesti adep nyae.

Senin, 11 Januari 2016

Yuk! Mampir di Batang Tarang

Oleh: Nikodemus Niko

Jika sahabat memiliki kesempatan untuk berkunjung ke pulau Kalimantan, apa yang pertama akan sahabat jelajahi? Tidak ada salahnya jika mencoba mengunjungi Suku asli pulau Kalimantan; Dayak. Dayak sendiri memiliki banyak sub-suku dengan bahasa dan kebudayaan yang berbeda-beda, justru disinilah letak keunikannya. Kekayaan budaya dan tradisi adat terdapat pada masing-masing sub-suku Dayak di Kalimantan. Salah satunya Dayak Mali di Batang Tarang, Kalimantan Barat.

Batang Tarang adalah sebuah ibu kota kecil Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Memang, penduduk setempat lebih mengenalnya dengan sebutan ‘Balai’ yang artinya tempat berkumpul. Namun, masyarakat di luar kecamatan ini mengenalnya dengan sebutan Batang Tarang, sebab banyak sebutan Balai yang digunakan di Kabupaten Sanggau, misalnya Balai Karangan dan Balai Sebut yang masih terletak di kabupaten yang sama; Sanggau, yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Masyarakat asli Batang Tarang adalah Etnis mayoritas Dayak sub-suku Dayak Mali, dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Nah, jadi apa saja yang dapat dinikmati di daerah yang tidak padat penduduk ini?

Jumat, 01 Januari 2016

Trip Murmer ke Floating Market Lembang “Ngangkot”

*Nico Ajah

Mengawali perjalanan nge-trip kali ini, aku perginya bersama teman-teman alias nggak sorangan (sendiri). Dan kami akan melakukan perjalanan dengan naik angkot alias “ngangkot”. Rencana berangkat pagi tergusur karena menunggu satu diantara kami yang terpaksa tidak datang tepat waktu di meeting point, McDonal simpang dago, bandung, karena ada urusan dengan dosennya. Jadilah kami menunggu selama satu jam setengah. Ekspektasi berangkat jam 8 pagi menjadi jam setengah sepuluh. Aku yang kebetulan tinggal di Dago atas, hanya naik angkot sekali saja (jurusan Riung-Dago atau Stasion-BIP-Dago atau Kalapa-Dago) untuk mencapai meeting point ongkosnya Cuma Rp. 2.000. Setelah semua kumpul, dan siap untuk berpetualang, kami berjalan menuju halte di jalan babakan siliwangi. Disana sudah banyak angkot yang nge-tem untuk tujuan Caheum-Ledeng. Kami naik, dan untuk mencapai terminal Ledeng yang letaknya tidak jauh dari kampus UPI (universitas pendidikan indoensia). Sekitar satu jam di perjalanan, karena kondisi jalan begitu macet. Ongkos angkotnya Cuma Rp. 5.000 per orang.