Minggu, 09 Desember 2012

Jossea 2013, Join Opinion SOlving For South East Asia



By enrolling as a Participant in Join Opinion Solving for South East Asia, you will have a chance to be heard and to speak your ideas as well to contribute for a better ASEAN in the future.
We’re looking for The Students who have:
1. A care about ASEAN
2. A good English
3. Willing to travel a lot
4. An active student in University
If you think you’re full filled those requirement, kindly submit your:
1. Motivation Letter of “Student’s role as a future leader for ASEAN Community
2015
(min. 250 words, max. 300 words) “
2. formulir [http://ge.tt/9sxZmeR/v/0?c]
3. CV
Send it to ‘ jossea2013@gmail.com’ in .pdf format until 12th of December, 2012.
The Conference will be held in Yogyakarta – Indonesia, 21-27th of January 2013. Due
our reconsidered that the participants will be the students, the investment for the
international participant is not USD $185 but USD $135, while for the local participant is Rp
1.750.000,00 Rp
For further info about JOSSEA 2013, reach us in:
@Jossea2013
facebook.com/Jossea2013
International Conference of JOSSEA 2013
Syihab [+62 898 5107 815]
Irsyad [+62 856 2886 165]
1.250.000,00.

Perilaku ABG Pontianak Ketika Malam Minggu





Semilir angin malam ini terasa sejuk menembus dinding bajuku, saat ku menyusuri jalan sultan Abdulrahman Pontianak, Sabtu (1/12). Sekitar pukul 22.30, jalan itu di padati anak-anak muda dengan nongkrong di atas sepeda motor mereka.

Perlahan ku kendorkan gas motorku, kali ini aku tidak sendirian. Aku ditemani salah satu personil polisi berpakaian santai, yang kebetulan ingin memantau. Ia akrab di panggil bang Joko. “Disini biase ade balapan liar”, ujarnya padaku. Aku hanya terdiam dan mengangguk saja.

Tidak lama kemudian, suara motor terdengar berdengung di belakang tempat kami singgah. Motor itu milik anak-anak yang sengaja iseng. Kami langsung bergegas meninggalkan tempat itu, balapan liar memang sering di pergok oleh aparat kepolisian. “Sering ada razia tu, di berbagai tempat lah”, ungkap Joko lagi.

Audisi Menulis “Facebookisme” DL:30 Desember 2012





Audisi Menulis “Facebookisme”
by Ronia Nia on Friday, October 12, 2012 at 10:24am ·
Audisi Menulis “Facebookisme” DL:30 Desember 2012 pukul 23.59.

oleh Ilmi Publisher pada 29 September 2012 pukul 16:36 · 

Kata kebanyakan orang, di zaman yang serba-digital ini, keberadaan akun jejaring sosial Facebook semakin menambah cita rasa. Facebook diyakini bukan hanya sarana ekspresi diri belaka. Lebih dari itu, Facebook kini berubah wujud menjadi gaya hidup!

Banyak hal terjadi di sana. Mulai dari peristiwa menemukan sahabat yang telah lama tak bertemu, tempat curhat dan berbagi, forum diskusi, dan masih buanyak lagi deretan kegunaan Facebook. Nampaknya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan Facebook kini berubah wujud menjadi “faham” baru, :).

Hari gini, siapa sih yang tidak (atau paling tidak, belum) punya akun Facebook? Kamu juga penghuni Facebook, kan? Nah, Ilmi Publisher sedang punya event, nih. Penasaran? Simak, deh!

Syaratnya?
  1. Untuk memudahkan peserta jika ingin bertanya tentang event ini, add  akun Facebookwww.facebook.com/ilmipublisher atau like di Fanspagewww.facebook.com/penerbit.ilmi
  2. Naskah yang diikutkan audisi adalah tulisan yang pernah dipublish di Note/Catatan akun Facebook peserta. Minimal 3 halaman A4 (tidak ada batasan maksimal), Arial 11, spasi 1.5, margin 3-3-3-3.
  3. Tema tulisan bebas, asal inspiratif (bisa berupa artikel, catatan harian, pengalaman menarik, tips, dan sejenisnya) dan tidak bersinggungan dengan isu sara dan pornografi.
  4. Setiap peserta hanya boleh mengikutkan maksimal 2 naskah terbaiknya.
  5. Naskah adalah karya asli (bukan saduran/terjemahan/jiplakan) dan sama sekali belum pernah diikutsertakan dalam event/perlombaan.

Caranya?
  1. Kirim naskahmu langsung via Website kami di link berikut : http://www.ilmipublisher.com/self-publishing/kirim-naskah/kirim-naskah-facebookisme.html atau bisa juga via email ke:facebookisme@ilmipublisher.com dengan subject: FACEBOOKISME.
  2. Deadline pengiriman naskah tanggal 30 Desember 2012 pukul 23.59.
  3. Setiap naskah yang dikirim disertai biodata, meliputi;
-           Nama lengkap
-           Nama pena (nama yang ingin dicantumkan di buku)
-           Alamat
-           Akun Facebook (untuk memudahkan panitia, mohon selama event ini tidak mengubah-ubah nama Facebook)
-           Nomor HP
-           Foto

4.  Publish materi event ini di Facebook masing-masing dan tag minimal 25 teman.

Hadiahnya?
  1. Ilmi Publisher akan memilih 3 naskah terbaik untuk berhak mendapatkan paket menerbitkan buku gratis di Ilmi Publisher senilai @Rp. 300.000,- (total: Rp. 900.000,-).
  2. 1 exp buku jadi untuk 3 naskah terbaik.
  3. 30 naskah terbaik akan dibukukan menjadi antologi Facebookisme: Catatan Inspiratif Para Penghuni Facebook.
  4. Royalti sebesar 15% dari harga buku terjual akan dibagi untuk 30 naskah yang dibukukan.
  5. Semua peserta akan mendapat e-sertifikat.

Gampang, kan? Tunggu apa lagi? Yuk, segera obrak-abrik Facebookmu, cari catatan inspiratif yang pernah kamu publish, dan kirim! ^^

Catatan: Apabila naskah yang masuk tidak memenuhi kualitas sebanyak 30 naskah, maka Ilmi Publisher berhak melakukan re-launching event ini untuk mendapatkan naskah guna memenuhi 30 naskah terbaik.
Happy writing, :)

\

Jumat, 02 November 2012

laporan praktikum 1



BAB I
GAMBARAN UMUM MATA KULIAH

Istilah sosiologi dicuatkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri disiplin ilmu ini. Secara sederhana sosiologi berarti studi mengenai masyarakat, tetapi dalam prakteknya sosiologi berarti studi mengenai masyarakat dipandang dari satu segi tertentu. Apa yang menjadi pusat perhatian sosiologi adalah tingkah laku manusia, baik yang individual maupun yang kolektif, namun lebih banyak segi kolektifnya dan relasinya dengan masyarakat. Dengan demikian sosiologi merupakan studi mengenai tingkah laku manusia dalam konteks sosial.
Jika sosiologi itu terutama memperhatikan tingkah laku manusia dalam konteks masyarakat dan dalam hal ini mencakup segala-galanya, maka jelaslah politik itu hanya memperhatikan beberapa aspek saja dari masyarakat. Tidak terlalu sulit untuk mengenal aspek-aspek masyarakat yang menjadi pusat perhatian studi politik, khususnya lembaga-lembaga sosial seperti badan legislatif dan eksekutif, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan, dan beberapa bidang khusus dari mental serta tingkah laku manusia, seperti proses pemilihan legislatif.
Pada banyak segi akan merupakan bantuan bagi kita untuk menganggap kekuasaan sebagai titik sentral dari studi politik. Jika secara rasional orang menganggap ilmu pengetahuan politik itu sebagai bagian integral dari sosiologi, namun secara akademis ilmu tersebut telah berkembang sebagai satu disiplin ilmu yang terpisah. Dalam bidang sosiologi politik ini ada dua tokoh yang sangat menonjol yaitu, Karl Marx (1818-1883) dan Max Weber (1864-1920).
Sosiologi politik adalah subject area (bidang subjek) beberapa orang lain menamakan nya sebagai disiplin yang mempelajari mata rantai antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dengan tingkah laku politik. Dengan berbuat demikian, kita melihat sosiologi politik sebagai jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu pengetahuan politik.
Kedua bapak pendiri sosiologi politik, Marx dan Weber, yakin bahwa mereka telah mempraktekkan satu ilmu sosial yang bebas nilai. Sejak itu ukuran standar dianut oleh para penganjur pendekatan behavioral (tingkah laku) untuk studi mengenai fenomena sosial. Akan tetapi, kritik-kritik nya belum terjawab secara efektif, dan masalahnya lebih diketahui daripada diabaikan.









BAB II
KONSEP-KONSEP UTAMA DALAM SOSIOLOGI POLITIK
2.1 Sosialisasi Politik
            Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik ditentukan oleh lingkunga sosial, ekonomi dan kebudayaan dimana individu berada, selain itu juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya. Dengan kata lain sosialisasi politik dalah proses, oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkungan kultural, lingkungan politik, dan lingkungan sosial dari masyarakat individu yang berssangkutan, juga mempelajari sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap politik. Maka sosialisasi politik itu merupakan mata rantai paling penting di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik, namun satu sistem bisa berbeda dengan sistem lainnya. Dilihat dari satu segi pandangan politik tertentu, sosialisasi politik adalah luar biasa pentingnya sebagai proses, dengan mana individu-individu, sampai pada kadar yang berbeda, bisa terlibat dalam satu sistem politik, yaitu dalam partisipasi politik.

2.2 Partisipasi Politik
            Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Aktivitas politik itu bisa bergerak dari ketidakterlibatan sampai dengan aktivitas jabatan nya. Oleh karena partisipasi politik itu berbeda-beda pada satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, juga bisa bervariasi di dalam masyarakat-masyarakat khusus, maka pentinglah bagi kita untuk mempelajari konsep-konsep mengenai apathi politik dan alienasi, serta peranan mereka dalam ketidakterlibatan dan keterlibatan mereka yang terbatas. Juga penting untuk ditegaskan bahwa partisipasi itu juga bisa menumbuhkan motivasi untuk meningkatkan partisipasinya, temasuk di dalamnya tingkatan paling atas dari partisipasi dalam bentuk pengadaan bermacam-macam tipe jabatan, dan tercakup di dalamnya proses pengrekrutan politik.
2.3 Pengrekrutan Politik
            pengrekrutan politik ialah proses dengan mana individu-individu menjamin atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu jabatan. Pengrekrutan ini merupakan proses dua-arah, dan sifatnya bisa formal maupun tidak formal. Merupakan proses dua-arah, karena individu-individunya mungkin mampu mendapatkan kesempatan, atau mungkin didekati oleh orang lain dan kemudian bisa menjabat posisi-posisi tertentu. Dengan cara yang sama, pengrekrutan itu bisa disebut formal, kalau para individu direkrut dengan terbuka melalui cara institusional berupa seleksi ataupun pemilihan. Dan disebut sebagai informal apabila para individunya direkrut prive (sendirian) tanpa melalui atau sedikit melalui cara institusional. Peristiwa sedemikian juga mencakup beberapa pertimbangan apakah mereka yang mengendalikan jabatan tadi bisa dengan tegas merupakan kelompok politik tertentu atau merupakan kelompok elit.



2.4 Komunikasi Politik
            Komunikasi politik adalah proses di mana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Kejeadian tersebut merupakan proses yang berkesinambungan, melibatkan pula pertukaran informasi di antara individu-individu dengan dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkat masyarakat. Komunikasi politik itu memainkan peranan yang penting sekali di dalam sistem politik, komunikasi politik ini menentukan elemen dinamis, dan menjadi bagian penentu dari sosialisasi politik, partisipasi politik, dan pengrekrutan politik.











BAB III
PENDEKATAN STRUKTURAL FUNGSIONAL (GABRIEL A. ALMOND)
2.1 Perkembangan Pendekatan Struktural Fungsional
Pada tahun 1956, tiga tahun setelah David Easton meluncurkankaryanya The Political System (1953), Gabriel A. Almond menerapkan teori sistem tersebut atas sistem politik suatu bangsa sebagai bentuk metode trial and error layaknya sebuah teori. Namun,Almond melakukan sejumlah modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory, maka Almond membangun suatu middle-range theory. Secara umum, teori sistem yang dibangun Almond terdiri atas 2 tahap, yaitu:
Tahap 1 : Gabriel A. Almond dalam Comparative Political Systems (1956). Tipologi sistem politik Almond pertama kali ia ajukan pada tahun 1956. Perhatiannya pada tiga asumsi :
1. Sistem menandai totalitas interaksi di antara unit-unitnya serta keseimbangan di dalam sistem selalu berubah.
2. Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata lembaga formal, melainkan juga struktur informal serta peran yang di jalankannya.
3. Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana budaya inilah yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain.
Tahap 2 : Gabriel A. Almond dan James Coleman dalam The Politics of  Developing Areas(1960). Dalam tahap 2  ini Almond berusaha menghindarkan keterjebakan analisa system politik dari kontitusi/lembaga politik formal menjadi ke arah struktur serta fungsi yang di jalankan masing-masing unit dalam sistem politik.
Fungsi menggantikan konsep power, sementara struktur menggantikan konsep lembaga politik formal. Dalam tahap 2 ini pula Almond menandaskan bahwa sistem politik memiliki 4 karakteristik yang bersifat universal. Karakteristik ini dapat berlaku di negara manapun. Keempat karakteristik tersebut adalah :
1. All political systems have political structures (setiap sistem politik punya struktur-struktur politik)
2. The same functions are performed in all political systems (fungsi-fungsi yang sama dapat ditemui di setiap sistem politik)
3. All political structure ... is multi-functional. (setiap struktur politik ... bersifat multi fungsi)
4. All political systems are mixed in the cultural sense (setiap sistem politik telah bercampur dengan budaya politik masing-masing)
Setelah mengajukan keempat asumsi dasar, Almond memodifikasi input serta output yang di maksudkan David Easton. Rincian Almond ini menjelaskan fungsi-fungsi input serta output Easton yang cukup abstrak tersebut. Bagi Almond, secara fungsional setiap sistem politik memiliki fungsi-fungsi input serta output, yang rinciannya sebagai berikut :
Fungsi Input terdiri atas: Sosialisasi dan rekrutmen politik, Artikulasi kepentingan, Agregasi (pengelompokan) kepentingan, Komunikasi politik.
Fungsi output terdiri atas: Pembuatan peraturan, Penerapan peraturan, Pengawasan peraturan, Sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi rekrutmen individu dari aneka kelas masyarakat, etnik, kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke dalam partai politik, birokrasi, dan sebagainya. Artikulasi kepentingan merupakan ekspresi kepentingan politik dan tuntutan untuk melakukan tindakan. Pengelompokan kepentingan merupakan penyatuan tuntutan dan dukungan dari masyarakat yang di artikulasikan oleh partai politik, kelompok kepentingan, dan entitas politik lainnya. Komunikasi politik melayani proses komunikasi di antara seluruh entitas politik yang berkepentingan oleh sebab baik sosialisasi dan rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, dan agregasi kepentingan semua disuarakan melalui proses komunikasi politik.
Dalam karya berikutnya, Almond telah memberikan perhatian pada perkembangan terakhir dalam bidang analisa system, terutama di bawah pengaruh Easton, dan dalam beberapa hal memperluas skemanya sendiri untuk mengakomodasikan proses adaptasi dan perubahan. Di sini ia memasukkan persoalan kemampuan  (capability), yang menjabarkan hal-hal di mana suatu system dapat mengatasi masukan-masukan dengan gemilang. Segala sesuatu yang masuk  ke dalam system tidak selalu mendukung. Tuntutan, yang selalu dijelaskan Easton dapat merupakan tantangan bagi sistem, dan suatu system harus memiliki elemen dan mekanisme yang perlu untuk menghadapinya agar dapat survive. Kemampuan system digambarkan sebagai: (i) menyerap (sumber-sumber), (ii) mengatur (atas individu dan kelompok), dan (iii) membagi (barang dan pelayanan). Disamping hal ini, system itu juga harus mampu berkembang dan memelihara simbol–simbol yang meningkatkan daya tarik atau kesetian pada dirinya sendiri dan secara memadai menanggapi tuntutan-tuntutan yang di ajukan padanya baik dari lingkungan domestik maupun internasional. Tantangan pada kemampuan system politik dapat datang dari: (1) dalam system politik itu sendiri yaitu dari para elit, (2) lingkungan, yaitu dari kelompok-kelompok sosial,atau (3) system politik lain.

2.2 Kelemahan Pendekatan Fungsional Struktural (Gabriel A. Almond)
Fungsionalisme struktural seperti yang di pakai Almond, menderita kelemahan karena kesulitan-kesulitan untuk analisis dari satu disiplin ilmu dan menerapkannya pada disiplin ilmu lain. Konsep-konsep yang di pakai pada suatu tingkat abstraksi dalam satu disiplin dan dalam konteks khusus akan tercampakan jika ditransplansikan pada disiplin yang lain. Almond telah meminjam hampir seluruh peristilahan dalam pendekatannya dari Talcott Parsons, tetapi tidak memakainya dengan cara yang sama. Sementara fungsi, tanpa mengacu pada system dimana fungsi-fungsi mempunyai arti. Menurut Almond, suatu system merupakan serangkaian interaksi, tetapi dia tidak berupaya untuk definisikan apakah sebenarnya arti “sistem’ atau apakah konotasi penuh dari “interaksi” itu. Kedua, definisinya tentang system politik tidaklah begitu jelas. Dia telah mendefinisikan sistem politik sebagai “system interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat merdeka yang menjalankan fungsi-fumgsi integrasi dan adaptasi (baik secara internal maupun dalam hubungan dengan masyarakat lain) dengan alat-alat atau ancaman paksaan fisik yang kurang lebih absah”, atau bagai mana mereka terhubungkan, dan apa peran wilayah dalam memandang masyarakat tersebut. Sepertinya definisi tentang suatu system meskipun lengkap, independen dan memiliki batas yang memisahkan dari system lain mengabaikan sejumlah persoalan lain yang terealisasikan dengan pendekatan system. Ketiga, ketika kita sampai pada kenyataan tentang ciri-ciri suatu sistem politik kita mendapati bahwa semuanya merupakan ciri-ciri system politik Barat, terutama Amerika. Tidaklah jelas bagaimana atas dasar ciri-ciri yang terdapat pada suatu jenis masyarakat yang disebut Barat dapat didefinisikan. Keempat, daftar tujuh variavel kategori fungsi juga mempunyai kelemahan-kelemahannya. Diantara berbagai kelompok kepentingan yang disebutkan, akan menjadi sulit untuk menarik suatu batas antara yang politik dan bukan politik. Tidaklah jelas mengapa agregasi kepentingan merupakan pekerjaan khusus partai-partai politik dan bukan organisasi lain. Dengan menekankan pentingnya komunikasi, Almond belum menjelaskan apa yang dia maksudkan dengan komunikasi yang bebas antara masyarakat dan Negara. Terakhir, Almond tidak menekankan pentingnya fingsi keluaran, dan telah gagal untuk menekankan pentingnya proses umpan-balik dalam memperburuk, atau mengurangi tantangan-tantangan pada eksistensi atau bahkan kelangsungan hidup system politik.
Jadi kelemahan Almond adalah sama dengan para fungsionalis lain, baik para sosiolog maupun ilmuwan politiknya. Dia tidak hanya bermaksud untuk mengembangkan suatu teori tentang politik tetapi juga percaya bahwa teori yang telah dikembangkannya “menspesifikasikan elemen-elemen masyarakat politik dalam bentuk seperti itu sehingga pada akhirnya memungkinkan perumusan statistic dan mungkin matematis”. Seperti yang dijelaskan Meehan, apa yang telah dihasilkan Almond adalah ”suatu skema klasifikasi,  atau barang kali suatu model yang sangat tak sempurna dan kabur yang dapat digunakan untuk menata data politik dan membuat standar pengamatan gejala politik” yang terbaik . Meehan juga berfikir bahwa kategori-ketegori fungsional yang disarankannya, bagaimanapun kritisnya sebagai variable-variabel yang mungkin terdapat dalam politik, terlalu luas untuk digunakan. Hasilnya adalah bahwa fungsionalisme Almond tetaplah “fungsional dalam namanya saja”. “Dia tidak menghasilkan suatu teori, juga bahkan tidak menghasilkan skema klasifikasi yang dikemukakan dengan baik.  Sistem klasifikasinya tidak lengkap dan mendua”. Seseorang juga dapat menentang pendekatan komparatif  yang paling mendasar dari teori yang dikembangkan Almond. Dalam menggunakan pendekatan tersebut seseorang harus secara jelas memperhatikan upaya perbandingan. Kemudian, akan menuju ke mana perbandingan  politik Almond ini? Mungkin, dengan bantuan pendekatan ini, untuk menggambarkan berbagai system politik, dan bahkan menyusun tingkatannya, meski tanpa adanya upaya yang diharapkan  akan diisi system politik, penyusunan tingkatan ini tidak saja sia-sia tapi dapat menyesatkan. Bila kita teruskan tugas-tugas analisa politik yang lebih penting, yang dinamakan penjelasan dan evaluasi, kita mendapatkan bahwa hal tersebut tidaklah dilakukan dengan baik oleh pendekatan komparatif. Suatu gejala dapat dijelaskan dengan begitu baik dalam konteks kemunculannya. Kecenderungan untuk membandingkan system politik di “Negara sedang berkembang“  dengan system politik di Negara “maju“,  pada kelemahan-kelemahan konstan dari Negara maju, yang dikembangkan Almond pada tahun 1960 dalam bukunya Politics of Developing Areas telah membantu dalam ilmu politik, dan yang dalam modelnya pada tahun 1966 dalam bukunya Comparative Politics ; A Developmental Approach tidaklah begitu berhasil dalam memperbaiki dan telah membawa banyak ilmuan politik pada studi perkembangan politik memahaminya dari sudut yang keliru.
Di level fungsi output, proses yang berlangsung adalah dalam konteks pemisahan kekuasaan trias politika menurut Montesquieu, Pembuatan peraturan dilakukan oleh lembaga legislatif, pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga eksekutif, sementara pengawasan dilakukan oleh lembaga yudikatif. Penjelasan mengenai entitas politik yang melakukan seluruh proses di fungsi input adalah sebagai berikut: Menurut Ronald H. Chilcote, pandangan Almond mengenai sistem politik bercorak dualistik. Artinya, Almond selalu menganggap ada dua bentuk yang bertolak belakang dari sebuah sistem politik misalnya tradisional vs. modern, agraris vs. industri, maju dan terbelakang, dan sejenisnya. Almond menganggap bahwa sistem politik yang belum berkembang ditandai oleh gaya pembagian kerja yang bercorak tradisional, bersifat partikularistik, afektif, dan turun-temurun, sementara system politik yang sudah maju ditandai oleh spesifikasi kerja yang rasional, universalis, netral afektif, dan bersifat prestasi atau pencapaian (achievement). Setelah merevisi teori sistem politik dari David Easton, Almond meringkas pola pikir system politiknya ke dalam skema berikut : Melalui skema di atas, Almond membagi ada 3 level dalam sistem politik. Level pertama terdiri atas 6 fungsi konversi yaitu : artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, komunikasi politik, pembuatan peraturan, pelaksanaan peraturan, dan pengawasan peraturan. Fungsi-fungsi ini berhubungan dengan tuntutan dan dukungan pada input serta keputusan dan tindakan pada output.
Level kedua dari aktivitas sistem politik teletak pada fungsi-fungsi kemampuan, yaitu regulasi, ekstraksi, distribusi, simbolik, dan respon. Almond menyebutkan bahwa di negara-negara demokratis, output dari kemampuan regulasi, ekstaksi, dan distribusi lebih dipengaruhi oleh tuntutan dari kelompok-kelompok sehingga masyarakat demokratis memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi. Sementara itu pada sistem totaliter, output kurang responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan, seraya lebih mengekstraksi secara maksimal sumber daya dari masyarakat nya. Sementara itu, yang dimaksud Almond dengan kemampuan simbolik adalah kemampuan suatu sistem politik untuk menonjolkan diri di lingkungan internasional. Teori sistem politik Gabriel A. Almond ini kiranya lebih memperjelas maksud dari David Easton dalam menjelaskan kinerja suatu sistem politik. Melalui Gabriel A. Almond, pendekatan struktural fungsional mulai mendapat tempat didalam analisis kehidupan politik suatu negara.









BAB IV
BUDAYA KAMPANYE DALAM PERSIAPAN PEMILU GUBERNUR 2012
DI KALIMANTAN BARAT

3.1 Pemilu Lokal
Pilkada merupakan sejarah penting dalam politik indonesia. Maka dari itu, sepantasnya lah ia didokumentasikan secara baik agar generasi mendatang dapat memungut serpihan-serpihan pemikiran dari para pendahulunya. Secara sederhana demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk menghantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat (Agustino, 2007). Ada beberapa catatan penting dalam rangka mewujudkan penguatan hingga pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal dalam proses pemilihan atau rekruitmen, para wakil rakyat mendapat mandat politik dari masyarakatnya (pilkada langsung). Diantaranya adalah: pertama, dengan pilkada langsung penguatan demokratisasi di tingkat lokal dapat berwujud, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan legitimasi politik. Kedua, dengan pilkada langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas  (pemerintah) lokal (local accountability). Ketika seorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah, maka pemimpin rakyat yang mendapat mandat tersebut harus meningkatkan kualitas akuntibilitasnya (pertanggungjawabannya pada rakyat, khususnya konstituennya). Ketiga, apabila local accountability berhasil di wujudkan, maka optimalisasi equilibrium checks and balances antara lembaga-lembaga negara (terutama antara eksekutif dan legislatif) dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi di level lokal. Keempat, melalui pilkada peningkatan kualitas kesadaran politik masyarakat sebagai kebertampakan kualitas partisipasi rakyat diharapkan muncul. Karena masyarakat saat ini diminta untuk menggunakan rasionalitasnya, kearifannya, kecerdasannya, dan kepeduliannnya untuk menentukan sendiri siapa yang kemudian dia anggap pantas dan/atau layak untuk menjadi pemimpin mereka di tingkat provinsi, kabupaten, ataupun kota. Selain itu mekanisme ini juga memberikan jalan untuk “me-melek-kan” elite politik bahwasannya pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya tidak berada di tangannya, melainkan terletak pada tangan rakyat.
Pilkada langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi di level lokal. Tip O’Neill, dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa “all politics is local” yang dapat dimaknai sebagai demokrasi di tingkat nasional akan tumbuh berkembang dengan mapan dan dewasa apabila pada tingkat lokal nilai-nilai demokraasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Maksudnya, demokrasi ditingkat nasional akan bergerak ke arah yang lebih baik apabila tatanan, instrumen, dan konfigurasi kearifan serta kesantunan politik lokal lebih dahulu terbentuk. Di manapun di belahan bumi ini, keberadaan dan fungsi pemerintahan daerah atau daerah otonom adalah diupayakan untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (public service delivery). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah daerah adalah unit organisasi pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, sehingga di nilai paling mampu menerjemahkan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan warga masyarakat setempat yang perlu dilayani atau dipenuhi aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan oleh pemerintah.
Selain itu, pilkada langsung pun sangat berhubungan dengan upaya deepening democracy at local level. Dalam konteks otonomi atau desentralisasi, tentu saja, pilkada langsung harus dimengerti dan dipahami sebagai fungsi dari penciptaan effective governance. Menurut amanat Undang-undang Otonomi Daerah yang baru (UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah) bahwa kepala daerah (bupati/wali kota/ dan gubernur) harus dipilih secara langsung yang koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung di tingkat pusat/nasional.
Tingkat kesatuan politik yang dapat di capai oleh suatu masyarakat pada hakikatnya mencerminkan kaitan antara lembaga politik dan kekuatan-kekuatan sosial yang membentuknya. Kekuatan sosial ialah kelompok etnis, keagamaan, teritorial, ekonomis dan status. Dalam praktek perbedaan antara suatu lembaga politik dengan kekuatan sosial bukan merupakan perbedaan yang tegas. Secara historis lembaga politik terbentuk sebagai hasil interaksi dan akibat konflik yang terjadi antara berbagai kekuatan sosial, maupun karena perkembangan tahap demi tahap berbagai prosedur dan sarana yang diperlukan untuk mengatasi konflik tersebut.
Pemilu merupakan proses politik yang secara konstitusional bersifat niscaya bagi negara demokrasi. Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyata telah teruji dan di akui paling realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi yang populis, adil dan beradab, kendati bukan tanpa kelemahan. Di samping merupakan prasyarat demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap awal dari proses pelembagaan demokrasi. Perjalanan panjang indonesia dalam menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955 memberi pelajaran berharga untuk menata kehidupan bangsa ke depan menuju yang lebih baik. Bangsa indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu 2004 dengan format yang berbeda dari sebelumnya, sehingga azas langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat dilaksanakan secara benar, konsekuen dan dapat dipertanggungjaawabkan baik secara hukum, moral maupun politis.
3.2 Hambatan-Hambatan Dalam Pemilu
Ada banyak masalah yang bisa diidentifikasi selama proses pemilihan kepala daerah. Ia tidak hanya berlangsung pada tahap persiapan, namun juga terjadi pada tahap pelaksanaan pilkada, yaitu: pertama, tidak akuratnya penetapan data pemilih dan pada sebagian daerah menimbulkan gelombang protes dan demonstrasi dari masyarakat. Kedua, persyaratan calon yang tidak lengkap. Dalam memenuhi persyaratan calon, terutama yang ijazah sering tidak memenuhi persyaratan, seperti ijazah palsu dan lain-lain. Ketiga, pengusulan pasangan calon dari partai politik. Berbagai kejadian di daerah, permasalahan internal parpol dalam menentukan pasangan calon membuat pelaksanaan pilkada menjadi terhambat. Keempat, KPUD yang tidak netral. Ketidaknetralan KPUD dalam penyelenggaraan pilkada disebabkan oleh faktor jangkauan wilayah pilkada hanya se-provinsi atau kabupaten atau kota. Kelima, panwas pilkada terlambat dibentuk. Terlambatnya pembentukan panitia pengawas (panwas) pilkada oleh DPRD, sehingga tidak dapat mengawasi seluruh tahapan pilkada. Berbagai penyimpangan yang diindikasikan terjadi pada masa persiapan sering tidak dapat ditindaklanjuti, karena panwas pada umumnya ditetapkan menjelang masa kampanye. Keenam, money politics yang paling menonjol adalah pasangan calon memberikan sejumlah uang kepada parpol untuk dapat dicalonkan sebagai pasangan calon parpol dalam pelaksanaan pilkada. Ketujuh, dana kampanye. Sumbangan dana kampanye pasangan calon sering tidak transparan dan hasil auditnya terutama sumbangan perorangan maupun perusahaan tidak di umumkan kepada masyarakat luas. Kedelapan, mencuri start kampanye. Banyak pasangan calon yang belum memasuki tahapan pelaksanaan pilkada pada masa kampanye telah memasang iklan di media cetak dan elektronik, spanduk, poster, baliho, dan stiker-stiker yang dibagikan kepada masyarakat, namun tidak mendapat tindakan tegas dari KPUD. Kesembilan, dukungan PNS yang tidak netral. Dalam berbagai kampanye masih ditemukan PNS yang memihak salah satu pasangan calon dalam kampanye dan banyak terjadi memberi dukungan kepada kepala daerah yang mengikuti kembali pilkada (incumbent). Kesepuluh, pelanggaran kampanye. Dalam pengerahan massa kampanye yang paling menonjol adalah pelanggaran lalu lintas, terutama penggunaan sepeda motor yang digunakan tiga orang tanpa helm, penggunaan kendaraan instansi pemerintah, dan melakukan kampanye hitam (black campaign) terhadap lawannya. Kesebelas, intervensi DPRD. Pada umumnya terjadi apabila DPRD tidak menyetujui pasangan calon kepala daerah yang terpilih dengan berbagai alasan, sehingga berbagai berkas pemilihan yang dikirim oleh KPUD tidak diteruskan kepada Gubernur atau Menteri Dalam Negeri, sehingga proses pengesahan kepala daerah menjadi berlarut-larut, maupun DPRD tidak mau melakukan sidang paripurna istimewa untuk acara pelantikan kepala daerah.















BAB V
PENUTUP

4.1. kesimpulan
Sosiologi politik sebagai subject area (bidang subjek), yaitu disiplin yang mempelajari mata rantai antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dengan tingkah laku politik. Sosiologi politik sebagai salah satu jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu pengetahuan politik, atau seperti penamaan Sartori ialah, satu “hybrid inter-disipliner”. Konsep utama dalam sosiologi politik yaitu: sosialisasi politik, partisipasi politik, pengrekrutan politik, dan komunikasi politik.
Pemilu merupakan prasyarat demokrasi sekaligus menjadi pintu masuk atau tahap awal dari proses pelembagaan demokrasi. Pilkada langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi di tingkat lokal. Seperti hal nya akan berlangsung pemilu Gubernur di Kalimantan Barat bulan september mendatang. Sebagai suatu sistem, demokrasi telah teruji dan di akui paling realistik dan rasional untuk mewujudkan suatu tatanan sosial, politik, ekonomi yang populis, adil dan beradab. Demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk menghantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat.
keseimbangan berarti bahwa tidak ada  variabel yang akan mengubah posisinya atau hubungannya dengan memperhatikan variabel-variabel lain, yang akan berakibat bahwa variabel-variabel tersebut telah menyesuaikan diri satu sama lain dan mencapai suatu “keadaan yang tetap atau homeostatis, menikmati keadaan yang harmonis stabil dan seimbang”.

4.2 Saran
Dalam menafsirkan fenomena tentang Budaya Kampanye Dalam Persiapan Pemilu Gubernur 2012 di Kalimantan Barat, tidak hanya menggunakan pendekatan fungsional struktural dari Gabriel A. Almond, tetapi juga dapat menggunakan pendekatan lain.
Di dalam budaya kampanye tidak semua nya berjalan secara fungsional, tetapi pasti akan terdapat indikasi konflik, maka dari itu di sarankan agar dalam menganalisis fenomena ini dapat menggunakan perspektif konflik.















DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
P. Huntington, samuel. 2003. Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
J. prihatmoko moesafa, Joko. 2008. Menang Pemilu di Tengah Oligarki Partai. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Dirdjosanjata, pradjarta & L. Kana, Nico. 2006. Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rush, Michael & Althoff, Phillip. 1997. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
http://www.scribd.com, di akses data pada tanggal 24 mei 2012, jam 16:24.