Sabtu, 05 September 2015

Dear September: Kelabu


Photo: Nikodemus Niko (pribadi)


Dari sini aku menatapnya lekat. Tidak jauh, kira-kira sepuluh langkah jaraknya. Sejenak aku menemukan sesuatu yang hilang yang kemudian aku temukan kembali. Kamu tahu apa itu? Senyummu. Iya senyummu yang kulihat ada pada dirinya. Dia yang tidak terlalu lama kukenal. Senyumnya, serupa senyummu tapi aku tahu itu berbeda. Senyummu takkan pernah tergantikan oleh senyum mana pun juga, percayalah. Aku takut untuk menatapnya lekat, takut jika aku kemudian terlarut dalam senyum yang bukan milikmu itu.

Sembari menikmati secangkir kopi hitam ini, sesekali aku menoleh ke arahnya yang sedang menyulut sebatang rokok. Dia sambil fokus mendengarkan seorang teman perempuannya bercerita. Entah apa yang sedang kalian bicarakan, seolah hanya bisik-bisik yang tak dapat tertangkap oleh gendang telingaku. Kemudian sesekali dia juga menatap ke arahku, aku menyadarinya ketika ekor matanya mengerling ke arahku. Ah, mungkin saja ini memang suatu kebetulan, atau diriku yang sedini ini terkesan pada senyum, yang karena miri senyummu. Senyum yang dahulu dan akhir-akhir ini pernah membuatku menangis karena pengabaiannya. Dan kini kutemukan kembali dalam kamu yang tidak sama.
Tidak. Aku tidak semudah ini untuk memulai kepada hati yang baru. Biarkan saja hati ini berkelana sesuka hatinya. Menghadapi kisahku dengan air mata, bersama kelupaan yang masih berasa hingga detik ini. Iya, kau melupakanku secepat ini. Justru diriku yang tak ingin secepat ini untuk menemukan penghapus linangan air mata yang masih aku nikmati kehadirannya.

Teruntuk Cinta yang Masih Tearabaikan

Kuteteskan lagi air mata ini, untukmu, untuk cinta yang terabaikan hingga detik ini. Kurenungi kisah cinta yang dahulu tak tersampaikan, aku: dengan tangis yang begitu sendu. Sudahlah cukup aku merekayasa hati ini. Cukup aku merasakan bahagia yang penuh kebohongan, aku terluka. Iya aku benar-benar terluka saat kau mengabaikanku, mengabaikan cintaku. Mata ini yang menjadi saksi bersama buliran air bening yang tertumpah.
Tak cukupkah engkau tahu jika aku hanya sendiri menanti jawabmu. Berharap ku kan temukan jawaban berbeda dari sembilan bulan yang lalu. Yah, harapku memang tak seindah yang terjadi: kau masih menyimpan jawaban yang sama tempo hati. Hingga waktu mampu menopangku untuk sebuah jawaban yang kuketahui adalah tidak. Percayalah, aku tidak merasakan perih atau sakit seperti yang orang lain pikirkan. Aku bahagia kok, setidaknya aku mengetahui bahwa sudah ada dia yang akan men-selamatpagi-kan kamu kala matahari mulai tiba, meng-sweetdream-kan kamu ketika malam sudah larut dalam pangkuan rembulan. Itu cukup untuk menjadi alasanku tersenyum tanpa merasakan sakit.
Sulit pada awalnya untukku menerima ini, tapi aku bisa apa? Hanya menangisi kebodohan yang dari awal aku ciptakan sendiri. Kini aku hanya bersama air mata, bersama cinta yang terabaikan. Sungguh aku tidak pernah menyesal mencintaimu, aku tak akan pernah mencoba menghapus kenangan tentangmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar