Kamis, 04 September 2014

Air Mata Adikku


Oleh: Nikodemus Niko
Cerita ini diangkat dari kisah nyata seorang gadis cantik bernama Sannori Juniarti Ola yang akrab disapa Yuni. Saat ini ia kuliah di jurusan Ilmu Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Pernah terbit di Harian Pontianak Post.

            Sabtu sore ini awan tampak cerah dan mendung perlahan tergantikan senyum mentari yang kini mulai bersinar kembali. Mungkin ini awal terbaik untukku bisa meraih mimpi di hari pertamaku tinggal di Kota Pontianak. Iya, seminggu lagi aku akan mengawali perkuliahan di salah satu Universitas ternama di Kalimantan Barat. Bahagia, mungkin itu yang tampak terpancar dari wajah Ayah, Ibu dan Adikku yang sangat aku cintai di dunia ini.

            Lelah, hmm. Mungkin lelah setelah kemarin pagi berangkat dari kampung halamanku tercinta. Iya, aku berasal dari Kabupaten Ketapang. Kami sekeluarga berangkat pukul 05.00 dan tiba di Kota Pontianak pukul 16.00. Perjalanan yang sungguh berkesan dan cukup menguras tenaga. Yah, mau bagaimana lagi? Mereka sangat menyayangiku, sama sepertiku yang teramat menyayangiku.
            Kota Pontianak, disinilah pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat. Sehingga kemajuan di kota ini sangat pesat. Oleh karena itu pula, Ayah akan check up di salah satu Rumah Sakit di kota ini. Kami semua tahu, 4 tahun terakhir ini Ayah menderita penyakit Sinus. Sehingga tidak hanya sekedar check up saja, melainkan Ayah juga harus ke dokter spesialis untuk berobat.
            Awal mulanya, memang Ayah yang kami ketahui sakit. Tetapi sesuatu yang aneh ada dalam diri Openg, iya Openg adalah panggilan sayang kami untuk Laoper adikku satu-satunya yang sangat aku sayangi. Awalnya memang kami mengira Openg hanya sakit gigi, atau gusi nya bengkak. Tapi lama-kelamaan pembengkakan tidak kunjung sembuh dan bahkan semakin membesar. Ibu sangat khawatir.
            Ayah dan Openg kini sepertinya sama-sama terlihat sakit setelah tiga minggu di Pontianak. Tepat di malam senin, Openg merasa kakinya keram dan tidak dapat digerakkan. Setelah itu Openg juga tidak sadarkan diri selama hampir setengah jam, semua khawatir, semua panik hingga akhirnya Openg harus di rawat inap di salah satu Rumah Sakit yang ada di Kota Pontianak. Openg harus mendapatkan perawatan intensif dari dokter.
            Seminggu sudah Openg di rawat di Rumah Sakit, ada yang kurang dalam setiap hariku. Biasanya kami main bareng, tapi semua terasa sepi. Aku kangen senyumnya, kangen tawanya yang selalu saja membuatku semangat di awal-awal aku menempuh studi di bangku kuliah ini. Tapi, yah mungkin Tuhan akan lebih mengetahui semuanya. Aku yakin Tuhan menyayangi Openg.
            “Cepat sembuh Openg,” lirihku dalam hati saat menjenguknya hari ini.
            Dokter yang menyarankan untuk segera membawa Openg ke Rumah Sakit di Jakarta untuk melekukan perawatan lebih lanjut. Karena radang gusi dan gigi yang tidak kunjung sembuh pada Openg harus menjalani operasi. Keterbatasan peralatan di Rumah Sakit itu membuat dokter menyarankan untuk di rujuk ke Rumah Sakit Dharmais yang diketahui Rumah Sakit tersebut merupakan khusus untuk menangani pasien yang menderita kanker.
            Kanker? Apakah Openg menderita kanker? Semua bertanya, termasuk aku. Namun kusembunyikan semua pertanyaan itu dalam relung hatiku. Aku yakin Openg akan baik-baik saja, aku yakin Tuhan akan menyembuhkan Openg. “Oh, Tuhan. Ku percaya akan kuasa Roh kudus-Mu,” aku berucap dalam hati sembari menumpahkan segala kekhawatiran ini bersama air mata.
            Keterbatasan biaya memaksa Ayah dan Ibu harus membawa Openg pulang ke kampung halaman. Rumah Sakit bagus, biayanya juga tentu akan bagus serta fantastis. Dilema ini yang aku alami. Lalu bagaimana dengan Openg? Apakah Openg harus dibiarkan begitu saja? Apakah sehat hanya milik orang berduit saja? Di Pontianak aja sudah sangat banyak biaya yang di keluarkan untuk perawatan. Bukan dengan bantuan Jamkesmas atau Askes karena kartu sakti itu tidak berlaku untuk digunakan di Rumah Sakit yang cukup bagus di Kalimantan Barat ini. Oh, Tuhan Yesus. Tolong keluarga kami. Kemana lagi kami harus mengadu, hanya kepada-Mu kami berserah Bapa.
***
            Hampir dua minggu, tetap tidak ada perubahan dalam diri Openg. Tidak ada pilihan lain selain harus membawa Openg ke Jakarta. Tepat di awal bulan September tahun 2012 Openg di rawat di Rumah Sakit Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Siloam di Semanggi, Jakarta.Selatan. Tidak hanya Openg, sebelumnya tanteku juga pernah di rawat di Rumah Sakit itu karena sebuah tumor ganas yang bersarang di otaknya. Di Rumah Sakit itu Openg dirawat. Dokter serta perawatnya sangat baik dan ramah. Setelah menjalani beberapa jenis test serta pengobatan akhirnya diketahui penyakit sesungguhnya yang diderita Openg. Dengan sangat berat dokter memvonis Openg menderita kanker getah bening stadium 4. Iya, stadium itu adalah stadium akhir.
            Tersayat, pilu, semua bagai tersambar petir. Ibu, Ayah semuanya shock mendengar penuturan dokter. Tak terkecuali aku yang saat itu tidak bersama Openg karena berada di Pontianak untuk menjalani aktivitas kuliah. Aku tersentak kaget saat mengetahui itu semua lewat telepon.
            “Apa? Kanker?” Tangis ini tak bisa terbendung lagi saat aku mengetahui semua itu. Terdengar pula tangis Ibu di ujung suara telepon. Membuat aku tak sanggup untuk berkata apapun lagi.
“Ya, Tuhan. Cobaan apalagi yang Engkau berikan ini? Buat kami sanggup hadapi ini semua Tuhan.” Aku menggumam disela tangisku. Semua ini bagai cerita dalam sebuah sinetron saja, tak pernah aku mengira jika hal ini terjadi pada Openg.
Semakin hari, Openg semakin parah. Sehingga ia harus segera menjalani Kemoteraphi. Iya, setiap minggu Openg harus menghadapi alat-alat Kemoteraphi yang sungguh luar biasa sakitnya.
“Kuatkan dia, Tuhan. Aku sangat menyayanginya. Jaga dia selalu Tuhan Yesus.” Lagi-lagi aku menumpahkan segalanya bersama air mata ini. Aku yakin Openg pasti menangis, saat menjalani Kemoteraphi. Dia pasti merindukan ku seperti aku yang kini sangat merindukannya.
Setiap hari, Openg selalu menelponku. Dia menceritakan semua yang ia rasakan, dan segala yang ia lalui disana. Dan setiap hari pula air mata ini tak dapat aku bendung dalam sebuah rasa rindu yang teramat dalam. Aku ingin segera melihat keadaan Openg disana, aku ingin selalu ada disampingnya.
“Kakak kapan kesini? Kasihan Ayah dan Ibu yang selalu mengurusiku setiap hari,” terdengar suara openg di ujung telepon.
“Iya, dek. Kakak juga sudah sangat rindu. Kakak pasti secepatnya kesana.” Aku hanya berusaha menghiburnya. Karena saat aku ingin ke Jakarta untuk melihat keadaan Openg, Ayah melarangku untuk meninggalkan perkuliahan. Lagi-lagi karena kuliah ini yang memaksaku memendam rindu ini.
Ayah dan Ibu yang selalu setia menjaga dan merawat Openg selama menjalani pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit. Tanpa lelah, tiada henti, itulah pengorbanan orang tua pada anaknya. Pengorbanan dengan penuh cinta tanpa mengharapkan apapun, cukup melihat Openg bisa tersenyum setiap hari.
***
Kurang lebih sebulan Openg di rawat di Rumah Sakit MRCCC Siloam. Lagi-lagi karena keterbatasan biaya yang memaksa Openg harus dipindahkan di Rumah Sakit lain. Dan dengan pertimbangan Ayah dan Ibu melanjutkan pengobatan Openg di Rumah Sakit Dharmais. Disana Openg terlihat sangat bahagia karena ditempatkan di ruangan yang khusus untuk anak-anak. Openg tak lagi kesepian, ia memiliki banyak teman disana. Dan salah satu yang diceritakannya kepadaku adalah sosok Intan, seorang anak berumur 6 tahun penderita kanker darah. Semangat dan senyum Intan yang selalu ia ceritakan kepadaku. Hal itu pula yang menjadi semangat buat Openg untuk menjalani proses pengobatan.
Di Rumah Sakit Dharmais, Openg juga terus menjalani Kemoteraphi setiap seminggu sekali. Dan aku selalu menanti kabar tentang perkembangan Openg. Saat itu sebelum menjalani Kemo dia menyempatkan diri menelponku.
“Yun, lagi apa? Tau nggak, selama aku sakit aku banyak uang lho,” Openg sembari tertawa kecil. Sungguh bahagia hati ini mendengar tawa itu.
“Yuni lagi kuliah aja, Peng. Wah, enak dong yang banyak duit. Bagi Yuni dong, lagi bokek nih,” Aku hanya membalasnya dengan canda.
“Minta ama kakak aja, Yun. Aku aja di kasih,” Openg membalasnya dengan canda.
“Kan Openg di kasih karena sakit. Kalo gak sakit mana mau kakak kasih duit, kan kakak pelit,” Aku sambil tertawa ingin mengajaknya ikut tertawa.
“Ya udah, Yun. Kalo gitu Yuni pura-pura sakit aja.” Openg sembari tertawa juga. Sungguh rindu padanya. Segalanya hanya dapat aku curahkan dalam sebuah do’a untuknya dalam setiap waktuku. Memeluknya dari kejauhan hanya melalui untaian do’a terindahku.
Ibu jadi ngomel-ngomel karena candaan kami, dan pesawat telepon pun ditutup karena sudah ada panggilan dari perawat untuk memasuki ruang Kemo.
“I love you, Openg. Aku yakin kamu kuat bersama Roh Kudus yang selalu menguatkan mu,” lagi-lagi air mata ini yang menjadi saksi rasa pedih ini.
***
Kondisi Openg yang sudah cukup membaik tidak mengharuskan Openg untuk dirawat di Rumah Sakit, namun ia harus tetap menjalani Kemoteraphi rutin di setiap minggu nya. Selama menjalani kemoteraphi Openg dan orang tuaku tinggal di rumah Anyo. Di rumah itu memang penginapan bagi orang tua dan anak yang menderita kanker, dengan biaya yang relatif murah. Rumah Anyo sering kedatangan tamu relawan, terutama dari kalangan artis. Pada suatu waktu Openg harus menunda Kemoteraphi nya karena ingin bertemu artis idolanya. Padahal hari itu adalah jadwal Kemo terakhir perminggu dan akan dilanjutkan Kemo perbulan. Iya, demi bertemu artis idolanya jadwal Kemo di tunda. Ayah dan Ibu hanya menuruti kemauan Openg, karena Openg sangat ingin bertemu sosok idola yang selama ini belum pernah ia temui.
Semenjak hari itu, iya semenjak penundaan jadwal Kemoteraphi itu kondisi Openg memburuk. Dan harus di rawat kembali di Rumah Sakit. Seminggu sebelum ia koma, kami sempat berkomunikasi. Lewat apalagi kalau bukan telepon.
“Yun, lagi apa?”
“Lagi santai aja. Openg lagi apa? Gimana perkembangannya?” Aku menanyakan hal yang biasa aku tanyakan saat menelponnya.
“Badanku sakit semua Yun, aku udah gak tahan lagi, rasanya aku ingin tidur selamanya,” terdengar suara lesu yang membuat semangatku down saat itu.
“Jangan bicara kaya’k gitu. Openg pasti kuat. Ingat rencana Tuhan indah pada waktu-Nya ya, jadi openg harus semangat gak boleh nyerah sama penyakitnya. Adikku kan hebat. Semangat ya,” aku terus memberi semangat positif padanya. Aku percaya janji Tuhan tak akan pernah teringkari.
“Iya, Yun. Makasih ya. Openg istirahat dulu ya, Yun.” Kata itu yang terakhir ia ucapkan sebelum telepon terputus.
***
Semenjak hari itu, orang tuaku tidak sepenuhnya memberikan informasi tentang perkembangan Openg. Dan semenjak hari itu pula Openg tak pernah lagi menelponku. Padahal aku sangat ingin mendengar cerita tentangnya setiap hari. Ayah dan Ibu tak ingin kuliahku terganggu. Mereka hanya mengabarkan tentang Openg seadanya saja.
Seminggu sudah aku tak lagi mendengar suara indah, canda, tawa dari Openg. Aku sangat meindukannya. Di malam yang tiada berbintang itu hanya kulalui dengan memikirkan keadaannya disana. Tiba-tiba handphone ku berdering. Orang tuaku memintaku agar segera datang ke Jakarta.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi pada Openg?” pertanyaan demi pertanyaan hadir dalam benakku saat aku tiba di bandara Soekarno-Hatta. Karena Ayah dan Ibu tidak memberitahuku, dan tiba-tiba mendadak aku disuruh untuk datang ke Jakarta.
Tepat jam 10 pagi, aku langsung menuju Rumah Sakit tempat Openg menjalani perawatan. Tiba disana, hanya wajah lesu, dan sedih terpancar dari kedua orang tuaku. Iya, Openg kini terbaring di ruang ICU. Mereka tidak mengatakan hal ini sebelumnya, tiada daya lagi untuk hati ini tersenyum. Semua pahit bagai empedu, segala rasa aku tumpahkan dalam tangis di pelukan ibu. Aku tak cukup kuat mendengar kabar ini. Semula aku ingin bertemu Openg dengan bisa bermain bersamanya, bisa bercanda dan tertawa bareng bersamanya. Tapi, kini aku hanya dapatkan Openg yang terbaring lemah di ruang ICU.
Jam besuk baru buka jam 11 siang. Aku harus menunggu sekitar setengah jam lagi untuk dapat bertemu Openg. Saat jam besuk dibuka, aku adalah orang pertama bertemu Openg. Perlahan kulangkahkan kaki ini menuju ruangan itu. Aku ingin segera bertemu Openg, aku ingin bisa memeluknya, meski kini dia dalam keadaan koma.
Sepi, tiada kata, senyap, dan hanya terdiam untuk sejenak. Kini aku telah bertemu Openg, hati ini ingin berlari jauh. Aku tak dapat berkata apapun setelah mendapatkan Openg dalam kondisi terbaring dengan selang-selang yang mengalir di sekujur tubuhnya. Dan bahkan aku tak lagi mengenal sosok Openg yang kini berbeda. Semua karena kanker yang telah menjalar di seluruh tubuhnya, sehingga tubuhnya membengkak.
Aku melihat Openg dengan tatapan kosong, ingin ku menghamburkan rasa ini dengan memeluknya. Perih, hanya tangis, iya hanya tangis yang berusaha mengungkapkan perihnya rasa hati ini.
“Openg. Ini Yuni datang untuk Openg,” aku mencoba untuk menyapanya, mengajaknya bicara.
“Maafin Yuni, ya. Yuni baru bisa datang sekarang,” aku mencoba lagi untuk berharap keajaiban Tuhan agar ia dapat membuka mata dan melihatku hadir disini untuknya.
Tiada respon apapun darinya, ia tak dapat berkata apapun. Aku yakin ia mendengarku, aku yakin ia juga merindukan ku, aku yakin ia juga ingin bertemu denganku. Tapi kenapa dia tidak membuka mata sekedar untuk melihatku. Aku hanya bisa menatap wajahnya serta mencium tangannya.
Perlahan mata itu terbuka dengan penuh keindahan. Ia Openg membuka matanya, mungkin ia baru saja berada dalam mimpi indahnya.
“Openg. Ini Yuni datang untuk jaga Openg, Openg cepat sembuh ya.” Kata-kata itu yang terus aku ucapkan di telinganya.
Masih tak ada respon apapun darinya, sambil aku memegang erat tangannya yang bengkak aku tak dapat lagi membendung air mataku. Seketika sepasang mata dengan tatapan  kosong Openg bergerak menoleh ke arah ku. “Oh, Tuhan. Beri kekuatan untuk adikku.” Aku mengusap air mataku dan terus memberinya semangat.
Tatapan mata itu seolah memiliki arti yang begitu dalam yang akupun tak tahu. Entahlah, mungkin hanya ia dan Tuhan yang mengetahui itu. Tak pernah aku melihat mata bening seindah ini, yang kemudian tiba-tiba mata indah itu meneteskan air mata yang aku tak tahu apa artinya.
Tiada siapapun di ruangan itu, hanya aku dan Openg yang kini dalam keadaan koma. Dan ia dapat merasakan kehadiranku disini, ia ikut menangis karena tiga bulan ini merindukan ku. Tapi selama tiga bulan Openg dirawat di Jakarta aku tidak sempat untuk mengunjunginya.
Ingin rasanya untuk terus berada disini, bersamanya. Ingin terus melewati waktu dengannya. Hingga akhirnya jam besukpun berlalu, aku menunggu dan terus menunggu hingga jam besuk selanjutnya.
***
Openg yang kukanal selama ini adalah sesosok adikku yang periang, ceria, jahil dan terkadang membuat aku kesal dan senang. Tetapi kenapa kini sosok itu jauh berbeda dari yang aku kenal? Adikku yang kukenal dulu sekarang terbujur kaku diatas tempat tidur Rumah Sakit di ruangan ICU dengan berbagai macam alat terpasang di sekujur tubuhnya. Apakah masih ada harapan untuk adikku kembali seperti semula? Sosok yang kurindukan selama beberapa bulan ini. Hanya ke dalam tangan Tuhan ku berserah.
Tak lelah untuk bisa bertemu dengannya lagi. Akhirnya jam 17.00 aku masuk ruangan ICU untuk dapat melihat keadaannya. Aku menyanyikan lagu-lagu rohani dan terus berdoa bersama kakakku, karena di ruangan tersebut dibatasi maksimal dua orang. Kakakpun beranjak keluar dan membiarkan aku bedua bersama adikku.
Openg masih tetap seperti tadi siang. Tanpa bicara apapun, kudapatkan mata indah itu kembali dengan tatapan kosong. Aku terus berbicara padanya, berharap ia akan menjawabku. Tapi tak ada respon apapun darinya. Tak pernah berhenti kata do’a ini untuk Openg, meski waktu kini terus berjalan. Hingga akhirnya jam kunjunganpun habis dan aku harus meninggalkan Openg sendirian di ruangan itu. Aku yakin Openg pasti tidak betah disini. Aku menyanyikan satu buah lagu rohani dan mengusap mata indah itu yang kini kembali mengeluarkan air mata. Openg pasti ingin bernyanyi bersamaku. “Aku berharap bisa melihatnya tersenyum, Tuhan.”
Malam yang sangat mencekap di Ibu Kota. Meski keramaian dan suara bising memenuhi seluruh sudut kota ini, hatiku tetap terasa sepi tanpa adanya Openg di tengah-tengah kami. Kini aku hanya bisa bertemu Openg, tanpa melihat ia tertawa, bercanda seperti saat-saat kami berkomunikasi lewat telepon.
Sebelum beristirahat malam ini. Aku, Ayah, Ibu dan Kakak berdoa bersama untuk menyerahkan adikku ke tangan Tuhan. Biarlah Tuhan yang berkehendak atas hidupnya, kami yakin dan percaya akan Mukjizat-Nya di tengah-tengah keluarga kami. Karena hanya Dia lah sang pemilik kehidupan dunia.
Mata ini enggan tuk bisa terpejamkan. Pikiran ini masih pada Openg disana. Biasanya Openg selalu jailin aku sebelum tidur. Berharap bisa untuk bisa bercanda bareng Openg lagi sebelum tidur.
Baru saja beberapa menit mata ini terpejam. Tepatnya jam 03.00 subuh, perawat membangunkan tidur kami. Kami tersentak kaget dan segera menuju ruangan dimana Openg terbaring disana sudah ada dokter dan perawat. Dalam perjalanan hati ini terus mengucapkan kata do’a untuknya, “Tuhan, jaga Openg selalu. Semoga dia baik-baik saja.”
Semua terdiam, tiada suara terdengar dalam ruangan itu. Semua bagai patung, iya bagai tiada siapapun disini. Bagai tersayat sembilu saat dokter berkata adikku sudah tiada. “Tuhan, cobaan apalagi ini? Aku tak akan mungkin sanggup terima kenyataan ini, Tuhan.”
Aku tidak percaya akan hal itu. Berharap ini hanya mimpi. Tak bisa lagi ku tertahan dengan tangis ini. Ibu, Ayah, dan juga kakakku sangat terpukul dan menangis, begitu pula aku. Rasa hatiku benar-benar hancur, segala harapan kini telah patah. Openg kini telah beristirahat di tengah malam sunyi. Seperti yang pernah ia katakan padaku di telepon, kalau dia telah lelah dan ingin beristirahat untuk selamanya.
“Openg, bangun Peng.” Pintaku sembari memeluk tubuhnya yang kini sudah tiada bernyawa lagi. Aku tak sanggup untuk menerima semua kenyataan ini. Aku belum lama untuk bersamanya Tuhan. Aku belum sempat untuk merawatnya, seperti pintanya di waktu itu. Penyesalan yang terus menghantuiku. Aku masih ingin bersamanya, Tuhan.
Masih memeluk tubuhnya, aku tak ingin Openg tinggalkan kami. Tapi inilah kenyataan pahit yang harus kami terima, bahwa Openg benar-benar pergi untuk selamanya. Openg akan menuju rumah Bapa di surga.
Keesokan hari, kami semua harus membawa jenazah Openg pulang ke Kalimantan Barat untuk disemayamkan di kampung halaman di Ketapang. Rasa hati ini masih tercambuk luka yang teramat dalam. Kehilangan adik yang sangat aku cintai, namun aku tersadar bahwa Tuhan lebih mencintai dia.
Aku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Kenapa ini harus terjadi? Dia pernah memintaku untuk menjaganya, dan belum lama aku bertemu dengannya kini dia pergi untuk selamanya. Rasa sesal ini terus ada dalam perasaan, penyesalan selalu datang terlambat. Iya terlambat, karena sesuatu yang telah terjadi adalah rencana indah Tuhan yang tak dapat kita tebak.
Kini aku telah tersadar bahwa Openg telah sembuh total dari penyakit kanker yang di deritanya selama ini. Tidak ada lagi rasa sakit saat Kemoteraphi, tiada lagi nyeri lagi yang bersarang di tubuhnya. Tidak ada lagi penderitaan dan tangisan karena kesakitan yang dia alami. Kini Openg telah bahagia disisi Bapa di surga. Damailah disana adikku. Aku merindukan Openg, aku akan selalu senantiasa memeluk Openg bersama do’a yang selalu untuk Openg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar