Sabtu, 25 Oktober 2014

1 November “Hari Tangisan Rakyat Kecil Se-Indonesia”



Oleh: Nikodemus Niko
Mahasiswa Sosiologi Universitas Tanjungpura Pontianak

Semenjak Pemilu Capres dan Cawapres beberapa bulan lalu, sudah berhembus berita bahwa BBM bersubsidi akan di naikkan. Hal ini berarti pemerintah akan mencabut subsidi BBM. Hal itu semakin jelas, saat kini awal pemerintahan presiden Jokowi. Dari beberapa informasi yang saya baca dari media online seperti www.merdeka.com menyebutkan bahwa mulai 1 November 2014 pemerintak akan menaikkan BBM, dengan alasan penghematan anggaran negara. Penghematan tersebut dapat mencapai 20 triliun untuk tahun ini.

Apapun alasannya, kenaikan BBM (dalam hal ini pencabutan subsidi BBM) akan berdampak buruk bagi masyarakat kecil. Meski katanya hal itu akan berdampak positif bagi kementerian, yang katanya akan mengurangi defisit anggaran dan penghematan anggaran. Tapi, tidak bagi orang kecil seperti: petani, peternak, buruh, dan masih banyak lagi. Baik mereka yang hidup di pemukiman kota maupun di desa. Mereka akan menangis, ketika harga beras Rp.10.000 kemudian mereka tukar dengan 4 kilogram karet (berarti 1 kilogram karet seharga Rp2.500). Sementara pendapatan hasil karet misalnya hanya 5 kilogram. Tersisa hanya Rp2.500, bagaimana untuk kebutuhan pokok lainnya? Seperti garam, micin, sayur mayur atau bahkan untuk membeli susu anak-anaknya? Mereka akan menangis. Percayalah.
Saya ingin sedikit bercerita terlebih dahulu. Ini mungkin pengalaman kecil yang sangat berharga untuk saya. Bertandang langsung di kementrian perekonomian dengan undangan khusus, merupakan suatu kehormatan tersendiri bagi saya. Saat itu saya dihadapkan dengan 4 orang sahabat dari berbagai kota, saya tidak mengetahui nama mereka, yang saya ketahui mereka berasal dari provinsi Sumatera Barat, provinsi Nusa Tenggara Barat, provinsi DKI Jakarta dan saya sendiri dari Kalimantan Barat. Sesi ini disebut Leaderless Group Disscusion, sehingga tidak ada diantara kami yang harus menjadi ketua group dalam diskusi ini. Tema besarnya adalah kenaikan BBM ini.
Saya adalah orang pertama acungkan tangan saat penilai team mempersilakan untuk ber-argumen. Saya menyampaikan ketidaksetujuan saya jika pemerintah mencabut subsidi BBM, bukan salah ibu mengandung bila badan telah menjadi dua (pepatah dari mana sih? Saya ngarang sendiri). Iya, dalam artian bukan salah adanya subsidi bila terjadi defisit anggaran. Kementrian itu sendiri kerjanya hanya “korupsi” uuppss! Ini fakta lho ya, itu mantan menteri ESDM yang menggelapkan uang rakyat itu, sumber uangnya bisa saja dari anggaran tersebut. Benahi dahulu kementriannya, jangan mengorbankan rakyat untuk jadi kambing potong. (errr,,, jadi gaje yah).
Oke! Kembali ke topik. Hingga pertengahan dan akhir diskusi, tiada satupun dari ketiga sahabat saya itu yang sepandangan dengan saya. Bahwasannya mereka sangat setuju jika BBM dinaikkan, dengan alasan agar masyarakat bisa mandiri dan tidak manja. Oh, God. Pada dasarnya ini tujuannya baik sekali, tapi saya tetap kekeh. Tidak setuju bila subsidi BBM dicabut. Tiba-tiba aku teringat masyarakat di kampungku. “Apapun alasannya, saya tetap menolak adanya kenaikan BBM. Saya adalah anak seorang petani. Harga karet melonjak turun, padi juga begitu. Sementara harga sembako melonjak naik. Kemudian di tambah lagi kenaikan BBM dan subsidi BBM dicabut pemerintah, rakyat kecil akan menjerit.” Saya bicaranya dengan nada sopan dan halus, karena ini Leaderless. Dan hasil akhirnya pun, hanya saya yang tetap bertahan pada pendirian saya.
Oke, out the topic about leaderless. Kembali pada pokok permasalahan, kenaikan BBM. Melihat aktivitas masyarakat kecil, yang bertahan pada hasil komoditi. Semisal, petani karet (di Kalimantan Barat) yang mengandalkan karet sebagai penghasil utama, atau nelayan mengandalkan hasil tangkapan (ikan, udang, cumi-cumi, dll). jika BBM akan dinaikkan tanpa adanya kenaikan barang komoditi masyarakat, akan semakin membuat masyarakat menangis tanpa bisa berbuat apa-apa, pasrah. Siapa lagi yang bisa membantu mereka, selain mereka sendiri dan Tuhan nya. Berharap pada pemerintah, entahlah. Mungkin mereka terlupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar