Senin, 08 September 2014

‘Anak Tiri’ Kampus


Oleh: Nikodemus Niko
Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Tanjungpura

“Kapan sidang skripsi?” Setidaknya pertanyaan ini yang selalu terlontar dari teman-temanku saat di kampus. Cukup mengganggu memang, karena sudah semester 9 masih saja betah jadi penghuni kampus. Cukup malu juga dengan teman-teman se-angkatan (2010) yang sudah pada seminar bahkan mendapatkan gelar sarjana di ujung namanya. Dan juga malu dengan adik-adik tingkat yang tentu menganggap senior-seniornya cukup ‘tidak pintar’ dalam menempuh kuliah. Padahal bukan karena goblok kami masih berada di kampus, tapi karena bobrok yang masih saja bergelantungan bersarang di dinding-dinding kampus.

Sebut saja teman-teman dari prodi Ilmu Administrasi Negara, prodi Sosiatri dan prodi Ilmu Politik yang mampu lulus dalam waktu kurang dari 4 tahun, bukankah bangga kedengarannya jika prodi mampu mencetak lulusan sarjana kurang dari 4 tahun. Lalu, kemana program studi yang satunya lagi yang namanya Sosiologi itu? Kok, tenggelam terbawa arus sungai? Mungkin pertanyaan saya ini cukup tidak enak dibaca. Tapi, ini adalah ungkapan kemirisan saya sebagai mahasiswa Sosiologi.
Puluhan sahabat seperjuangan saya sudah berganti foto profil dengan mengenakan caping permata yang bernama ‘toga’ itu, mulai dari foto di facebok hingga BBM (Blackberry Massanger). Mereka semua tidak ada satu orangpun yang berasal dari program studi Sosiologi. Lho, kok bisa? Dalam tulisan ini saya ingin mengupas alasan-alasan yang menurut saya seperti meng-Anak Tiri-kan prodi Sosiologi.
Flashback sejenak, pada semester 7 lalu (berarti setahun yang lalu) kami pengurus inti Himpunan Mahasiswa Sosiologi (HMS) angkatan kedua menghadap ketua prodi (Viza Juliansyah MA, MIR) untuk menanyakan alasan mengapa di prodi lain kok sudah bisa bimbingan proposal skripsi tapi prodi Sosiologi belum bisa? Hal utama yang mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar adalah karena jumlah SKS kami belum mencukupi syarat. Peraturan yang berlaku jumlah SKS untuk dapat mengajukan outline penelitian miniman 130 sementara kami baru menempuh 128 SKS. Cuma selisih 2 angka, doang. Nyesek-nya tuh disini (nunjuk jidat).
Awalnya semester 7, kini saya flashback lagi ke semester-semester sebelumnya. Dari awal semester kami memang tidak mengalami kendala apapun. Justeru dari awal nampak-nya anak prodi Sosiologi bakalan menjadi lulusan tercepat, nih (preeeeeetttt). Kenapa? Karena bila dibandingkan prodi lain, prodi sosiologi adalah satu-satunya yang tercepat menyelesaikan mata kuliah prasyarat. Seperti, praktikum I diselesaikan di semester 4 sementara prodi lain di semester 5. Dan praktikum II diselesaikan di semester 5, sementara prodi lain di semester 6. Bila diruntutkan Praktikum IàPraktikum II àKKMàProposal PenelitianàSkripsiàSelesai. Tapi runutan mata kuliah prasyarat ter-urgent itu tidak semudah ngemeng, bray.
Setelah menjalani proses panjang perkuliaha yang tak terkira ujungnya itu, segalanya tersendat di semester 6. Iya, pada semester ini kami hanya di sajikan 3 mata kuliah wajib saja, atau sama dengan 9 SKS. Sementara prodi lain full class bahkan sampai ada yang masuk kelas malam. Lalu, kami bisa apa? Minta penambahan mata kuliah, gitu? Atau memohon agar mata kuliah di full kan menjadi 24 SKS, gitu? Waktu itu kami hanya menjalani apa yang ada, karena memang kami pikir memang segitu mata kuliah yang ada di semester itu.
Kembali ke masa di semester 7. Dari diskusi kami dengan ketua prodi Sosiologi yang cukup panjang tersebut kami mendapatkan kesimpulan bahwa kami harus menunggu SKS cukup, alias menjajaki 1 semester lagi di bangku kuliah. Ya, sudahlah. Tanpa hasil dan tanpa aksi yang arogan kami menuruti sistem yang ada pada saat itu.
Kami mengira bahwa mata kuliah kami cukup sampai semester 7 saja, seperti yang berlaku di prodi lain. Tapi ternyata kami salah, kami harus mengambil mata kuliah wajib yang sempat hilang pada saat kami semester 6, dan muncul kembali saat kami semester 8. Sungguh sistem yang cukup aneh bagi saya, bagaimana bisa mata kuliah yang sudah ditiadakan kemudian muncul kembali? Kami kecewa, kami kesal. Tapi kepada siapa kami harus berkeluh kesah? Teman-teman di prodi lain sudah menyelesaikan skripsi di semester 8, sementara kami masih harus mengambil kuliah sebanyak 4 SKS. Ini gilaaa.... Kenapa tidak dimunculkan saat kami duduk di semester 6 lalu? SKS-nya nanggung banget.
Saya selalu berpikiran positif terhadap suatu peristiwa. Untuk apa disesalkan yang sudah berlalu, amarah biarlah abadi bersama tulisan (karena sempat saya nyinggung prodi lewat tulisan di koran, tapi gak di gubris). Saya mengambil lanagkah inisiatif yang positif pula, untuk konsultasi masalah skripsi dengan dosen Pembimbing Akademik (PA). Terima kasih untuk bapak Drs. Muhil Shonhadji M.Si yang sangat care terhadap permasalahan mahasiswa-nya, sangat sedikit jumlah dosen yang seperti beliau. Saya dibimbing secara totalitas oleh beliau, mulai dari penentuan tema, judul, permasalaha, bahkan hingga hal terkecil dalam penulisanpun beliau perhatikan.
Finally, bulan Maret 2014 lalu SK pembimbing saya keluar. Kesempatan dan waktu yang tiada ingin ku sia-sia kan, terus berkonsultasi dari dosen satu berpindah ke dosen yang satu nya lagi. Nasib baik, saya mendapatkan pembimbing skripsi yang sangat ramah dan friendly dengan mahasiswa nya. Beliau adalah Dr. Bakran Suni, M.Ag dan Dra. Rupita, M.Kes. tanpa menuunggu waktu lama, sebulan bimbingan saya maju seminar sebagai yang perdana di prodi Sosiologi angkatan kedua. Senang dapat nilai A+ dari tim penguji seminar ku kala itu.
Berangsur-angsur sembari menjalani perkuliahan di semester 8, saya menulis skripsi dengan penuh cinta dan tanpa ada beban. Mungkin ini yang disebut tanggung jawab dalam tugas akhir bernama skripsi itu. Turun ke lapangan penelitian yang lokasi nya cukup jauh dari tempat tinggalku. Saya tidak memiliki kendaraan untuk bolak-balik, sehingga saya harus tebal muka untuk meminjam motor kakak sepupuku selama penelitian berlangsung.
Setelah semuanya selesai, sekitar selama waktu 3 bulan terhitung dari bulan April. Saya berkonsultasi dan terus berkonsultasi dengan pembimbing. Sebelum menginjak masa lebaran bulan lalu, 2 dosen pembimbingku sudah membubuhkan tanda tangan pada lembar persetujuan. Itu artinya saya sudah boleh langsung mendaftar sidang skripsi. Tapi, sekali lagi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kendala utama adalah nilai mata kuliah belum dikeluarkan oleh dosen, sementara rekap nilai dari semester awal hingga terakhir harus tercover. 1 mata kuliah saja yang menjadi kendala di akhir Agustus bulan lalu. “Cepat daftar sidang, Nik. Jangan mentang-mentang dapat beasiswa jadi mau daftar ulang lagi semester 9 ini.” Nada bercanda terungkap dari salah satu dosen pembimbingku. Sejujurnya, beasiswa ku sudah non-aktif semenjak Juli lalu, karena masa penerima beasiswa hanya 4 tahun saja. Sementara saya kuliah lebih dari 4 tahun dengan serentetan sistem yang tidak jelas.
Segala persyaratan dan berkas sidang sudah terpenuhi, saya masukkan berkas ke akademik untuk mendapatkan persetujuan Pembantu Dekan 1, ini adalah berkas terakhir menuju kursi persidangan. Lagi-lagi ada saja hal yang tersangkut, pihak akademik meminta sertifikat TOEFL saya harus diperbaharui dengan sertifikat terbaru. Apakah sertifikat lama tidak bisa digunakan atau sudah tidak berlaku? Mereka mengatakan bahwa, takutnya sertifikat TOEFL saya palsu. Tapi kali itu saya sedikit ngotot karena memang sudah saya minta surat keabsahan dari UPT Bahasa Untan. Tapi, mereka juga ngotot meminta sertifikat TOEFL terbaru yang mana model sertifikatnya berbeda dengan sertifikat punya ku. Aku mengalah, meski geram, kesal dan sangat mempersulit saya. Jika mahasiswa Sosiologi yang berurusan kayaknya ribet sekali, itu yang aku pikirkan kala itu.
Hari jum’at tanggal 30 Agustus lalu berkas saya masuk ke akademik, karena tersangkut masalah sertifikat TOEFL saya harus perbaharui lagi hingga jadinya hari Jum’at tanggal 6 Sepetember. Tetapi hingga selasa tanggal 9 hari ini, saya belum mendapat kepastian kapan saya akan maju untuk sidang. Dalam keadaan seperti ini aku merasa bahwa di semester akhir itu bukan skripsi nya yang susah, tetapi sistem yang mengharuskan ini dan itu sebagai persyaratan. Memang tidak sulit mendapatkan persyaratan tersebut, dari jauh-jauh hari saya sudah persiapkan segala berkas yang menjadi persyaratan, tapi pengalaman yang saya alami saya dipersulit seperti ini. Terbersit dalam benak saya, bahwa aku ingin merajuk saja untuk tidak sidang skripsi. Bukan berputus asa, tapi saya sudah muak dengan semua ini. Belum lagi saya harus belajar menguasai materi skripsi, belum lagi ngurus ini dan itu yang diminta akademik kampus. Sementara saya harus jalan kaki berkilo-kilo meter untuk mengurus selembar demi selembar kertas itu. Bila saja saya memiliki kendaraan, mungkin tiada kesulitan bagi saya. Tapi keterbatasan saya, penuh perjuangan dan kerja keras berpeluh-peluh datang ke kampus hanya untuk mengecek apakah berkas sudah bisa masuk ke jurusan, jawaban “Belum” itu cukup membuat hati kecewa.

Pontianak, 9-9-2014. 02.38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar