Rabu, 14 Oktober 2015

Opini: Fenomena Hot Issues di Indonesia

Asap: Musuh Siapa? Rakyat-Negara
Tiga anak SD dari Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat turut diundang dalam acara show Hitam Putih, di salah satu stasiun tv nasional saat darurat asap di Kalimantan, dengan tagline acara “Melawan Asap”. Disatu sisi saya pribadi merasa bangga dengan kehadiran tiga bocah cilik yang berasal dari Kabupaten daerah asal saya itu. Mereka layak mendapatkan apresiasi. Namun sayang sekali tidak menghadirkan anak-anak yang berasal dari Riau, karena asap parah juga melanda di wilayah Sumatera sana, sangat disayangkan.
Terlepas dari itu, masalah asap yang kian parah di Kalimantan sudah menjadi konsumsi tahunan bagi masyarakat setiap menjelang musim kemarau. Mengapa kehebohan itu memuncak di tahun 2015 ini? Setiap siang dan malam masyarakat menghirup udara tidak sehat, beraktifitas bahkan saat tidur pun menghirup asap. Berbagai macam solusi tentu sudah diluncurkan pemerintah dan presiden, namun apa nyata nya: Menko Polhukam menyatakan bahwa “bencana asap tidak perlu dijadikan bencana nasional”, kemudian ditambah lagi pernyataan Menteri Kesehatan yang menyatakan bahwa “asap belum berbahaya dan maskernya cukup biasa saja, toh ini belum bencana luar biasa”. Dimanakah mata para petinggi negeri ini? Bagaimana bisa pernyataan sekelas menteri dapat menyakitkan hati rakyatnya yang sedang di rundung duka. Iya, ibu pertiwi sedang menangis pilu saat ini, tetapi bisa-bisanya lagi pernyataan sekelas menteri justru ingin merobek-robek hati rakyat kecil.
Sudah banyak korban berjatuhan dalam bencana ini, lalu mengapa hal ini di anggap bencana biasa saja. Data yang dihimpun Kemenkes RI mencatat sebanyak 69.000 orang penderita ISPA di Jambi, 74.589 orang penderita ISPA di Sumsel, 43.477 orang penderita ISPA di Kalbar, 29.104 orang penderita ISPA di Kalsel, 44.960 orang penderita ISPA di Riau dan 35.709 orang penderita ISPA di Kalteng, data ini dicatat per 4 Oktober 2015 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia). Masih kurangkah jumlah penderita sehingga bencana ini masih dianggap biasa dan tidak perlu dijadikan bencana nasional.


Kemiskinan: Bencana Berkepanjangan
Masalah asap menahun ini bukan sekedar lahan/hutan yang terbakar, melainkan masalah lahan sawit yang kian meluas dan melibas petani-petani kecil. Sehingga mereka-lah yang kemudian di kambing hitamkan—muncul berita di media bahwa petani kecil yang membakar lahan/ladang di sanksi hukum—mereka hanya mencari penghidupan, mencari makan, bukan kesenangan dan harta berlimpah. Mengapa hukum kemudian seolah-olah “keceng” sebelah terhadap rakyat kecil. Jika mereka tidak miskin, mereka tidak akan berladang, mereka tidak perlu membakar ladang nya untuk ditanami padi kemudian menjadi sumber hidup mereka. Salahkah dimata hukum? Bahkan tiada hukum tempat berlindung bagi rakyat kecil.
Selain perusahaan sawit juga pembukaan lahan tambang yang kian tidak terkontrol. Dimana peran pemerintah? Bahkan tangan-tangan mereka yang tertanda dalam ikatan kontrak yang tidak dapat di ganggu gugat oleh rakyat kecil. Justru kemudian muncul spekulasi bahwa Korporasi tidak dapat dipidanakan. Ya iya lah, wong korporasi terlindungi oleh Perda yang anda-anda buat dan bubuhi tanda tangan bermaterai. Baik lah korporasi tidak dapat dipidanakan, tapi korporasi dapat di gugat dengan hukum perdata, usut tuntas dalang (otak) dari sumber masalah ini, beri sanksi pihak perusahaan yang nakal. Tapi kok seolah-olah tindakan ‘salah’ itu dipayungi Perda yang kuat sehingga pemerintah tidak berkutik, dan masyarakat pun awam tidak mengetahui.
Menghirup udara segar adalah hak asasi bagi setiap warga masyarakat. Hal ini berarti udara segar juga hak bagi rakyat di Sumatera dan Kalimantan yang kini sulit memandang matahari, karena tebalnya asap. Dengan adanya masalah asap ini, secara sadar bahwa sebagian Hak Asasi rakyat di-cut oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Mengapa aparat pemerintah terlihat tidak berdaya dalam menangani masalah ini? Malah terlihat berpidato manis di depan media televisi. Pidato tidak akan menyelesaikan persoalan, jangan menunggu rakyat semakin banyak menjadi korban.
Isu kemiskinan sudah sejak lama seolah tidak ada jalan keluarnya. Di Indonesia masalah akut ini mengancam masyarakat kecil di pedesaan dan di perkotaan, beberapa bulan lalu BPS (Badan Pusat Statistik) mengumumkan bahwa terjadi kenaikan penduduk miskin per Maret 2015 yaitu sebanyak 17,94 juta orang penduduk miskin di pedesaan dan 10,67 juta orang penduduk miskin di perkotaan. Dengan demikian penduduk miskin berjumlah 28,59 juta orang. Pertambahan jumlah penduduk miskin paling banyak terjadi di wilayah pedesaan. Jumlah penduduk miskin bertambah 86.000 orang dalam kurun waktu enam bulan sejak september 2014 yang berjumlah sebanyak 27,73 juta orang penduduk miskin. Isu kemiskinan ini tenggelam dan luput dari perhatian publik, karena fokus pada isu bencana asap yang melanda hingga ke Negara Singapuran dan Malaysia.
Hal ini luput dari pemberitaan media, karena yang paling ke-kini-an lah yang akan ditampilkan untuk mengejar rating. Bencana asap yang juga melanda daerah pedesaan—dimana banyak penduduk miskin—di Sumatera dan Kalimantan adalah bentuk penindasan yang terjadi pada rakyat kecil dan miskin. Sudah selayaknya negara membantu penderitaan rakyat kecil, justru berhembus kabar bahwa masyarakat Kalimantan Tengah meminta bantuan masker N95 agar tidak terpapar penyakit ISPA. Lalu dimana negara? Tidak adakah anggaran negara untuk korban bencana ini, sehingga negara tetangga yang menjadi ‘pengulur tangan’. Jika masyarakat tidak miskin, mereka akan bisa membeli ‘MASKER’ untuk melindungi diri dan keluarga mereka. Akar utamanya adalah kemiskinan. Yang bertanggung jawab atas kemiskinan mereka adalah seluruh penyelenggara Negara (DPR/MPR, Presiden, Pemerintah, Lembaga Penegak Hukum). Adakah pidato para penyelenggara negara untuk ‘MEMINTA MAAF’ kepada rakyat atas bencana di Kalimantan dan Riau? Karena mereka lah yang mebiarkan perusahaan dan korporasi asing menjamur di Sulawesi dan Kalimantan.


Tragedi Berdarah “Singkil”
Baru-baru ini berhembus kabar di media tanah air tentang tragedi “Singkil”, yaitu tragedi pembakaran Gereja di salah satu kota kecil di Aceh. Mengapa isu ini memuncak, karena meng-atasnama-kan agama. Isu SARA di Indonesia sangat alot untuk diperbincangkan pun diperdebatkan. Tidak lama isu Tolikara, Papua yang mulai meredam kembali muncul di permukaan (lagi). Sehingga menuntut banyak pihak untuk angkat bicara, termasuk presiden dan jajaran pemerintah. Dan melupakan sejenak akan isu kemiskinan, melupakan sejenak akan isu asap.
Isu konflik ini akan terus berkembang dan melebar jika tidak segera di redam. Isu SARA di Indonesia ibarat sepercik bensin yang akan selalu di kejar oleh api. Jika semakin banyak bensin yang ditebar, maka api akan semakin menjalar. Karena itu lah seluruh mata media kemudian beralih pada isu hangat ini, yang kemudian isu bencana asap mulai redup dan semakin dingin dan basi untuk diperbincangkan, yang menjadi kompornya adalah media. Semakin bertumbuh media di jejaring media sosial, sehingga masyarakat pun dengan mudah menerima tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam tragedi “Singkil” semua lapisan mengecam para pelaku yang mengatasnamakan agama. Ajaran agama mana pun, bentuk kekerasan dan pendindasan tidak dibenarkan meski dengan alasan apa pun. Dimana negara saat hal ini terjadi? Bukan kah tragedi ini melukai falsafah pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa, serta Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Jangan malah membawa isu “Bela Negara”, saat rakyat minoritas butuh perlindungan dimanakah negara? Adakah jaminan keamanan bagi mereka!

Lenyap sudah perhatian sebagian masyarakat Indonesia terhadap bencana asap. Terfokus pada isu SARA yang ada, menghujat, menghakimi seolah-olah mereka berada di tempat kejadian perkara. Musim hujan pun telah tiba, asap sudah mulai mereda. Kemungkinan sebagian besar masyarakat di Kalimantan sudah beraktivitas seperti biasa (tanpa asap lagi). Mereka juga ikut menyaksikan huru hara dalam tragedi “Singkil”, dan melupakan tragedi yang sesungguhnya ada di Bumi Kalimantan—Bencana Asap. Betapa peran media sangat besar dalam hal ini, bencana besar begitu cepat terlupakan—tentu menimbulkan luka yang teramat dalam bagi Kalimantan dan Sulawesi—karena jika tidak ada penanggulangan lebih lanjut, hal serupa akan terjadi lagi di tahun 2016 mendatang, bahkan bisa lebih parah. Saya yakin pasti sangat banyak LSM atau organisasi yang terus berupaya dan peduli mencari solusi terhadap masalah isu yang ada di negeri ini.


Oleh: Nikodemus Niko
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar