Rabu, 28 Oktober 2015

Anak Muda Masa Kini: Refleksi Hari Sumpah Pemuda


28 Oktober, setiap tahun di gaungkan sebagai hari sumpah pemuda. Saat dimana pemuda Indonesia bersatu dalam ikatan kepemudaan untuk mempertahankan nusa dan bangsa. Hari ini diwariskan kepada pemuda-pemudi Indonesia untuk tetap berjuang, untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan yang dideklarasikan, bertanah air satu, berbahasa satu, berbangsa satu yakni INDONESIA sebagai harga mati.
Hari bersejarah ini selalu dan tetap menimbulkan sejarah-sejarah baru di setiap tahunnya. Entah para pemuda yang haus akan sejarah cetakan baru atau bagaimana, sehingga sejarah yang sesungguhnya sulit diketahui kebenarannya. Hari sumpah pemuda yang seharusnya dimaknai dengan penyadaran-penyadaran kepemudaan masa kini, malah justeru berakhir dengan ricuh. Bahkan pengrusakan-pengrusakan dan atau baku hantam dengan aparat keamanan. Anehnya lagi kejadian seperti ini menjadi berita terhangat atau berita terkini di media-media, yang dapat di akses oleh siapa saja. Lalu apa makna hari ‘kepemudaan’ yang dapat dipetik dari berita seperti itu?

Dan lagi, hari pemuda ini bahkan dijadikan momen untuk menilai kepemerintahan Presiden Jokowi-JK. Apakah kita sudah menilai diri kita sendiri terlebih dahulu sebagai pemuda atau generasi penerus bangsa ini? Jika ingin mengkritik, kritik lah diri sendiri terlebih dahulu. Jika ingin mengkritik arah kepemimpinan presiden, apakah sudah mempunyai manuver-manuver solusi? Karena mengkritik tanpa solusi hanya akan menjadi nyanyian mati.
Saya tidak menyalahkan adanya kritik, karena itu sangat penting bagi keterbukaan dan setiap kita bebas berpendapat. Tetapi akan lebih bijak lagi jika arah kritik yang dimaksud memiliki solusi berarti yang dapat menjadi sebuah terobosan. Jangan sampai kritikan yang terlontar kemudian berisi kebencian-kebencian yang tidak tentu arah. Karena untuk mengobarkan api itu hanya cukup curahkan bensin saja, tetapi untuk memadamkannya, air satu ember pun belum tentu cukup. Artinya adalah mengobarkan kebencian itu sangat mudah, namun untuk memadamkannya sungguh sulit.

Refleksi Pemuda Hari Ini: 2015
Ketika saya pergi ke kampus dengan menggunakan tas perempuan, saya diketawain dan saya dikatain seperti ‘banci’. Ketika saya berpose dengan mengenakan pakaian muslim dan mengenakan kopiah di kepala, saya di katain masuk islam, yang mana saya diketahui bukan beragama islam. Ketika saya naik sebuah kereta lokal jurusan Jogja-Solo, saya berkata “wooww”, kepada seorang teman saya. Karena saat itu yang saya lihat adalah anak-anak muda dengan gadget di tangan masing-masing.
Pengalaman saya diatas sangat tidaklah sesuai standard jika menjadi suatu refleksi untuk pemuda-pemudi masa kini, maksud saya adalah sebagian pemuda-pemudi (baik sebagian besar ataupun sebagian kecil). Dari pengalaman saya menggunakan tas perempuan, mengapa masih saja ada manusia yang masih saja mencari pembenaran atas nama gender. Persoalan saya dikatakan laki-laki atau perempuan, atau banci itu persoalan nomor dua, yang utama adalah mengapa masih banyak diantara kita yang bersikap ‘menyalahkan’ atas nama ‘pembenaran’, maksudnya adalah saya salah dan anda lah yang benar. Begini kah mental pemuda kita kini, dengan ego tinggi dan selalu ingin dianggap benar.
Kedua, saya sempat kaget ketika foto saya yang berpose mengenakan pakaian muslim dengan ucapan ‘Selamat Hari Raya Lebaran’ di bawahnya, sungguh dikomentari negative. Saya dikatakan masuk islam, dan sindiran-sindiran halus yang mengungkapkan bahwa seorang bukan muslim tidak pantas mengenakan pakaian muslim. Dan mereka yang memberi komentar adalah pemuda yang berasal dari kaum intelektual. Ah, apa jadinya Indonesia ku kelak jika hari ini saja sudah terdapat pemecahan-pemecahan halus antar setiap golongan-golongan tertentu.
Ketiga, saat saya di dalam kereta lokal yang mana setiap orang (pemuda-pemudi) mempertontonkan bahwa they’re gadget addict. Tidak ada tegur sapa, tidak ada interaksi yang berarti selama satu jam perjalanan dari Jogja ke Solo. Ah, tidak hanya mereka bahwa fakta nya saya adalah bagian dari mereka. Yang ada hanya lah orang-orang cuek, berasal dari Indonesia bukan Amerika atau China. Penyakit cuek yang semakin akut di negeri ini sangat perlu menjadi perhatian serius kita bersama.
Kemudian, banyak pemuda-pemudi menyerukan dalam demostrasi atau suatu aksi bahwa “pemerintah Indonesia adalah antek-antek Amerika, atau mereka adalah kaum kapitalis”. Lha, itu lihat dulu gadget yang ada di kantong anda: buatan mana? Anda cuek saja sama diri sendiri.

Semoga Hari Sumpah Pemuda, hari yang sungguh bermakna bagi kita kaum muda di negeri ini dapat menyadarkan diri kita semua bahwa negara ini butuh tangan-tangan kita, bahwa negeri ini menaruh tanggung jawab masa depan ke masing-masing pundak kita sebagai generasi penerus. Jika yang diharapkan adalah seperti keadaan hari ini, maka seperti ini lah Indonesia di masa yang akan datang, dengan ke-cuek-an pemuda-pemudi nya. Mari memulai dari diri kita sendiri, untuk tidak cuek terhadap lingkungan sosial kita, tidak cuek dengan lingkungan alam kita, serta tidak cuek dengan lingkungan psikologi kita dengan yang Maha Pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar