Kamis, 17 Desember 2015

Sebait Cerita Dari Jeramun Ampa’k—Sekolah yang Tak di Rindukan


*Nikodemus Niko
Jeramun Ampa’k adalah nama sebuah kampung di pedalaman Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Terisolir, adalah kesan pertama ketika siapa saja yang memasuki wilayah perkampungan tersebut. Terletak di Desa Pakeng, Kecamatan Balai. Namun lokasinya sangat jauh dari pusat pedesaan, lebih tepatnya kampung ini terletak diantara hutan belantara. Belum ada jalan raya, hanya terdapat jalan setapak yang penuh lumpur tanah dan lubang. Jangankan dilewati mobil, jika ada sepeda motor yang lewat saja bisa-bisa di dorong di tengah jalan.
Kampung Jeramun Ampa’k terletak tidak jauh dari kampungku, Kampung Pejalu. Hanya sekitar 45 menit saja jika berjalan kaki melewati hutan. Sehingga kehidupan masyarakat disana pun tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat di kampungku, tidak ada akses listrik, tidak ada jaringan handphone dan tidak ada akses pendidikan. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, bahwa belum ada satu pun yang dapat menamatkan sekolah di bangku SMA dari kampung itu. Hal ini berarti sekolah paling tinggi hingga jenjang SMP, itu pun orangnya dapat dihitung dengan jari.

Anak-anak tumbuh di daerah perkampungan yang jauh dari interaksi dengan orang-orang di luar mereka, perempuan-perempuan paruh baya menghabiskan waktu mereka di sawah dan ladang yang terletah di pinggir-pinggir belantara hutan. Para laki-laki paruh baya pun sama, hanya saja sesekali mereka dapat berinteraksi dengan kampung luar mereka kala mereka hendak berbelanja kebutuhan rumah tangga, itu pun dalam intensitas yang kecil hanya mungkin dua kali dalam sebulan.
Dimana mereka mendapatkan akses pendidikan? Ada Sekolah Dasar (SD) di dusun manang, sekitar 20 menit mereka berjalan kaki dari kampung. Ada sekitar lebih dari 20 anak yang bersekolah disana (dulunya), anak-anak itu sangat bersemangat untuk datang ke sekolah meski tanpa menggunakan sepatu, dan bahkan ada yang tidak mengenakan seragam sekolah. Tetapi guru nya sangat sering tidak masuk, biasanya hanya dua kali dalam seminggu itu pun paling hanya memberikan tiga jam pelajaran. Guru yang mengajar di sekolah itu hanya dua orang saja, itu pun mereka berasal dari kota kecamatan sehingga untuk menuju sekolah memakan waktu di jalan sekitar satu jam lebih, sehingga kegiatan belajar mengajar di sekolah ini sangat tidak efektif.
Uniknya lagi di sekolah ini tidak ada murid kelas 4, 5, dan 6, karena setiap mereka akan naik ke kelas 4, mereka akan di pindahkan ke SD lain karena tidak ada guru yang mengajar. Kemudian banyak anak yang pindah ke sekolah lain meski mereka harus menempuh jarak yang sangat jauh, seperti di SDN mungguk tawak yang jarak tempuhnya hampir 45 menit. Itu karena semangat mereka yang sangat patut di apresiasi.
Tetapi pendidikan mereka terputus sampai disana, iya mereka hanya sekolah hingga SD saja bahkan banyak yang tidak sekolah karena keterbatasan. Satu dari sepuluh anak saja yang dapat melanjutkan hingga ke bangku SMP, itu pun mereka yang benar-benar berjuang karena sekolah SMP jaraknya sekitar dua jam dengan mengayuh sepeda, setiap hari tanpa mengenal lelah. Sehingga pada saat aku SMA adik kelasku ada dua orang yang berasal dari Jeramun Ampa’k dan mereka adalah yang pertama kali nya mengenyam pendidikan di bangku SMA. Mereka berdua laki-laki. Namun sungguh disayangkan, saat akan duduk di kelas dua mereka memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih bekerja, karena sudah tidak mampu lagi membayar uang sekolah. Mungkin alasan mereka logis, karena aku pun tahu bahwa mereka sama sepertiku, bukan berasal dari keluarga kaya.
Sehingga mata rantai itu akan tetap berlanjut. Bahwasannya pendidikan mereka terputus di tengah jalan karena keterbatasan ekonomi, karena kondisi miskin yang kemudian menjadi alasan bagi mereka untuk tidak dapat bersekolah. Dunia pendidikan masih sangat mahal bagi mereka, jangankan untuk sekolah anak-anaknya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja harus berpeluh asa. Hingga pada akhirnya banyak anak-anak perempuan mereka yang kemudian menjadi TKI di Malaysia, menjadi wanita penghibur di tempat hiburan malam. Parahnya lagi orang tua mereka tidak mengetahui hal itu, orang tua mereka hanya senang bila anak mereka pulang dari Malaysia membawa uang banyak, dan bisa digunakan untuk memperbaiki rumah atau tempat tinggal mereka.
Siklus itu juga terjadi, yang membuat banyak orang tua yang ingin anaknya bekerja di Malaysia mengikuti jejak temannya yang sudah berhasil bekerja di Malaysia. Ketidakpahaman mereka inilah yang kemudian menjadi masalah yang signifikan, anak-anak yang usia seharusnya masih duduk di bangku sekolah kemudian memilih bekerja saja membantu perekonomian orang tua mereka. Tak jarang mereke yang masih berumur belasan tahun sudah bekerja jadi kuli di kapal,  atau buruh di toko, bahkan ada yang memilih menjadi pembantu rumah tangga (bagi anak perempuan)
Salah siapa? Entah siapa yang harus dipersalahkan dalam situasi seperti ini. Orang tua mereka kah? Toh, orang tua mereka juga seolah ‘tidak peduli’ anaknya sekolah atau tidak, karena ketidakpahaman akan penting dan berharganya pendidikan dimasa depan. Namun, bukankah hal ini juga seharusnya menjadi perhatian pemerintah? Negara memiliki peran penting untuk ikut andil dalam menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan. Bagi mereka yang hidup di pedalaman, bukan mereka yang tidak mau bersekolah, namun lebih kepada kurangnya fasilitas (bangunan sekolah atau guru yang mengajar), serta pola pikir yang “Toh abis sekolah akan bekerja juga”, oleh karena itu mereka berpikir kemudian lebih baik bekerja di masa muda sehingga bisa meringankan beban orang tua mereka.
Atau salah penyelenggara pendidikan? Ah, rasanya sudah cukup bagus penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Tapi, tunggu dulu, apakah sudah merata pendidikan ini hingga ke daerah-daerah pelosok? Hal ini perlu menjadi pertanyaan. Iya, penyelenggeraan pendidikan terlihat masih tersentral di daerah perkotaan saja, paling tidak di daerah ibukota kecamatan. Sedangkan di daerah pedesaan atau daerah terpencil di pelosok, masih sedikit yang tersentuh. Meskipun sudah banyak beragam program pemerintah untuk menjangkau daerah-daerah pedalaman, namun belum di Jeramun Ampa’k.
Jika ada program pengabdian untuk guru-guru di daerah terpencil, namun sekolah nya tidak ada, bagaimana mereka bisa menjadi sasaran program. Di Jeramun Ampa’k tidak memiliki sekolah, mereka harus bersekolah di dusun Manang, sementara guru-guru di dusun Manang berasal dari kecamatan sehingga tak jarang mereka tidak masuk karena berbagai alasan dan kendala, kemudian kemanakah mereka mengadu dan berteriak bahwa mereka juga ingin cerdas, pintar, dan setidaknya bisa mengecap bangku sekolah.

Belum lagi rencana akan beroperasi area tambang Bauksit di daerah Jeramun Ampa’k, dan mereka akan menjadi penonton dan gigit jari melihat kekayaan alam mereka yang dikeruk untuk memperkaya segelintir pihak. Tanah mereka diserahkan dengan harga murah, dan gunung bahan baku pesawat itu sudah dirintis untuk secepatnya beroperasi. Sementara mereka? Untuk menjadi buruh saja harus mengantongi ijazah setidaknya ijazah SD. Apalagi jika ingin menjadi mandor atau pengawas, mimpi. Oh, ibu pertiwi. Lihatlah anak kandungmu yang tak ubahnya seperti anak tiri di negeri sendiri.


"it is not enough for the world to be shocked by these images. Shock must be matched by action. The plight of these children is neither by their choice nor within their control. They have a right to pretection"—UNICEF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar