Senin, 08 September 2014

KEMISKINAN STRUKTURAL MASYARAKAT PESISIR PANTAI DI KECAMATAN SUKADANA KABUPATEN KAYONG UTARA



KEMISKINAN STRUKTURAL MASYARAKAT PESISIR PANTAI DI KECAMATAN SUKADANA KABUPATEN KAYONG UTARA

TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH: STRUKTUR SOSIAL


Program Studi Sosiologi

Disusun Oleh:
KARMANSAH MIDIN          NIM.E51110069
NELLY OKTAVIANI NIM.E51110070
NIKODEMUS NIKO              NIM.E51110071
SITI FATMAWATI                NIM.E51110073

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TANJUNG PURA
PONTIANAK
2014



1.    Latar Belakang
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting apabila ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia (Kay and Alder, 1999 dalam Usman, 1998).
Searah dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, membuat wilayah pesisir ini mempunyai nilai tambah bagi masyarkat sekitarnya. bertambahnya nilai di wilayah ini didasarkan pada bagaimana masyarakat setempat memanfaatkan alam yang ada dengan sabagaimana mestinya, sehingga dapat menghantarkan mereka pada tahap yang dikatakan sejahtera. Namun, faktanya keadaan alam yang produktif ini tidak mampu memberikan penghasilan lebih bagi masyarakat. keadaan ini disababkan karena ketidakseimbangan antara SDA yang ada dengan SDM yang dimiliki. Keadaan seperti ini dapat memicu terjadinya konflik di dalam masyarakat itu sendiri, karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, yang membuat mereka dikatagorikan sebagai masyarakat yang miskin.
Kemiskinan adalah hal yang selalu dihadapi manusia dalam kehidupan nyata. Menurut Suparlan (1984) kemiskinan didefinisikan sebagai:
suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

            Salim (1984) menjelaskan bahwa indikator kemiskinan dapat dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan seseorang atau anggota masyarakat dalam suatu lingkungan sosial tertentu, untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, pakaian, tempat tinggal yang layak dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan hidup sehari-hari.
            Selanjutnya, Suryawati (dalam Salim, 1984) menyebutkan ciri-ciri kelompok masyarakat miskin adalah sebagai berikut:
1.     Rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja dan keterampilan.
2.     Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah.
3.     Kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setetengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja).
4.     Kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area).
5.     Kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup) bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.

Kemiskinan disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain, seperti mengalami kecacatan, memiliki pendidikan rendah, tidak memiliki modal atau keterampilan untuk berusaha, tidak tersedianya kesempatan kerja, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak adanya jaminan sosial (pensiun, kesehatan, kematian), atau hidup di lokasi terpencil dengan sumber daya alam dan infrastruktur yang terbatas (Suharto, 2009).
Kemiskinan merupakan sebuah masalah rumit bangsa Indonesia yang hingga saat ini masih terus diupayakan penyelesaiannya. Tidak terkecuali kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir pantai. Kemiskinan yang telah berjalan dalam rentang waktu yang sangat lama ini bukan hanya suatu gejala yang cukup dijelaskan sebagai realitas ekonomi. Artinya kemiskinan tidak hanya sekedar gejala keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat, melainkan juga realitas struktural dan tata nilai kemasyarakatan yang merupakan suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan. Kemiskinan yang terjadi di daerah pesisir pantai ini tidak hanya disebabkan oleh faktor kultural yang dinamis, kemiskinan di daerah pesisir pantai ini juga terjadi karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka.
Ukuran kemiskinan dalam kehidupan modern pada masa kini adalah mereka tidak menikmati fasilisitas pendidikan, pelayanan kesehatan, akses teknologi, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada zaman modern. Piven dan Cloward (dalam Suharto, 2009) menunjukkan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial.
1.     Kekurangan materi. Kemiskinan menggambarkan adanya kelangkaan materi atau barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kesulitan yang dihadapi orang dalam memperoleh barang-barang yang bersifat kebutuhan dasar.
2.     Kekurangan penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” disini sering dikaitkan dengan standar atau garis kemiskinan (poverty line) yang berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu komunitas ke komunitas lainnya dalam satu negara.
3.     Kesulitan memenuhi kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial (social exclusion), ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan pelayanan sosial, seperti lembaga pendidikan, kesehatan, dan informasi.

Kemiskinan dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu kebudayaan kemiskinan (culture of poverty), sertaa kemiskinan struktural (structural poverty). Budaya kemiskinan juga dikenal dengan istilah kemiskinan temporer (temporary poverty). Kemiskinan temporer ini adalah kemiskinan yang sifatnya sementara dimana suatu kali miskin dan suatu kali dapat melewati batas kemiskinan ke tahap sejahtera.
Kemiskinan struktural berasal dari kata struktural, yaitu segala sesuatu yang berasal dari struktur sosial. Sedangkan struktur yang berkaitan dengan sosial menurut ilmu sosiologi, adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyrakat. Susunannya bisa vertikal atau horizantal.
Menurut beberapa ahli sosiologi, struktur didefinisikan sebagai berikut: George Simmel (dalam Nurlaila, 2013)  menyebutkan struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola perilakunya. Sedangkan George C. Homans (dalam Nurlaila, 2013) mendefinisikan struktur sosial sebagai hal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari. Struktur sosial dipahami sebagai susunan yang terjadi karena adanya pengulangan pola perilaku individu. Struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara posisi-posisi dan peranan-peranan sosial (Narwoko&Bagoeng, 2006).
Berdasarkan uraian tersebut dapat diperoleh perumusan masalah yaitu: Bagaimana potret kemiskinan struktural masyarakat pesisir pantai di kecamatan sukadana kabupaten kayong utara?

2.     PEMBAHASAN
Dalam mengkaji mengenai kemiskinan struktural di wilayah pesisir pantai di Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara ini tentunya tidak terlepas dari masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Masyarakat, menurut Talcott Parsons (dalam Mustafa, 2008) mempunyai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Setiap kelembagaan dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut. Sebagai pisau analisis penulis menggunakan pendekatan struktural fungsionalisme sebagaimana dikembangkan oleh Talcott Parsons (dalam Mustafa, 2008) melalui asumsi-asumsi berikut:
1)     Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem dari pada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2)     Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut bersifat ganda dan timbal balik.
3)     Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang dinamis.
4)     Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan (deviance) senantiasa terjadi juga, akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusional (social adjustment and institutionalized).
5)     Perubahan dalam sistem sosial terjadi secara gradual dan menyeluruh melaui penyesuaian dan tidak melalui revolusioner.
6)     Perubahan sosial timbul melalui tiga macam kemungkinan: penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan yang datang dan keluar, pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional serta penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7)     Faktor penting yang memiliki daya mengintegritasikan suatu sistem sosial adalah konsensus diantara para anggota masyarakat mengenai nilai kemasyarakatan tertentu.
Dengan beberapa asumsi tersebut dapat menjadi acuan penulis dalam menganalisis dan mensintesiskan permasalahan serta menguraikan potret kemiskinan struktural di wilayah pesisir pantai Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara.

2.1. Potret Kemiskinan Struktural di Wilayah Pesisir Pantai Kec. Sukadana, Kab. Kayong Utara.
Kondisi masyarakat di sepanjang wilayah pesisir pantai Kec. Sukadana, Kab. Kayong Utara sebagian besar masih miskin dengan tingkat kesejahteraan rendah dan masih tertinggal. Realitas potret kemiskinan di wilayah pesisir pantai Kec. Sukadana ini bukan lagi permasalahan mereka serba kekurangan secara material, namun lebih kepada kemiskinan struktural yang mana struktur dan sistem yang masih belum adil dalam hal pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia serta pelayanan kesehatan.
Hakekat dari pembangunan nasional adalah mensejahterakan masyarakatnya. Sebagaimana tertuang dalam UU tentang kesejahteraan sosial tahun 2008 sebagai pengganti UU No. 6 tahun 1974. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:
Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Namun, pada kenyataannya masyarakat di wilayah pesisir pantai Kec. Sukadana masih jauh dari kata sejahtera dalam hal pembangunan infrastruktur. Faktor struktural yang dihadapi ini menunjuk pada struktur dan sistem tidak adil, tidak sensitif dan tidak accesible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin (Suharto, 2009).
James Midgley (dalam Sasono, 2009) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi yang harus memenuhi 3 syarat utama:
1)     Ketika masalah sosial dapat dimenej dengan baik.
2)     Ketika kebutuhan terpenuhi.
3)     Ketika peluang-peluang sosial terbuka secara maksimal.

Analisis:
Melihat potret kemiskinan struktural yang ada di wilayah pesisir pantai Kec. Sukadana tentu tidak akan terlepas dari peran pemerintah didalamnya, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah bahkan aparatur pemerintah kecamatan. Tanpa ada kerjasama yang erat antara aparat pemerintah tersebut mustahil segala permasalahan yang ada di wilayah pesisir pantai dapat terupaya dengan baik. Selain itu peran masyarakat pesisir pantai dalam menjalani program pemerintah juga sangat diperlukan.
Asumsi Parson menyebutkan bahwa masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem dari pada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Sistem disini bukan hanya sistem yang ada dalam pemerintahan namun juga sistem yang ada dalam kelompok masyarakat di wilayah pesisir pantai. Dengan adanya sistem tersebut dapat terlihat bahwa hubungan pengaruh dan mempengaruhi terjadi secara timbal balik. Sementara yang terjadi selama ini sistem tersebut tidak terjadi timbal balik melainkan satu arah saja. Contohnya, program pemerintah PNPM yang hingga kini masih berlangsung. Secara umum masyarakat di beberapa desa di daerah pesisir pantai Kec. Sukadana merespon program ini, namun dalam pelaksanaannya sangat kurang pendampingan. Dalam artian saat program sedang berjalan kemudian langsung ditinggalkan oleh institusi pelaksana program tanpa adanya monitoring kegiatan. Kondisi seperti ini berdampak pada persepsi masyarakat bahwa program hanya berlangsung saat itu saja, tidak berkelanjutan dan tidak beresiko apapun jika tidak dilakukan secara baik dan benar.
Penulis melihat beberapa program pemerintah yang dikhususkan untuk masyarakat miskin seperti BLT, BSM dan bantuan pendidikan berupa dana operasional sangat tidak efektif. Kenapa? Karena bantuan semusim seperti BSM atau BLT misalnya, yang diterima oleh masyarakat miskin dalam rentang waktu tiga bulan sekali. Terkadang masyarakat yang mendapatkan manfaat bantuan tidak tepat sasaran. Kemudian, bantuan pendidikan untuk anak miskin. Program pemerintah sudah ada, tetapi kenapa masih banyak anak di pesisir pantai yang tidak sempat mengecap bangku pendidikan sampai sekolah menengah. Adapula program pendidikan gratis di Kabupaten Kayong Utara, namun kenyataannya tidak semua masyarakat dapat menikmati program itu. Buktinya masih rendahnya tingkat pendidikan di Kec. Sukadana. Ada apa dengan program ini, kenapa bantuan itu tidak menyentuh anak-anak di wilayah pesisir pantai? Hal ini perlu menjadi evaluasi untuk pihak yang menjalankan program tersebut.
Asumsi parson mengatakan bahwa faktor penting yang memiliki daya mengintegritasikan suatu sistem sosial adalah konsensus diantara para anggota masyarakat mengenai nilai kemasyarakatan tertentu. Oleh sebab itu program pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin di perbatasan entikong harus sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Perlu adanya konsensus antara masyarakat dan pemerintah dalam membuat suatu kebijakan pemberdayaan, agar apa yang dibutuhkan masyarakat miskin dapat terintegrasi oleh program pemerintah.


3.     Kesimpulan dan Saran
a.     Kesimpulan
1.     Masyarakat di sepanjang wilayah pesisir pantai Kec. Sukadana, Kab. Kayong Utara sebagian besar masih miskin dengan tingkat kesejahteraan yang rendah.
2.     Kemiskinan struktural yang terjadi pada masyarakat pesisir pantai Kec. Sukadana yaitu struktur dan sistem yang masih belum adil dalam hal pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia serta pelayanan kesehatan.
3.     Kemiskinan yang dialami masyarakat pesisir pantai Kec. Sukadana tidak hanya sekedar gejala keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat, tetapi kemiskinan di daerah pesisir pantai ini juga terjadi karena kesempatan-kesempatan dalam hal pekerjaan tidak diberikan kepada mereka serta tidak adanya inisiatif pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan .

b.     Saran
Untuk Pemerintah Kab. Kayong Utara Agar lebih memperhatikan pembangunan infrastruktur bagi masyarakat pesisir pantai Kec. Sukadana, sehingga diharapkan dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir pantai di Kec. Sukadana.











DAFTAR PUSTAKA
Mustafa, A.A. (2008). Model Transformasi Sosial Sektor Informal. Malang: In-Trans Publishing.
Narwoko, D., dan Bagoeng, S. (2006). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media.
Nurlaila, N. (2013). Kemiskinan Masyarakat di Perkotaan, Tinjauan Struktural Kemiskinan pada Masyarakat Bantaran Sungai Kapuas Kota Pontianak. Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura.
Salim, E. (1984). Perencanaan pembangunan dan pemerataan pembangunan. Jakarta: IDAYU
Sasono, A. 1987. Masalah Kemiskinan dan Fatalisme. Jakarta: UI-Press.
Suharto, E. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung: ALFABETA.
Suparlan, P. (1984). Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan.
Undang-Undang tentang kesejahteraan sosial tahun 2008.
Usman, S. (1998). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar