Sabtu, 25 Oktober 2014

Jurnalis Kampus ‘harus’ Berotak Ph.D

Oleh: Nikodemus Niko

Lajunya arus informasi global masa kini mendorong kita sebagai generasi muda untuk menjawab berbagai tantangan dalam menyaring ilmu kekinian. Bila anak muda masa kini tidak cerdik, bisa saja globalisasi menghancurkan bangsa dengan mudahnya. Terlebih peran seorang jurnalis kampus yang merupakan corong informasi bagi seluruh masyarakat kampus. Sebagai seorang jurnalis kampus, tentu saja kita harus mampu menaklukkan hal tersebut. Kita dituntut untuk mengisi otak kita dengan ilmu secara up to date. Mengutip pendapat seorang jurnalis dan News Anchor RCTI, Putra Nababan dalam tabloid mahasiswa UNM Edisi 160, dia mengatakan bahwa seorang jurnalis itu harus memiliki ilmu sebagai seorang doktor. Dimana ilmu seorang wartawan tidak boleh dibawah ilmu yang dimiliki narasumber.

Dari kutipan pendapat tersebut berarti seorang jurnalis mahasiswa memiliki tantangan tersendiri dalam mengemban tugas jurnalistiknya. Bukan hal yang baru bagi mahasiswa yang memiliki jiwa leadership. Semakin tertantang semakin seorang mahasiswa itu menggali dan terus menggali potensi dirinya, setidaknya itu hal yang saya rasakan. Pengalaman adalah guru paling berharga. Begitu pepatah lama yang pernah saya baca, sebab itu sebagai mahasiswa yang masih cukup energik, sudah seharusnya untuk mencari pengalaman itu tidak hanya sekedar duduk dan menghafal materi kuliah.
Jurnalis kampus, bagi saya itu sebutan yang cukup keren bagi seorang mahasiswa yang berkecimpung di dunia media dan jurnalistik dimana ia menempuh studi. Dimana seorang mahasiswa yang sering disebut sebagai agent of change itu benar-benar ada dalam diri seorang jurnalis kampus. Bagaimana hal itu dapat terlaksana? Dengan menulis, iya hanya dengan sebuah tulisan kita bisa menjadi agen perubahan dalam masyarakat kampus bahkan masyarakat luas. Memang, pada dasarnya seorang mahasiswa sudah pasti bisa menulis. Mungkin menulis sebuah paper tugas kuliah misalnya. Tapi, yang membedakan mereka dengan seorang jurnalis mahasiswa adalah ketepatan tulisannya. Bila menulis paper atau makalah hanya untuk memenuhi kewajiban mata kuliah semata atau value oriented. Nah, tulisan seorang jurnalis mahasiswa tentu berbeda lagi, tulisan inilah yang dituntut mengandung unsur agent of change. Bagi saya memiliki nilai tambah.
Sebenarnya realisasi seorang jurnalis mahasiswa tidak hanya terpaku dalam sebuah tulisan semata. Kita mulai belajar dari organisasi yang kecil dalam lingkup kampus untuk membentuk softskill sebelum kita tejun ke masyarakat terlebih dalam dunia kerja. Hanya segelintir mahasiswa saja yang sadar akan pentingnya masuk dalam sebuah organisasi kampus. Dengan menjadi warga kampus yang berorganisasi, secara tidak langsung kita menanamkan karakter kita sebagai mahasiswa dengan kegiatan positif. Seorang jurnalis kampus harus memiliki dedikasi positif terhadap dirinya sendiri dan organisasinya. Mengapa? Untuk menjadi agen perubahan bagi bangsa ini adalah tugas kita sebagai mahasiswa, dan diperlukan motivasi yang besar untuk mewujudkannya. Motivasi itu tentu datang dari diri kita sendiri.
Seperti yang saya ungkapkan dalam judul tulisan ini, bahwa seorang jurnalis kampus ‘harus’ berotak Ph.D itu artinya seorang jurnalis mahasiswa harus mampu mengimbangi pengetahuan narasumber yang mungkin sudah bergelar doktor. Dalam sebuah peliputan, tentu jurnalis mahasiswa tidak segan untuk mewawancarai dosen yang gelarnya doktor atau bahkan professor. Disamping itu jurnalis mahasiswa juga dituntut kritis, mampu membuat suatu wacana peliputan dan dapat melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Tentu hal ini tuntutan yang sama bagi seorang doktor, bukan? Dalam menulis berita seorang jurnalis kampus juga harus mempertimbangkan pengaruh yang diberikan sebuah berita terhadap pembaca, dalam hal ini adalah masyarakat kampus.

*Penulis adalah Demisioner Lembaga Pers Mahasiswa Mimbar Untan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar