Senin, 08 September 2014

Dilematis Keberagaman Seksual dan Stigma



Notes By: Aries Pena

Manusia merupakan mahkluk sosial yang pada hakikatnya akan membentuk sebuah struktur ataupun sistem masyarakat yang akan melahirkan standar nilai maupun norma yang akan menjadi pedoman hidup. Pada kenyataannya interaksi di dalam masyarakat tidak pernah berjalan lancar tanpa adanya pertentangan. Pertentangan ini terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan setiap orang. Dari segi kebutuhan tentunya masing-masing individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Apabila kebutuhan individu tersebut bertentangan atau bahkan mengancam kebutuhan individu lainnya, dapat dipastikan akan muncul konflik antar individu untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan masing-masing. Untuk menghindari pertentangan tersebut, dibutuhkan suatu tatanan masyarakat yang mengatur interaksi antar individu yang dinamakan norma sosial. Norma sosial lahir dari konvensi sosial untuk membantu orang berperilaku baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Homoseksual masih merupakan hal yang tabu dan sangat sulit diterima oleh masyarakat di Indonesia. Budaya timur yang melekat di masyarakat membuat hal ini menjadi sebuah masalah yang besar. Berbeda dengan di negara barat, khususnya negara Belanda, masyarakatnya telah menerima keberadaan kaum homoseksual dan menghalalkan pernikahan sesama jenis. Demikian pula di Argentina, yaitu di kota Buenos Aires dan Provinsi Rio Negro. Mereka menamakan diri dengan ‘The Argentine Homosexual Community’. Kelompok ini mengajukan perluasan hak atas undang-undang yang berlaku di Negara itu pada tahun 2002, yaitu mengenai hak bagi pasangan, tanpa memperdulikan jenis kelamin atau orientasi seksualnya menjadi sepasang pengantin yang syah di muka hukum Negara.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual yang berjenis kelamin sama secara situasional dan berkelanjutan. Homoseksual terdiri dari Gay yaitu laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap laki-laki dan Lesbi yaitu perempuan yang secara seksual tertarik terhadap perempuan. Perdebatan terhadap kaum homoseksual baik Gay maupun Lesbi ini tidak dapat dipungkiri membuahkan sikap negatif dari lingkungan sosial. Tingginya stigma sosial dari masyarakat ini memang sudah seharusnya dihapuskan di bumi pertiwi ini, karena keberadaan kaum Gay ini merupakan sebuah fakta, mereka adalah sebuah realita masa kini. Keberadaan mereka kini mulai tampak dengan berani memunculkan diri di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Homoseksual dan stigma negatif dari lingkungan sosial merupakan sebuah dilematis yang memang kini dihadapi kaum Gay.
Berbicara Homoseksual pasti tidak terlepas dari sikap orang yang membenci kaum Gay, mereka ini biasa disebut Homophobia. Reaksi kaum Homophobia apabila bertemu Gay ataupun berada di lingkungan Gay adalah merasa tidak tenang, gelisah, khawatir, takut tertular “penyakit homoseksual”, merinding dan tidak sedikit yang langsung kabur dan menjauh. Bahkan ada juga kaum Homophobia yang sampai mengisolasi dan memprovokasi masyarakat untuk menjauhi kaum Gay. Namun pada kenyataannya, kaum Gay bukanlah orang-orang yang seharusnya di benci, di jauhi atau bahkan di diskriminasi. Mereka juga warga negara yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Dewasa ini, sebagian besar masyarakat masih melihat kaum Gay sebagai sesuatu yang keluar dari koridor heteronormativitas. Perilaku Gay bahkan dianggap sebagai penolakan terhadap takdir. Dalam kehidupan nyata, keberadaannya senantiasa disingkirkan dan dibedakan dengan heteronormativitas. Pola homoseksual ini di stigmatisasi sebagai tindakan ‘tidak normal’. Sesungguhnya Gay bukanlah suatu keadaan abnormal, namun merupakan sebuah identitas yang dialamatkan pada seorang laki-laki yang mempunyai pola hubungan cinta dan kasih sayang pada sesama laki-laki. Pola seksual yang seperti inilah yang kurang dipahami masyarakat sehingga mereka menganggap bahwa Gay merupakan suatu penyakit jiwa yang perlu disembuhkan, padahal sesungguhnya bukan.
Melihat stigma sosial masyarakat yang masih tinggi, penyuaraan kaum Gay di Kota Pontianak masih belum nampak di permukaan. Hal ini mungkin dikarenakan kaum Gay yang masih terkesan menutup diri terhadap identitas seksualnya. Memang ada suatu komunitas Gay ataupun Waria di Kota Pontianak yang memang aktif dalam gerakan bidang sosial, namun hal itu tidak cukup untuk dapat menyuarakan hak-hak kaum minoritas seperti LGTB (Lesbian, Gay, Transgender and Bisexual).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar