Selasa, 08 Juli 2014

Berkelana ke Ujung Negeri



Oleh: Nico


Mengawali rencana untuk menjelajah negeri tetangga, Malaysia memang sudah lama aku rencanakan. Namun, karena banyak keterbatasan aku belum juga menginjakkan kaki kesana. Sepertinya nasib baik berpihak padaku, aku ditugaskan untuk mengumpulkan data penelitian oleh dosenku. Ya, inilah saatnya untuk bisa lari dari suntuknya suasana di Kota Pontianak. Sumpek, panas dan cukup macet juga sih pas jam pulang kantor. Tapi aku bukan seorang pengedara, tapi aku seorang pejalan kaki sejati. So, aku terbebas dari situasi macet.
Subuh yang sangat cerah menemaniku dalam perjalanan menuju kecamatan Seluas, salah satu kecamatan di Kabupaten Bengkayang. Sangat jauh, berangkat dari Pontianak pukul 06.00 dan tiba disana pukul 16.30. Sungguh perjalanan yang sangat mengesankan. Medan terjal, miring dan pemandangan alam yang indah di kiri kanan jalan.
Tiba di terminal Seluas, tidak ada satupun yang kukenal disini. Bagaimana aku bisa sampai ke tempat tujuan? Iya, tujuan ku adalah desa Jagoi Babang yang letaknya bersebelahan dengan Sarawak, Malaysia.
Bertanya pada kernet bus. Yah, ada gunanya aku belajar sosiologi komunikasi di kampus. Kami diantar ke tempat ojek. Disana sangat banyak tukang ojek nakal, yang pintar memanfaatkan situasi. Mulanya kami di tawarkan Rp.50.000 untuk ojek sampai ke Jagoi Babang, atau sampai ke Serikin Malaysia ojeknya RM25. What? Emang harga ringgit berapa sekarang? Kurs maksudku! Memang disana berlaku dua mata uang, sehingga aku harus berhati-hati dalam menyebutkan nominal uang. Bisa jadi 50 tanpa menyebutkan ujungnya (rupiah atau ringgit).
Akhirnya Rp.30.000 untuk kami ngojek sampai tiba di rumah kepala desa Jagoi. Akhirnya, bisa bernafas lega. Setiba disana, kami mencari penginapan di sekitaran desa. Bertanya lagi dengan warga desa, dan penginapan letaknya di ujung desa, tepatnya di Batas Indonesia-Malaysia. Untungnya kami bertemu dengan alumni yang satu almamater dengan kami, sehingga kami tidak harus menginap di penginapan mahal, tapi kami ditawarkan nginap di mess kecamatan. Dengan senang hati kami menerima tawaran manis itu. Thanks to bang Franky.
Malam berlalu, mungkin tanpa mimpi. Aku lupa akan mimpi semalam, kelelahan seharian menempuh perjalanan yang tak pendek. Keesokan harinya kami mulai turun lapangan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan. Karena keesokan harinya kita berencana untuk pulang ke Pontianak. Namun, karena beberapa data yang belum kita dapatkan akhirnya kita memutuskan untuk menginap semalam lagi.
Pada hari terakhir, aku diajak oleh bang Ferry untuk jalan-jalan ke daerah malaysia. Iya, bang Ferry adalah salah seorang guru yang ditugaskan di SMPN 01 Jagoi Babang. Daerah perbatasan yang sarat akan pembangunan, penuh dengan gudang-gudang. Disanalah transaksi Indonesia-Malaysia yang berpotensi banyak barang illegal yang masuk. Di semua warung, produk Malaysia jadi primadona di daerah perbatasan.
Berlomba untuk mendapatkan ringgit Malaysia, iya itulah yang terjadi secara nyata disana. Ringgit menjadi pujaan masyarakat disana. Lalu bagaimana dengan Rupiah? Disana rupiah masih tetap digunakan, namun bila dibandingkan Ringgit lebih menjadi incaran disana. Rupiah hanya menjadi alat transaksi resmi saja.
            “Kalau ringgit ditukar dengan uang kita bisa jadi banyak”, ujar Inem (bukan nama sebenarnya) salah satu warga di perbatasan.
Wajar saja sih bila masyarakat perbatasan menggantungkan hidupnya pada Ringgit Malaysia, karena sumber perdagangan utama ada di daerah Malaysia. Sedangkan masyarakat dari perbatasan Indonesia hanya menjual hasil alam nya, kemudian di barter dengan sembako dari Malaysia.
Cukup adil sih. Lalu bagaimana peran pemerintah? Masa bodoh mungkin. Karena masyarakat di perbatasan juga masa bodoh, emang mereka hidup dari belas kasihan pemerintah? Tidak, mereka bekerja dan bekerja untuk mendapatkan ringgit. Untuk makan, untuk hidup, bukan rupiah.