Jumat, 31 Oktober 2014

Anak Kampong Masuk Kementerian (part 4)



Oleh: Nico Ajah
28 Oktober 2014
Hari ini, mungkin saja hari pengadilan terpanas yang aku rasakan selama ini. Itu masih dalam angan kemungkinan sih. Test LGD di hari pertama sudah membuat tubuh ini panas dingin, seperti es teh manis yang belum diminum peneyantapnya (apa hubungannya sih?). Flash back malam harinya. Hmm, aku masih merasakan hawa jika hantu itu benar-benar dekat denganku. Ah, mungkin ini firasatku saja. Tetapi, apa pun itu namanya, hantu berambut panjang itu benar-benar nyata dalam intuisi ku. Aku pejamkan mata sejenak, aku mencoba melihat dengan mata batinku, benar saja seorang perempuan berambut panjang samar-samar dalam penglihatanku. Sementara di ruang dapur, seorang suster ngesot agak malu untuk mendekati kami. Oh, God. Ini benar adanya, sembari aku membuka mata. Aku bukan seorang paranormal, atau seorang yang bisa menerawang masa lalu dalam artian indigo. Bukan, aku hanyalah manusia biasa yang meng-imani adanya Tuhan. Tapi kali ini, bayangan itu benar-benar terlihat ada. Mungkin karena hawa yang mengitari rumah ini.
Beranjak dari cerita hantu deh, aku jadi serem sendiri saat menuliskan nya. Aku dan ketiga sahabat seperjuanganku, berdiskusi atas apa yang  terjadi di hari lalu. Bang Irul dan Amin yang sudah melewati test wawancara, sedangkan aku dan Asyura sudah melewati test LGD. Bertukar pikiran, saling berbagi pendapat, sharing apa yang telah di dapatkan hari pertama. Ah, bukan hal biasa lagi si Amin malah asyik telponan. Entahlah dengan siapa, gak ada yang tahu.
Shut up, lagi-lagi aku bertemu pagi, aku tidak menyukainya. Aku lebih memilih embun (apaan sih? Ngacok). Pagi ini tidak seperti pagi kemarin, kami berangkat tepat pukul 07.00, kebetulan aku kelompok pertama wawancara hari ini, dan jadwalku jam 08.30. Tuhan, aku masih belum siap! Apapun yang terjadi, aku akan hadapi. Aku adalah urutan kedua dipanggil. Nyelonong masuk, seperti maling kebakaran jenggot.
“Permisi ibu, bapak. Selamat pagi,” kata itu yang mengawali sebelum aku duduk di bangku empuk, namun serasa bara api bagiku.
“Selamat pagi, dengan siapa?” bapak itu bertanya padaku yang sudah duduk seperti patung sedari tadi.
“Dengan Nikodemus Niko, bapak.” Aku dengan suara datar dan jujur saja nervous binggo.
“Dari mana mas Nikodemus Niko?” lagi-lagi bapak itu yang bertanya, dua orang ibu-ibu di samping kiri dan kanan nya hanya sibuk dengan laptopnya masing-masing.
“Saya dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pak.” Masih dengan suara yang tidak keruan.
Wawancara pun berlangsung hangat dan penuh canda dan tawa, sesekali ibu yang aku ketahui seorang psikolog itu berusaha memanuver pertanyaan, mencari titik lemah ku dalam menjawab. Tapi aku berusaha tidak tegang dan santai. Seluruhnya, pertanyaan yang di ajukan tentang pribadi aku. Karena aku berasal dari kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia dan aku berasal dari suku Dayak, jadi tempatku dan etnis ku ini yang menjadi pertanyaan panjang, dan diskusi yang sangat menarik.
Sayangnya, waktu berjalan dengan begitu cepat. Mungkin 30 menit atau lebih, aku merasakan kursi empuk yang aku pikir serasa duduk di bara api itu, ternyata tidak. Setelah berakhir, mereka mempersilakan aku untuk keluar. Namun sayang, aku lupa bersalaman dengan mereka. Hikz.
Aku keluar ruangan dengan penuh kelegaan hati, aku hanya berserah pada Tuhan. Apapun hasilnya kelak, aku akan terima dengan penuh lapang dada. Menanti angin menggugurkan daun hijau itu sangat tidak mungkin, tapi apapun itu aku percaya pasti mungkin bagi Tuhan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar