Oleh: Nikodemus Niko
Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
Universitas Tanjungpura, Pontianak
Siapa Mereka?
Manusia adalah
mahkluk sosial, pada hakikatnya manusia
akan membentuk sebuah struktur ataupun sistem masyarakat yang akan melahirkan
standar nilai maupun norma yang akan menjadi pedoman hidup. Pada kenyataannya
interaksi di dalam masyarakat tidak pernah berjalan lancar tanpa adanya
pertentangan. Pertentangan ini terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan setiap
orang. Dari segi kebutuhan tentunya masing-masing individu memiliki kebutuhan
yang berbeda-beda. Apabila kebutuhan individu tersebut bertentangan atau bahkan
mengancam kebutuhan individu lainnya, dapat dipastikan akan muncul konflik
antar individu untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan masing-masing.
Untuk menghindari pertentangan tersebut,
dibutuhkan suatu tatanan masyarakat yang mengatur interaksi antar individu yang
dinamakan norma sosial. Norma sosial lahir dari konvensi sosial untuk membantu
orang berperilaku baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Perkembangan zaman yang semakin modern dan
pengaruh budaya barat menyebabkan pergaulan manusia semakin tiada batas membuat
banyak pelanggaran norma sosial dan penyimpangan perilaku. Salah satu bentuk
penyimpangan norma asusila yang tumbuh dalam masyarakat adalah homoseksualitas.
Kapan mereka ada?
Di
Indonesia homoseksual masih merupakan hal yang tabu dan sangat sulit diterima
oleh masyarakat. Demikian pula di Kalimantan Barat. Budaya timur yang melekat
di masyarakat membuat hal ini menjadi sebuah masalah yang besar. Berbeda dengan
di negara barat, khususnya negara Belanda, masyarakatnya telah menerima
keberadaan kaum homoseksual dan menghalalkan pernikahan sesama jenis. Demikian
pula di Argentina, yaitu di kota Buenos Aires dan Provinsi Rio Negro. Mereka
menamakan diri dengan ‘The Argentine Homosexual Community’. Kelompok ini
mengajukan perluasan hak atas undang-undang yang berlaku di Negara itu pada
tahun 2002, yaitu mengenai hak bagi pasangan, tanpa memperdulikan jenis kelamin
atau orientasi seksualnya, menjadi sepasang pengantin yang syah di muka hukum
Negara.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi
seksual yang berjenis kelamin sama secara situasional dan berkelanjutan.
Menurut Ensiklopedia Indonesia, Homoseksual adalah istilah untuk menunjukkan
gejala-gejala adanya dorongan seksual dan tingkah laku terhadap orang lain
berjenis kelamin sama.
Homoseksual terdiri dari gay yaitu
laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap laki-laki dan lesbi yaitu
perempuan yang secara seksual tertarik terhadap perempuan. Perdebatan terhadap
kaum homoseksual baik gay maupun lesbi membuahkan sikap negatif dari lingkungan
sosial. Akan tetapi sikap negatif oleh masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay
daripada kaum lesbian (Knox, 1984). Hal ini disebabkan karena keberadaan kaum
gay lebih teramati dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari sehingga masyarakat
semakin bersikap negatif dengan harapan mereka hilang dari kehidupan sosial
(Bonan, 2003 & Pace, 2002). Keberadaan kaum gay
adalah fakta. Mereka adalah sebuah realita abad 21. Kini mereka mulai berani
memunculkan diri di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Orang yang membenci kaum
gay biasa disebut Homophobia. Reaksi kaum Homophobia apabila
bertemu gay ataupun berada di lingkungan gay adalah merasa tidak tenang,
gelisah, khawatir, takut tertular “penyakit homoseksual”, merinding dan tidak
sedikit yang langsung kabur dan menjauh. Namun ada juga kaum Homophobia
yang sampai mengisolasi dan memprovokasi masyarakat untuk menjauhi kaum gay.
Dewasa ini,
sebagian besar masyarakat masih melihat kaum gay sebagai sesuatu yang keluar
dari koridor heteronormativitas. Perilaku gay bahkan dianggap sebagai penolakan
terhadap takdir. Dalam kehidupan nyata, keberadaannya senantiasa disingkirkan
dan dibedakan dengan heteronormativitas. Namun, pada dasarnya mereka bukanlah
kaum yang harus di marginalisasikan.
Gay merupakan
sebuah identitas yang dialamatkan pada seorang laki-laki yang mempunyai pola
hubungan cinta, kasih sayang, dan erotisme seksual pada sesama laki-laki.
Sebagian besar dari mereka masih menutupi identitas seksual yang sebenarnya,
karena banyaknya konsekuensi buruk yang akan mereka terima ketika harus
mengakuinya. Dengan berbagai siasat, hingga kini mereka bisa tetap
mempertahankan identitas seksualnya.
Apa kata ‘Para Ahli’ tentang
mereka?
Drs. Mukhlis,
M.si, seorang sosiolog Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Tanjung Pura, Pontianak mengakui bahwa tidak dapat dipungkiri di era
globalisasi ini perkembangan homoseksual sangat pesat. Beliau menilai bahwa
faktor ekonomi merupakan salah satu penyebabnya. Fenomena gejala penyakit
masyarakat, yaitu homoseksual ini menurutnya perlu penanganan dari berbagai
pihak. Orang tua merupakan aktor yang paling penting dalam hal ini. Beliau juga
menilai bahwa kaum homoseks ini sering mengganggu ketenangan masyarakat pada
malam hari.
“homoseksual ini merupakan salah
satu gejala di dunia modern yang membuka jati dirinya ke hal-hal yang baru.
Tapi hal ini sudah ditunjukkan pada jaman nabi Nuh. Dari perspektif sosiologi
Agama, ini menunjuk pada ciri-ciri dunia kiamat”, ungkapnya.
Pendapat hampir
senada dari seorang dosen Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Tanjung Pura Pontianak, Yulianti S.H yang mengatakan bahwa
homoseksual adalah fenomena yang mau tidak mau harus ada di masyarakat.
Menurutnya perkembangan homoseksual di kota pontianak belum terlalu nampak
terlihat di permukaan, namun tidak dapat di pungkiri komunitas mereka memang
ada. Beliau melihat perilaku seperti itu terbentuk dari pola asuh keluarga dan
karena kurangnya perhatian dari orang tua. Beliau juga memandang bahwa perilaku
homoseksual secara langsung memang tidak mengganggu, namun perilaku seperti ini
tidak dapat di lolerir karena melanggar secara moral dan perilaku, mereka
tergolong bersifat aneh bagi orang normal pada umumnya. “saya pribadi menolak”,
ujarnya. Karena memang ada ciri-ciri tertentu yang menggambarkan bahwa mereka
adalah homoseksual. “Dari sisi hukum, saya kira sudah jelas ‘bahwa segala
perbuatan yang menyimpang itu dilarang oleh kaidah-kaidah hukum’. Cuma
bagaimana agar tindakan melanggar ini tidak terjadi secara terus menerus, saya
rasa tidak hanya aparat penegak hukum saja yang dilibatkan tetapi juga seluruh
masyarakat. Tetapi yang paling penting adalah keluarga”, tuturnya kemudian.
Pendapat lain
dari seorang dosen sosiologi pendidikan Syf. Ema Rahmaniah, MBA.Ed, menjelaskan
jika dilihat dalam konteks kemanusiaan bahwa hidup adalah pilihan. Dan kaum
homoseksual mempunyai pilihan tersendiri yang mungkin berbeda dengan harapan
kita. Namun, mereka memiliki potensi yang luar biasa. “Saya melihat dari sisi
kemanusiaan, mereka adalah masyarakat kita dan mereka adalah bangsa kita. Jika
berbedapun tidak semestinya harus menghapus mereka, atau harus memarginalkan
mereka. Karena isu minoritas dan mayoritas itu harus kita hapuskan ”, ungkapnya.
Beliau melihat
sejauh ini kaum homoseksual tidak pernah mengganggu kehidupan masyarakat secara
fisik seperti, tindakan kriminal seksual dan sebagainya. Ia juga mengatakan
dalam hal ini masyarakat hanya merasakan kebisingan psikologi, aktivitas kaum
homoseksual ini mungkin mengganggu kebisingan psikologis mereka. Namun, perlu
di garis bawahi mengenai aktivitas ini, banyak terdapat aktivitas
kemasyarakatan mereka yang bersifat positif misalnya:mereka mengadakan konser
amal untuk korban bencana, mereka mengadakan suatu pelatihan dan lain-lain.
Yang mengganggu itu adalah aktivitas seperti tawuran dan pergaulan bebas yang
ternyata mengganggu aktivitas masyarakat. Jadi bagaimana kita saling
menghormati “jika mereka meminta dihormati pilihan mereka, mereka juga harus
menghormati pola kehidupan yang sudah ada disekitar masyarakat mereka. Saya
rasa jika sudah seperti itu, tidak akan ada istilah mengganggu baik secara
fisik maupun psikis”, ungkapnya.
Dari perspektif
pendidikan beliau mengungkapkan bahwa pemahaman kita tentang peran gender perlu
direkonstuksi. Gender ini tidak berorientasi kepada jenis kelamin atau seksual.
Dalam hal ini bagaimana kita menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan nilai-nilai
toleransi terhadap mereka yang berbeda. “Artinya kewajiban kita bersama
membentuk dan menciptakan nilai-nilai character building”, tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar