Senin, 08 September 2014

Politik dan LGTB


Notes By: Aries Pena

Politik merupakan sebuah strategi; Memenuhi kemauan dan kepentingan; Pertarungan kepentingan untuk kebutuhan orang banyak dan Politik adalah ruang dimana kita harus berjuang untuk memperjuangkan kebutuhan kita. Lalu sudah adilkah politik di negeri ini? Belum. Sangat banyak sekali kaum minoritas yang tertindas oleh kebijakan-kebijakan politik, terutama kaum LGTB. Kaum minoritas menindas kaum minoritas, hal ini mungkin cocok untuk menamai situasi saat ini. Anggota parlemen juga merupakan kaum minoritas, namun mereka memiliki kekuasaan. Tetapi berbanding berbalik dengan kaum LGTB yang merupakan kaum minoritas yang terpinggirkan. Disinilah terlihat fungsi politik yang tidak secara adil.

Politik secara keilmuan selalu erat kaitannya dengan kekuasaan, bicara politik kita akan bicara tentang negara. Bicara tentang distribusi sumber daya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran gender juga terdapat didalamnya. Politik itu bukan pembicaraan yang kotor, politik menjadi kotor karena adanya oknum untuk dapat posisi tertentu harus sikut sana sikut sini. Sehingga yang mereka lakukan bersinggungan dengan fungsi politik yang sebenarnya.
Selanjutnya, bicara politik pasti bicara negara, dan bicara negara Indonesia kita akan bicara demokrasi. Apa itu demokrasi? Demokrasi merupakan kebebasan dalam berpendapat, ada ruang yang sama. Dalam ilmu politik, dalam demokrasi ada tiga indikator penting yaitu: Kompetisi, pengkaderan dan partisipasi penuh. Kompetisi, tidak boleh menggunakan kekerasan. Yang perlu dibangun partai politik adalah proses kepemimpinan atau pengkaderan. Partisipasi penuh, tidak boleh ada warga negara dewasa yang dipinggirkan dalam proses-proses politik. Lalu, sudah nampakkah demokrasi ini bagi kaum LGTB? Tidak. Kaum LGTB masih ditindas hak-hak kewarganegaraannya, mereka yang merupakan warga negara tidak dilibatkan dalam proses demokrasi ini. Dalam hal kompetisi untuk menuju parlemen, kaum LGTB tidak mendapatkan hak yang sama dengan warga negara yang katanya heteroseksual. Meskipun perempuan merupakan salah satu kaum yang termarginalkan, tapi perempuan mendapatkan porsi 30% di kursi parlemen.
Gender sendiri merupakan suatu konstruksi dalam pemikiran kita. Politik itu publik, yang sesungguhnya siapapun bisa masuk dalam ruang publik tersebut. Entah itu laki-laki (heteroseksual), perempuan (heteroseksual) maupun LGTB. Tetapi pada kenyataannya tidak, seperti perempuan dikatakan tidak pantas memasuki ruang publik karena perempuan lebih dominan masuk ruang domestik. Lalu, dimana fungsi demokrasi negara? Politik itu sendiri masih di dominasi oleh kaum laki-laki (heteroseksual). Sehingga kebijakan-kebijakan yang di ambil pun, terkadang mengesampingkan pihak-pihak tertentu seperti LGTB. Hal ini karena tidak ada yang menyuarakan hak-hak mereka di parlemen negara. Kurangnya supporting system bagi kaum LGTB untuk masuk dalam parlemen. Dan kaum LGTB ini baik di ruang publik maupun domestik selalu dianggap liyan (the other). Hal ini dibuktikan masih banyaknya penolakan-penolakan terhadap mereka.
Berbicara tentang gender, bukan bicara tentang jenis kelamin atau seks. Jenis kelamin sifatnya biologis dan bersifat menetap. Sedangkan gender merupakan bentukan atau konstruksi sosial yang berasal dari masyarakat. Perempuan dan laki-laki sama-sama dikenai gender ini. Namun banyak yang dirugikan adalah perempuan karena laki-laki dianggap produktif dan mampu jadi pemimpin. Padahal, laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama sebenarnya, namun karena konstruksi itu terjadi sejak berabad-abad lamanya sehingga tetap tinggal didalam masyarakat. Hal ini pula dialami oleh kaum LGTB. Mereka dianggap tidak normal, sakit jiwa dan lain sebagainya, itu merupakan hasil konstruksi masyarakat. Padahal, bila mereka diberi hak yang sama dalam ranah politik mereka bisa lebih produktif. Disini terlihat adanya relasi kuasa (power relation) berdasarkan gender. Relasi kuasa ini bersifat timpang. Relasi kuasa yang terjadi antar gender ini adalah relasi yang tidak imbang yang mengakibatkan adanya gender tertentu yang termarginalkan. Menyelesaikan masalah gender sulit karena masalahnya ada di diri kita sendiri. Tujuannya bukan memindah posisi gender tertentu, tetapi lebih kepada bagaimana kesetaraan dibangun.
Untuk mencapai keterwakilan perempuan dalam ranah politik, pemerintah sudah mengeluarkan undang-undang yang menghantarkan 30% kuota untuk perempuan dalam parlemen. Berbicara mengenai affirmative action yang semula untuk kaum perempuan, hal ini juga termasuk didalamnya kaum LGTB. Tindakan afirmasi ini bisa saja dilakukan oleh kaum LGTB bukan hanya untuk kaum perempuan saja. Ini negara demokrasi, dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi perlu partisipasi semua warga negara. Yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan partisipasi politik semua warga negara, bukan saja dari kalangan laki-laki (heteroseksual) dan perempuan (heteroseksual) saja, tetapi juga kaum LGTB yang memiliki hak kewarganegaraan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar