Rabu, 14 Oktober 2015

Sekapur Sirih "Stigma ODHA: Fenomena Pontianak"

Secarik Asa yang Hilang
Tulisan pengantar ini tidak dimuat pada lembaran halaman buku karena saya tidak mungkin sanggup mendeskripsikan ‘mereka’ secara vulgar, karena saya juga punya hati nurani. Iya, mereka adalah para ODHA yang sering saya temui saat penulisan buku ini disertai dengan penulisan tugas akhir saya, yang artinya adalah buku ini merupakan hasil edit ulang tugas akhir saya pada saat menyelesaikan studi S1. Pada saat mengerjakan tugas akhir ini saya merasakan pengalaman hidup serta tantangan yang sangat luar biasa.

Awal mula ide ini muncul ketika saya membaca sebuah berita di media online (saya lupa nama medianya) yang memberitakan bahwa masyarakat tidak tidak ada yang memperdulikan jenazah orang yang mengidap HIV dan AIDS, dan itu terjadi di Pontianak. Kemudian saya sangat menyukai kuliah yang topiknya “masalah sosial”, karena saya sendiri berada di departemen Sosiologi. Kemudian lama ketertarikan saya terhadap isu HIV dan AIDS kemudian saya fokus pada penyelesaian outline penelitian skripsi yang harus disetujui ketua Prodi. Pada saat itu saya menulis outline proposal tentang “Pola Komunikasi Gay di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa: Studi Kasus di Kota Pontianak”. Karena sebelumnya judul ini pernah saya jadikan paper dalam tugas mata kuliah Sosiologi Komunikasi. Namun, ketua prodi menolak judul itu mentah-mentah dengan alasan penelitian yang terlalu ekstrem, saya sungguh meyakinkan beliau bahwa saya mampu menyelesaikan nya, tapi saya toh tidak bisa berbuat apa-apa. Lama saya berpikir, sekitar dua minggu berlalu saya mencari ide yang berbeda dari skripsi-skripsi yang saya baca di perpustakaan kampus. Dan muncul lah ide tentang HIV dan AIDS itu, toh yang menjadi subjeknya termasuk Gay, Waria dan LSL (bisexual). Dan ide itu akhirnya diterima setelah lama ngobrol dan meyakinkan Kaprodi (waktu itu saya tidak menyebutkan bahwa kaum pelangi menjadi salah satu fokus penelitian, karena pasti akan di tolak lagi).
Saya memulai dari tidak mengerti apa-apa tentang kehidupan mereka, namun saat mengerjakan tugas akhir saya menemukan banyak sekali pelajaran hidup. Ketertarikan saya pada masalah HIV dan AIDS ini kemudian karena saya betul-betul ingin mengetahui, bagaimana sih kehidupan mereka yang sudah terlanjur terkena HIV dan AIDS. Saya yang tidak pernah mengetahui keberadaan mereka, kemudian dengan bantuan lembaga Komisi Penanggulangan AIDS saya dapat mengunjungi para pengidap HIV dan AIDS di salah satu tempat pemberdayaan, makan dan minum bersama mereka. Pada saat itu yaitu sosialisasi dan pembagian kondom bagi mereka yang sex active karena notabene-nya peserta sosialisasi ini kalangan Waria, Gay dan juga Wanita pekerja seks. Saat itulah saya diberi kesempatan untuk berdiskusi terbuka dengan mereka, setelah saya diperkenalkan oleh salah satu staf KPA. Saya yang tidak pernah mengetahui dunia malam nan penuh gemerlap di kota Pontianak, kemudian saya menelusurinya dalam penelitian ini, dan yang lebih berharga lagi selama empat tahun hidup di Pontianak saya tidak pernah mengunjungi kampung Beting yang katanya adalah kampung Narkoba terbesar di Pontianak bahkan di Kalimantan Barat, dan saya mengunjunginya dengan ikut mensosialisasikan bahaya Narkoba disana bersama staf Komisi Penanggulangan AIDS yang juga adalah senior saya di Kampus, pak Zaini. Beliau lulus pada tahun 1996 dari kampus yang sama dengan saya, dan beliau lah yang banyak membantu mengarahkan saya. Hal-hal kecil yang membuat saya lebih bersyukur lagi dalam hidup ini adalah ketika saya juga mengunjungi tempat therapi bagi para pecandu Narkoba, serta menyaksikan sendiri bagaimana mereka seperti ‘ngobat’ atau sakaw dalam therapi itu.
Mengunjungi pengidap HIV dan AIDS merupakan hal yang tidak umum, bahkan keberadaan dan identitas mereka di secret oleh lembaga KPA. Namun saya lebih senang dapat menjadi bagian dari kehidupan mereka secara langsung. Mereka tidak mengerikan kok, mereka tidak menjijikkan kok, tidak perlu stigma tidak perlu diskriminasi, toh kita sama-sama manusia hidup, bukan manusia mati. Mereka bukan penjahat yang harus dimusuhi, dan bukan pula setan yang harus dijauhi. Mereka adalah bagian dari masyarakat kita, mereka adalah saudara-saudara kita. HIV dan AIDS tidak menular kok, HIV tidak akan menular jika kita bersalaman, berpelukan, atau menggunakan gelasa dan piring bareng.
Sangat banyak hal yang membuat saya sedih, tentang cerita-cerita mereka yang mengidap HIV dan mereka yang sudah pada masa AIDS. Dan cerita-cerita dari Ibu kepala KPA yang sangat ramah dan baik hatinya, cerita-cerita staf yang menangani Pecandu Narkoba, cerita dari staf yang menangani kasus pada Gay, Waria dan LSL dan cerita dari staf yang menangani kasus pada Wanita pekerja seks. Semua saya rekam dan saya memilih untuk tidak menceritakannya ke dalam buku ini. Saya sudah berjanji kepada ibu ketua KPA Pontianak untuk menceritakan apa yang saya temukan hanya dalam batas wajar dan batas penelitian saja. Bagi saya mempelajari kehidupan ODHA dengan masuk dalam dunia mereka secara langsung bukan pekerjaan yang mudah, bahkan diri saya sendiri yang menerima stigma-stigma itu dari pihak luar yang mengetahui. Saya masuk dalam dunia Penasun, saya di-stigma sebagai pecandu narkoba juga. Saya masuk dalam dunia waria, saya juga disebut sebagai banci. Dan lagi saya masuk dalam dunia Gay, saya disebut Gay. Saya tidak tersinggung dengan yang saya terima saat itu. Yah, cukup hanya saya dan Tuhan saja lah yang tahu, tidak perlu ada stigma atau pun label untuk manusia mana pun. Toh, yang memberi stigma belum tentu hidupnya lebih baik.

Sampul Buku "Stigma ODHA: Fenomena Pontianak"


Stigma ODHA: Dari Skripsi ke Buku
Suatu ketika saya ditanya oleh salah satu teman saya di kampus, “Niko, aku ingin mendapatkan skripsi kamu, tetapi di perpustakaan kampus sudah tidak ada. Apakah kamu punya file-nya? Bisa nggak dikirimin ke aku?”
Pertanyaan demi pertanyaan yang bertubi-tubi itu membuat saya lemah. Kenapa bisa hilang ya, apa jangan-jangan sudah tidak berguna lagi sehingga harus di susun di gudang, atau ini dan itu. Sangat banyak hal yang kemudian timbul di kepala saya. Sebegitu cepatnya informasi itu hilang ditelan waktu, saya tidak ingin itu terjadi. Apa yang saya temukan tidak boleh hilang, apa yang saya tulis tidak boleh saya pendam sendiri tanpa diketahui orang banyak. Karena bagi saya informasi tentang stigma kepada ODHA ini sangat langka ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
kemudian timbul ide untuk menjadikannya sebuah buku, namun penerbitnya mensyaratkan bahwa tulisannya harus di editing habis-habisan. Saya pun menyetujui nya. Hingga terbit lah karya sederhana yang berjudul “MENGUAK STIGMA ODHA: Fenomena Pontianak”. Buku ini di publikasikan untuk umum, terutama bagi yang sangat menyukai isu sosial. “Bagi saya cerita tentang mereka tidak akan pernah habis”.  Buku ini dapat dipesan melalui email: nicoeman7@gmail.com atau melaui SMS di 089648671758. Dengan format pemesanan: Nama, Alamat lengkap, dan jumlah pemesanan buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar