Selasa, 04 November 2014

Kado Untuk Bapak dan Ibu



Aku bingung harus memulai cerita ini dari mana. Mungkin dari keinginan ku malam itu, hingga aku beranikan diri untuk ceritakan semuanya pada bapak.
“Pak, niko sangat ingin mendaftar beasiswa lagi, untuk S2.” Begitu kira-kira kata yang berani aku ucapkan di ujung telepon.
“Sudahlah, kerja saja dulu.” Bapak hanya menanggapi begitu saja. Apakah ini berarti bapak tidak setuju jika aku mendaftar beasiswa, mungkin saja begitu. Ah, sudahlah lupakan beasiswa itu. Aku hanya ingin bekerja setelah lulus kuliah S1 ini. Aku tidak ingin menyusahkan bapak dan ibu, aku tidak ingin menjadi beban pikiran mereka. Aku semakin semangat menyelesaikan studi ku, ingin segera mewujudkan apa yang orang tuaku inginkan. Yah, aku tahu mereka punya keinginan agar aku menjadi seorang guru, pendidik anak bangsa. Aku tidak ingin menjadi seorang guru, meski aku tahu tugas guru itu sungguh mulia. Saat itu aku punya keinginan untuk bekerja di salah satu perusahaan tambang yang ada di daerah ku. Bapak dan ibu pasti setuju akan hal itu.

            Tiga bulan berlalu penuh mimpi, entahlah, yang aku rasakan waktu sangat cepat berlalu. Penuh cerita. Suka duka seorang mahasiswa tingkat akhir. Aku yakin tidak hanya aku sendiri yang merasakannya. Tetapi, terbersit dalam benakku untuk kembali melirik dan ingin mencari informasi beasiswa LPDP itu, iya, beasiswa sejak lama aku ingin mendaftar. Mencari informasi sebanyak mungkin, itu yang aku lakukan. Oh, God, aku tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bukan persoalan umur, tetapi pada saat semua orang sibuk membuat e-KTP aku sedang sibuk dengan aktifitas kampus. Pasal lain pula, KTP lama ku sudah tidak berlaku lagi. Ah, penyesalan selalu datang terlambat. Saat itu pula aku berencana pulang kampung keesokan hari nya, untuk beberapa hari membuat e-KTP.
            Sebulan setelah proses perekaman e-KTP tidak serta merta jadi dalam waktu  singkat. Karena cetak e-KTP harus dari pusat. Sebulan ini buyar, aku lelah, aku menyerah untuk bisa mendapatkan beasiswa itu, karena kartu identitas merupakan syarat utama. Tetapi, setelah itu, aku tiba-tiba berpikir bagaimana jika membuat surat identitas sementara dari kecamatan. Aku nekat untuk pulang ke kampung, bicara pada bagian administrasi kantor camat Batang Tarang. Tidak lama prosesnya, beberapa jam menunggu, surat keterangan itu sudah jadi.
            Mengumpulkan berkas-berkas pendaftaran, bukan butuh waktu singkat terus langsung jadi, tidak. Ah, mungkin ini yang namanya nekat. Aku ingin mencicipi pendidikan di jenjang yang lebih tinggi, meski aku tahu saat itu aku masih berada dalam isi kelambu, dalam tidurku, bermimpi. Aku ini hanya anak seorang petani kecil yang hidup miskin di daerah pedalaman. Daerah yang tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada sinyal hp. Ah, mungkin kalian tidak dapat membayangkan tempat dimana aku lahir dan dibesarkan. Meski menjadi anak seorang petani miskin, aku masih boleh bermimpi setinggi bintang di angkasa. Toh, mimpi itu bisa saja terwujud dengan niat tulus dan kerja keras.
            Dengan persyaratan seadanya, aku nekat mengirimkan berkas itu ke LPDP untuk mengikuti seleksi awal, seleksi administrasi. Minta tolong Echa, temanku, untuk mengantarkan aku ke kantor pos. Mungkin ini gila, mungkin ini cukup bodoh. Aku sudah tau jika akhirnya tidak akan masuk seleksi karena persyaratan dasar masih ada yang tidak lengkap yaitu KTP, yang aku lampirkan waktu hanya surat keterangan dari camat, KK dan akta lahir sebagai syarat identitas diri.
            Sekitar tiga minggu berlalu, hari-hari hanya aku lewatkan dengan menyelesaikan skripsi. Hampir terlupakan bahwa aku pernah mengirimkan berkas untuk mendaftar beasiswa. Hingga pada waktu yang telah ditentukan aku harus maju sidang, untuk mendapatkan gelar akademik. Ah, hari itu akhirnya tiba juga. 15 September 2014, hari itu kampung ku melahirkan seorang Sarjana. Iya, satu-satunya sarjana sepanjang sejarah. Aku menangis tertahan, aku tak karuan menahan malu di depan keempat dosenku kala itu. Oh, Tuhan, terima kasih atas hari indah ini. Empat tahun, aku mengarungi studi ini, penuh suka, penuh duka.
            Aku seperti nya terlalu bahagia, mungkin. Banyak hal yang aku lupakan, termasuk pengumuman beasiswa LPDP tahap administrasi. Saat aku buka email, pengumuman itu sudah mendekam dua hari yang lalu. Jika itu makanan, mungkin sudah basi. Aku ragu, takut untuk membuka atachment file yang terlampir, tapi apapun itu aku harus membuka nya. Memulai menelusuri nama demi nama. Puji Tuhan, nama ku tercantum disana, sekaligus undangan untuk tahap wawancara dan LGD di Jakarta. What? Jakarta? Aku harus dapat uang dari mana untuk menjangkau kota sejauh itu? Sempat terpikir bahwa aku tidak akan mungkin datang dalam tahap wawancara itu. Awalnya aku tak ingin memberitahu bapak dan ibu, takut jika mereka tidak setuju lagi. Dan aku juga pasti sudah tahu, jika mereka tidak mungkin memiliki uang banyak untuk membiayai ku berangkat ke jakarta. Tapi apa pun respon mereka, aku harus beritahu. Mereka harus tahu hal ini. Tidak lama setelah itu, aku dikirimkan uang untuk berangkat ke Jakarta, kota yang katanya kejam itu.
            Malam itu saat bapak dan ibu menceritakan semua nya, hingga aku tak sanggup lagi membendung air mata ini. Mereka menjual sebidang tanah untuk aku berangkat ke Jakarta, agar aku bisa meraih cita. Tiada kata yang bisa aku ucapkan selain isak tangis ini, mereka rela mengorbankan sebidang tanah itu, sementara aku tahu, kami hanya orang kampung yang miskin, tiada harta benda. Dan saat pengumuman beasiswa, namaku tercantum disana. Aku lolos seleksi untuk melanjutkan studi di Universitas Padjajaran Bandung. Puji Syukur ku untuk Tuhan, ini kado untuk kedua orang tua ku, yang sudah banyak berkorban untuk ku. Bahkan hingga detik ini. Terima kasih ayah, terima kasih ibu, semua ini karena doa kalian, dalam setiap denyut nadi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar