Senin, 19 Agustus 2013

Mereka Juga Manusia


Oleh: Nikodemus Niko
Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Tanjungpura, Pontianak

Siapa Mereka?
Manusia adalah mahkluk sosial, pada hakikatnya manusia akan membentuk sebuah struktur ataupun sistem masyarakat yang akan melahirkan standar nilai maupun norma yang akan menjadi pedoman hidup. Pada kenyataannya interaksi di dalam masyarakat tidak pernah berjalan lancar tanpa adanya pertentangan. Pertentangan ini terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan setiap orang. Dari segi kebutuhan tentunya masing-masing individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Apabila kebutuhan individu tersebut bertentangan atau bahkan mengancam kebutuhan individu lainnya, dapat dipastikan akan muncul konflik antar individu untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan masing-masing.
Untuk menghindari pertentangan tersebut, dibutuhkan suatu tatanan masyarakat yang mengatur interaksi antar individu yang dinamakan norma sosial. Norma sosial lahir dari konvensi sosial untuk membantu orang berperilaku baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Perkembangan zaman yang semakin modern dan pengaruh budaya barat menyebabkan pergaulan manusia semakin tiada batas membuat banyak pelanggaran norma sosial dan penyimpangan perilaku. Salah satu bentuk penyimpangan norma asusila yang tumbuh dalam masyarakat adalah homoseksualitas.


Kapan mereka ada?
Di Indonesia homoseksual masih merupakan hal yang tabu dan sangat sulit diterima oleh masyarakat. Demikian pula di Kalimantan Barat. Budaya timur yang melekat di masyarakat membuat hal ini menjadi sebuah masalah yang besar. Berbeda dengan di negara barat, khususnya negara Belanda, masyarakatnya telah menerima keberadaan kaum homoseksual dan menghalalkan pernikahan sesama jenis. Demikian pula di Argentina, yaitu di kota Buenos Aires dan Provinsi Rio Negro. Mereka menamakan diri dengan ‘The Argentine Homosexual Community’. Kelompok ini mengajukan perluasan hak atas undang-undang yang berlaku di Negara itu pada tahun 2002, yaitu mengenai hak bagi pasangan, tanpa memperdulikan jenis kelamin atau orientasi seksualnya, menjadi sepasang pengantin yang syah di muka hukum Negara.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual yang berjenis kelamin sama secara situasional dan berkelanjutan. Menurut Ensiklopedia Indonesia, Homoseksual adalah istilah untuk menunjukkan gejala-gejala adanya dorongan seksual dan tingkah laku terhadap orang lain berjenis kelamin sama.
Homoseksual terdiri dari gay yaitu laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap laki-laki dan lesbi yaitu perempuan yang secara seksual tertarik terhadap perempuan. Perdebatan terhadap kaum homoseksual baik gay maupun lesbi membuahkan sikap negatif dari lingkungan sosial. Akan tetapi sikap negatif oleh masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay daripada kaum lesbian (Knox, 1984). Hal ini disebabkan karena keberadaan kaum gay lebih teramati dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari sehingga masyarakat semakin bersikap negatif dengan harapan mereka hilang dari kehidupan sosial (Bonan, 2003 & Pace, 2002). Keberadaan kaum gay adalah fakta. Mereka adalah sebuah realita abad 21. Kini mereka mulai berani memunculkan diri di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Orang yang membenci kaum gay biasa disebut Homophobia. Reaksi kaum Homophobia apabila bertemu gay ataupun berada di lingkungan gay adalah merasa tidak tenang, gelisah, khawatir, takut tertular “penyakit homoseksual”, merinding dan tidak sedikit yang langsung kabur dan menjauh. Namun ada juga kaum Homophobia yang sampai mengisolasi dan memprovokasi masyarakat untuk menjauhi kaum gay.
Dewasa ini, sebagian besar masyarakat masih melihat kaum gay sebagai sesuatu yang keluar dari koridor heteronormativitas. Perilaku gay bahkan dianggap sebagai penolakan terhadap takdir. Dalam kehidupan nyata, keberadaannya senantiasa disingkirkan dan dibedakan dengan heteronormativitas. Namun, pada dasarnya mereka bukanlah kaum yang harus di marginalisasikan.
Gay merupakan sebuah identitas yang dialamatkan pada seorang laki-laki yang mempunyai pola hubungan cinta, kasih sayang, dan erotisme seksual pada sesama laki-laki. Sebagian besar dari mereka masih menutupi identitas seksual yang sebenarnya, karena banyaknya konsekuensi buruk yang akan mereka terima ketika harus mengakuinya. Dengan berbagai siasat, hingga kini mereka bisa tetap mempertahankan identitas seksualnya.
Apa kata ‘Para Ahli’ tentang mereka?
Drs. Mukhlis, M.si, seorang sosiolog Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjung Pura, Pontianak mengakui bahwa tidak dapat dipungkiri di era globalisasi ini perkembangan homoseksual sangat pesat. Beliau menilai bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu penyebabnya. Fenomena gejala penyakit masyarakat, yaitu homoseksual ini menurutnya perlu penanganan dari berbagai pihak. Orang tua merupakan aktor yang paling penting dalam hal ini. Beliau juga menilai bahwa kaum homoseks ini sering mengganggu ketenangan masyarakat pada malam hari.
“homoseksual ini merupakan salah satu gejala di dunia modern yang membuka jati dirinya ke hal-hal yang baru. Tapi hal ini sudah ditunjukkan pada jaman nabi Nuh. Dari perspektif sosiologi Agama, ini menunjuk pada ciri-ciri dunia kiamat”, ungkapnya.

Pendapat hampir senada dari seorang dosen Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjung Pura Pontianak, Yulianti S.H yang mengatakan bahwa homoseksual adalah fenomena yang mau tidak mau harus ada di masyarakat. Menurutnya perkembangan homoseksual di kota pontianak belum terlalu nampak terlihat di permukaan, namun tidak dapat di pungkiri komunitas mereka memang ada. Beliau melihat perilaku seperti itu terbentuk dari pola asuh keluarga dan karena kurangnya perhatian dari orang tua. Beliau juga memandang bahwa perilaku homoseksual secara langsung memang tidak mengganggu, namun perilaku seperti ini tidak dapat di lolerir karena melanggar secara moral dan perilaku, mereka tergolong bersifat aneh bagi orang normal pada umumnya. “saya pribadi menolak”, ujarnya. Karena memang ada ciri-ciri tertentu yang menggambarkan bahwa mereka adalah homoseksual. “Dari sisi hukum, saya kira sudah jelas ‘bahwa segala perbuatan yang menyimpang itu dilarang oleh kaidah-kaidah hukum’. Cuma bagaimana agar tindakan melanggar ini tidak terjadi secara terus menerus, saya rasa tidak hanya aparat penegak hukum saja yang dilibatkan tetapi juga seluruh masyarakat. Tetapi yang paling penting adalah keluarga”, tuturnya kemudian.

Pendapat lain dari seorang dosen sosiologi pendidikan Syf. Ema Rahmaniah, MBA.Ed, menjelaskan jika dilihat dalam konteks kemanusiaan bahwa hidup adalah pilihan. Dan kaum homoseksual mempunyai pilihan tersendiri yang mungkin berbeda dengan harapan kita. Namun, mereka memiliki potensi yang luar biasa. “Saya melihat dari sisi kemanusiaan, mereka adalah masyarakat kita dan mereka adalah bangsa kita. Jika berbedapun tidak semestinya harus menghapus mereka, atau harus memarginalkan mereka. Karena isu minoritas dan mayoritas itu harus kita hapuskan ”, ungkapnya.
Beliau melihat sejauh ini kaum homoseksual tidak pernah mengganggu kehidupan masyarakat secara fisik seperti, tindakan kriminal seksual dan sebagainya. Ia juga mengatakan dalam hal ini masyarakat hanya merasakan kebisingan psikologi, aktivitas kaum homoseksual ini mungkin mengganggu kebisingan psikologis mereka. Namun, perlu di garis bawahi mengenai aktivitas ini, banyak terdapat aktivitas kemasyarakatan mereka yang bersifat positif misalnya:mereka mengadakan konser amal untuk korban bencana, mereka mengadakan suatu pelatihan dan lain-lain. Yang mengganggu itu adalah aktivitas seperti tawuran dan pergaulan bebas yang ternyata mengganggu aktivitas masyarakat. Jadi bagaimana kita saling menghormati “jika mereka meminta dihormati pilihan mereka, mereka juga harus menghormati pola kehidupan yang sudah ada disekitar masyarakat mereka. Saya rasa jika sudah seperti itu, tidak akan ada istilah mengganggu baik secara fisik maupun psikis”, ungkapnya.
Dari perspektif pendidikan beliau mengungkapkan bahwa pemahaman kita tentang peran gender perlu direkonstuksi. Gender ini tidak berorientasi kepada jenis kelamin atau seksual. Dalam hal ini bagaimana kita menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan nilai-nilai toleransi terhadap mereka yang berbeda. “Artinya kewajiban kita bersama membentuk dan menciptakan nilai-nilai character building”, tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar