Sabtu, 12 April 2014

Brengsek itu ‘Ayah’


Oleh: Nico Ajah
“Ayah!!!”
Mataku tertuju pada sosok yang tidak asing dimataku. Dia adalah ayahku, sedang menggandeng perempuan lain yang aku ketahui itu bukanlah mama. Semenjak minggat dari rumah, ayah tak pernah lagi ada kabar. Mama pernah bilang kalau ayah memang sudah menikah lagi. Tapi apakah secepat itu? Apakah ayah sudah lupa dengan janji suci dengan mama ketika menikah dulu? Ayah kemudian pergi meninggalkan kami. Dan tepat seminggu ayah pergi dari rumah.
“Mama pasti terluka kalau mengetahui ini”

Tuhan, aku gak sanggup kalau melihat mama harus menangis lagi. Mama pasti tak akan bisa tidur nyenyak. Apalagi akhir-akhir ini aku sering mendengar mama menangis.
“Ya ampun, kenapa mereka menuju restoran ini juga”
            “Kamu kenapa sih, Nin? Dari tadi risih banget kayaknya”
            “Oh, eh. Tidak win. Aku, aku gak apa-apa”
Sahabat ku yang super duper cerewet itu ternyata mengerti ketidaknyamanan ku.
Oh, God. Kenapa mereka harus duduk di dekat meja kami. Ini benar-benar petaka.
            “Pah, mama pesen udang goreng ya”
            “Iya, ma. Mama pilih aja mau pesan yang mana”
Ayah dapat uang darimana ya? Kok bisa ngajakin perempuan Jablay itu makan di restoran. Perasaan aku, ayah tidak bekerja lagi semenjak kecelakaan motor yang membuat kaki nya pincang. Apa ayah punya uang simpanan tanpa sepengetahuan mama? Betapa jahatnya ayah pada kami. Untuk bayar kontrakan saja mama harus membanting tulang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Untuk makan sehari-hari aku dan adik ku yang bekerja. Sementara ayah lumpuh tidak berdaya di rumah.
            “Ma, anak-anak mau pesan apa?”
            “Sama kayak mama aja pa”
Anak-anak? Ya ampun, ternyata perempuan tidak tahu diri itu sudah punya anak. Kenapa ayah bisa semanis itu sih sama anak-anak yang tidak jelas asal-usulnya itu. Ayah tidak pernah bersikap seperti itu dengan aku dan adik-adikku. Bahkan adikku pernah di tampar ayah gara-gara tidak bekerja. Tapi, kali ini aku tidak menemukan sifat ayah yang ada di keluarga ku. Apa dia bukan ayah? Apa laki-laki itu hanya mirip ayah?
Rasa penasaranku semakin memuncak. Perlahan aku intip mereka di balik selembar katalog menu untuk ku menutup muka.
“Eh, apa yang kamu lakuin?”
“Aku gak apa-apa cantik”
Si gembrot masih aja sewot sama aku. Walaupun gembrot dia tetap sahabatku yang paling aku sayang.  Dia yang traktir aku makan di restoran mahal gini. Kalau nggak punya teman, aku gak bakal pernah mimpi makan di tempat mewah.
Dengan sigap aku berdiri dan menghampiri meja yang tidak jauh dari tempat ku duduk.
            “Ayah. Jadi ini kerjaan ayah? Kasi makan anak orang, sementara anak-anak ayah banting tulang bekerja untuk cari makan”
Aku marah,aku kesal, aku kecewa bersama dengan isak tangis yang tidak dapat aku bendung lagi.
            “Siapa dia pa?”
            “Eee, dia. Dia bukan siapa-siapa ma”
            “Tapi kenapa dia kenal papa?”
            “Ma, selera makan papa jadi hilang. Ayo kita pulang”
Ayah langsung pergi tanpa memperdulikan aku yang semakin terisak.
            “Ayah jahatt..... Ayah brengsekkkkkk......... Aku benci ayah... Aku benci ayahhh”
Aku menangis sejadi-jadinya tanpa memperdulikan semua orang yang ada di restoran itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar