Melodi rindu mulai redup, seiring
bersama waktu lamanya kau dan aku tak lagi bersama. Aku cemburu dengan
orang-orang yang setiap hari dapat melihatmu, dapat ngobrol denganmu. Aku
bahkan sangat cemburu pada hujan yang dapat dengan mudah menikmati tubuhmu.
Semua tidak adil yang aku rasakan kusimpan pada kotak kerinduan yang suatu masa
akan kutumpahkan ke laut.
Aku mencintaimu, iya, kamu yang
pernah membelai rambutku tanpa sengaja. Mengapa kamu beranggapan hal itu salah?
Kemudian pergi tanpa ucapkan sepatah kata. Kamu malu pada gerimis yang menjadi
saksi bisu? Kamu mencintaiku tetapi malu mengungkapkan, dasar lelaki!
Maaf. Maaf karena takdir
menggariskan kamu pernah menjadi milikku, walau sebentar aku tetap mengingatnya
tidak sebagai sebuah penyesalan. Aku bahagia bersamamu, sebuah perjumpaan yang
indah, terima kasih sudah pernah merekam kisah bersamaku.
Aku hanya sedikit posesif, juga
naif. Maaf. Aku memintamu untuk bersabar sedikit lagi. Kau menyerah lebih awal, aku tak
bisa memaksamu untuk bertahan. Meski ku tahu bahwa kita saling mencinta, aku
hargai keputusanmu untuk pergi.
Aku mencoba lari dari semua nyata
semu ini; tentang cinta yang terus kucari maknanya. Aku pun selalu berpesta
bersama rindu, tak sedikit waktu berpeluh di pelupuk mata. Semakin aku berupaya
melupakanmu, semakin aku menabur rindu pada genang kenangan. Aku perih.
Mencintaimu tak lebih dari menoreh lukaku sendiri, bukan sekadar mengecap
bibirmu. Aku tak menyesalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar