Sabtu, 01 April 2017

Kemiskinan Perempuan di Perbatasan Indonesia-Malaysia


Tulisan ini tentang kemiskinan perempuan di wilayah perbatasan. Kemiskinan di Indonesia sudah menjadi isu yang berkepanjangan, dimulai semenjak masa penjajahan kolonial Belanda hingga masa teknologi modern kini. Penanganan berarti belum terlihat berdampak pada pengurangan kemiskinan, baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional. Demikian pula di Kalimantan Barat yang merupakan wilayah strategis persinggahan antar negara seperti Malaysia dan Brunei Darusalam. Kemiskinan di Kalimantan Barat menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 401,51 ribu orang yang hidup dibawah garis kemiskinan (BPS, 2014), dimana jumlah kemiskinan lebih banyak dijumpai di wilayah pedesaan.


Isu perempuan erat kaitannya dengan isu kemiskinan. Perempuan yang mendiami wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia tidak lepas dari kondisi kehidupan yang miskin dan serba terbatas. Tidak terkecuali kondisi kehidupan perempuan di wilayah perbatasan negara yang merupakan masih pedesaan-pedesaan yang terpencil dan terisolasi. Mereka hidup menyatu dengan alam dan menjadikan alam sebagai sumber penghidupan.

Perempuan Dayak Benawan dan Pekerjaannya (Dokumentasi Pribadi)

Pembangunan di wilayah perbatasan selama ini pun, lebih menekankan kepada pembangunan ekonomi dan kurang memperhatikan pembangunan manusianya. Sehingga masyarakat lokal yang berada di kawasan perbatasan tetap menjadi penonton tidak terlibat aktif dan representatif dalam proses implementasi pembangunan (Rahmaniah, 2014:74). Sebagai akibatnya masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan masih tetap dalam keadaan miskin dan tetap terpinggirkan. Hal ini dikarenakan pendidikan dan skill yang minim dimiliki masyarakat lokal.

Keterbatasan-keterbatasan tidak hanya melulu persoalan ekonomi semata, melainkan terdapat persoalan yang sudah multidimensional. Bahkan persoalan kemiskinan yang dihadapi perempuan di perbatasan bukan hanya kemiskinan kultural dan struktural saja, tetapi juga menyangkut kemiskinan multidimensi. Dalam konteks ini posisi perempuan sangat rentan untuk mengalami kemiskinan multidimensi, dimana terdapat indikator-indikator seperti; dimensi sosial, pendidikan, kesehatan dan standar kualitas hidup.

Data kemiskinan multidimensional di Kalimantan Barat pada tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 2.060.569 orang berada pada garis kemiskinan, dari jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 4,40 juta orang. Hal ini berarti sebanyak 40,2% penduduk di Kalimantan Barat masih hidup dibawah garis kemiskinan, dimana sebaran penduduk miskin paling banyak di wilayah pedesaan, yaitu sebanyak 1.726.992 orang, selebihnya berada di wilayah perkotaan (Budiantoro, et.al., 2015).

Kemiskinan merupakan suatu permasalahan pokok pada masyarakat perbatasan. Hal ini merupakan sebagai akibat dari rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang ada. Data monografi pemerintah Kecamatan Jagoi Babang mencatat bahwa sebanyak 1.537 KK (kepala keluarga) hidup di garis kemiskinan dari jumlah total 1.679 KK di Jagoi Babang. Sebagai sebuah permasalahan sosial, kemiskinan tentu membawa dampak yang lebih luas terlebih bagi perempuan di perbatasan. Tidak jarang mereka mengalami eksploitasi di sektor domestik bahkan menjadi korban perdagangan orang di Malaysia. Melihat kenyataan ini, penulis tertarik untuk menelusuri lebih dalam tentang kehidupan perempuan di perbatasan yang sangat friendly dengan kemiskinan dan eksploitasi.

Dalam perkembangan masyarakat masa kini, isu kemiskinan tidak dapat terpisahkan dari isu perempuan terutama perempuan yang hidup di wilayah pedesaan. Kemiskinan merupakan alat penindasan utama atas ketidakberdayaan perempuan pedesaan. Mereka memiliki pendidikan yang rendah, serta kemampuan bersaing yang sangat terbatas. Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pun masih sangat terbatas oleh dimensi-dimensi yang menindas mereka, seperti dimensi ekonomi, politik dan budaya.

Ketika suatu kemiskinan sudah dianggap sebuah budaya ‘miskin’ pada masyarakat pedesaan, tidak terlihat lagi dimana ketimpangan dan ketidakadilan itu. Padahal tampak jelas ketimpangan dan ketidakadilan itu menimpa hampir seluruh perempuan yang hidup di pedesaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik adanya pengelompokan disposisi yang berlainan dari kegiatan produksi atau kapitalisme itu terdapat kekuasaan yang beroperasi melalui pengembangan prasangka kultural yang dikembangkan oleh pihak luar. Dengan demikian budaya kemiskinan diperkenalkan kepada seluruh anggota masyarakat tersebut, sehingga mereka tidak menyadari terdapat sistem struktural yang dengan sengaja memiskinkan mereka.

Sebuah keluarga miskin di pedesaan acapkali mampu hidup dengan keterbatasan, mereka melakukan survive, baik dalam bentuk uang maupun makanan seadanya. Perempuan-perempuan ikut menjadi tulang punggung keluarga mereka. Namun pada umumnya sebuah keluarga yang jatuh pada lingkaran kemiskinan sangat sulit untuk bangkit kembali, kecuali apabila memiliki jaringan atau pun pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan mereka. Dan kondisi ini tidak terlepas dari kondisi struktural yang selama ini membelenggu mereka untuk tetap berada dalam garis kemiskinan. Sehingga perempuan-perempuan ikut menanggung kemiskinan yang membelenggu keluarga mereka.
Salah satu indikator penyumbang dampak kemiskinan pada perempuan pedesaan adalah pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan suatu indikator penting untuk menjadi social modal bagi perempuan dalam upaya mencapai taraf hidup yang lebih baik. Namun faktanya tingkat pendidikan penduduk di perbatasan Jagoi masih dalam katogori rendah. Dampak dari rendahnya pendidikan ini yaitu kurangnya pengetahuan serta skill mereka untuk dapat menciptakan suasana hidup yang lebih baik.

Kemiskinan sudah mendarah daging dengan kehidupan perempuan di perbatasan, oleh karenanya tidak jarang mereka mendapatkan perlakuan-perlakuan eksploitasi seperti menjadi TKW ilegal, eksploitasi di sektor tenaga kerja, bahkan menjadi korban kekerasan seksual. Negara masih belum hadir di tengah-tengah kehidupan mereka yang notabene-nya masih terisolasi. Mengapa mereka seolah terkurung dan berkutat dengan kemiskinan yang berkepanjangan? Tidak lain karena kondisi struktural yang memiskinkan mereka, disamping itu posisi tawar perempuan desa yang tidak memiliki pendidikan tinggi enggan dilirik untuk masuk dalam sektor politik. Faktor pembangunan yang tidak berperspektif gender juga ikut menjadi penyumbang penyebab kemiskinan perempuan di pedesaan.

Negeri ini belum sejahtera, kemiskinan masih melilit kuat dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Goodin (1999) mengungkapkan alasan-alasan mengapa suatu pemerintahan memiliki sistem negara kesejahteraan: pertama, untuk mempromosikan efisiensi ekonomi; kedua, untuk mengurangi kemiskinan; ketiga, mempromosikan kesamaan sosial (social equality); keempat, mempromosikan integritas sosial atau menghindari eksklusi sosial; kelima, mempromosikan stabilitas sosial; dan keenam, mempromosikan otonomi atau kemandirian individu (Kurniawan, 2015:61). Dalam hal ini penulis melihat bahwa sistem kebijakan yang berbasis negara kesejahteraan (welfare state) masih belum dapat terpenuhi bagi penduduk pedesaan di Indonesia, terutama mereka yang bermukim di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.

Daftar Bacaan:
Budiantoro, Setyo. et.al. 2014. Indeks Kemiskinan Multidimensi Indonesia 2012-2014. Jakarta: Prakarsa.
Kurniawan, Luthfi J. 2015. Negara Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial. Malang: Intrans Publishing.

Rahmaniah, Syarifah Ema. 2014. Model Pembangunan Perbatasan Berbasis Kearifan Lokal. Pontianak: STAIN Press.

*Penulis: Nikodemus Niko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar