Senin, 14 April 2014

Bocah Kecil itu Pejuang ‘Lampu Merah’



Lalu lalang kendaraan di Jalan Ahmad Yani Pontianak sore ini mengiringi langkahku menuju jalan Arteri Supadio. Sepanjang perjalanan, kemacetan panjang memang sudah menjadi konsumsi pengguna jalan di Kota Pontianak. Aku memang seorang pejalan kaki kemanapun aku pergi. Dengan berjalan kaki, kita dapat mengurangi panas yang selalu saja kita rasakan di Bumi Khatulistiwa tercinta ini.

Suasana lampu jalanan kini mulai menyala benderang sepanjang jalan, pertanda malam kini menjelang, sungguh indahnya Kota Pontianak. Ditengah padatnya jalanan nan tak kunjung berhenti, mataku sejenak memandang bocah laki-laki berumur sekitar 9 tahunan sedang duduk lesu di perempatan lampu merah yang memisahkan antara Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya. Saat lampu mulai berwarna merah, pertanda kendaraan harus berhenti. Bocah yang tidak ku ketahui namanya itu mulai menghampiri kendaraan-kendaraan yang berhenti, dia mulai menatap sang pengendara, memohon belas kasihan siapapun yang dapat mengasihaninya.
Pengemis, iya, anak itu seorang pengemis. Sungguh kasihan, anak sekecil itu harus bertaruh nyawa hidup di jalanan dan mengemis untuk mencari sesuap nasi. Kemana orang tuanya? Seharusnya dia belajar di rumah. Seharusnya dia sekolah, bukan duduk di pelantaran lampu merah dan meminta-minta. Banyak hal yang terbersit dalam benakku kala itu. Ingin aku menghampiri bocah itu, meski sekedar untuk menanyakan namanya. Namun, aku belum memiliki keberanian untuk hal itu.
Saat aku melewati perempatan lampu merah itu lagi, mataku memandang bocah itu lagi. Oh, Tuhan, bocah itu masih mengemis. Kali ini aku tidak hanya melihatnya sendiri berdiri di lampu merah itu, melainkan bersama seorang bocah perempuan yang umurnya sekitar 11 tahunan. Mungkin itu kakaknya, tapi entahlah aku juga tidak cukup tahu. Aku melihat bocah perempuan itu mengulurkan segelas plastik bekas untuk meminta rupiah kepada pengendara motor dan mobil. Tetapi aku melihat bocah laki-laki itu menangis sembari memandang ke arah pengendara untuk meminta belas kasihan. Sungguh menyedihkan. Betapa pedih hidup yang mereka jalani.
Sudah lama aku memperhatikan bocah kecil itu, bukan hanya sekali dua kali aku melewati perempatan lampu merah yang tidak jauh dari kantor Polda itu. Tetapi hampir setiap hari, dan bocah kecil itu masih saja berada disana untuk mengemis. Apa dia tidak punya tempat tinggal? Entahlah, aku juga tidak tahu. Bocah ‘pengemis’ itu hanya tampak dimalam hari saja, sedangkan di siang hari mereka tidak terlihat berada di lampu merah itu. Sendu matanya yang terpancar menggambarkan betapa getir hidup yang ia rasakan. Lantas, bagaimana peran pemerintah? Padahal mobil pejabat sering melintasi lampu merah itu, apakah mereka tidak melihat bocah kecil itu? Bocah kecil yang cukup kuat berjuang hidup di perempatan lampu merah.
Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Lalu, sudahkah bocah ‘pengemis’ itu dapatkan hak-nya di negeri ini?
Kemudian dalam Pasal 2 butir pertama Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan anak, dikatakan bahwa “Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembeng dengan wajar”. Kemudian pertanyaan yang sama, sudahkah bocah ‘pengemis’ itu dapatkan hak-nya di negeri ini?
Sebagai mahasiswa Ilmu Sosial yang peka terhadap permasalahan sosial, saya sangat miris melihat kondisi anak di bawah umur yang hidup di jalanan. Bahkan harus mengemis di perempatan lampu merah demi mendapatkan rupiah. Saya sangat berharap kepada pemerintah terkait yaitu Dinas Sosial dan Komisi Perlindungan Anak, baik Kota Pontianak maupun Kabupaten Kubu Raya agar segera menindaklanjuti hal ini. Tentu sudah menjadi harapan kita bersama untuk dapat mensejahterakan kehidupan anak bangsa.

Oleh: Nikodemus Niko
Mahasiswa Sosiologi Untan
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar