Jumat, 18 Desember 2015

Singapore Undercover

*Nico Ajah

Pengantar

Singapura merupakan negara maju yang letak geografisnya sangat berdekatan dengan Indonesia. Secara tidak langsung maupun langsung beberapa negera berkembang seperti Indonesia mencontoh Negara kecil namun sangat maju dengan pesat ini. Lebih pantasnya disebut negara bisnis, karena lebih dari setengah penduduknya merupakan pekerja kerah putih atau pekerja kantoran. Namun tak dapat disangkal bahwa kemiskinan di Singapura tetap masih ada hingga hari ini, hanya saja tidak terekspose dan selalu disangkal oleh para penguasanya. Sehingga kemiskinan tidak begitu tampak di permukaan, dalam artian tersembunyi diantara kesibukan (secret poverty). Selain kemiskinan terdapat pula area prostitusi yang menyediakan pelayanan seksual bagi siapa saja di negara itu, yaitu kawasan Geylang.

Kemiskinan di Singapura: Bagai Mencari Jarum ditengah Tumpukan Jerami

Mega-mega memerah diantara gedung-gedung pencakar langit serta lalu lalang ribuan manusia dan gemerlapnya negara maju itu tentu menyimpan cerita dibaliknya. Masalah sosial; hal ini bukan pusat perhatian kita ketika berkunjung ke negara sibuk tersebut, namun hal inilah yang sangat penting diketahui dari setiap negara. Masalah sosial adalah sebuah gejala atau fenomena yang muncul dalam realitas kehidupan bermasyarakat (Soetomo, 2010:28). Gejala sosial ini terjadi pada masyarakat dari kalangan manapun, tidak terkecuali pada masyarakat Singapura yang notabene kehidupannya sudah terlihat makmur dan sejahtera. Tetapi dibalik itu masih terdapat masyarakat yang hidup dalam belenggu kemiskinan, meski jumlahnya sangat kecil. Pun tidak terekspose oleh media yang ada.


Berdasarkan data yang dilangsir oleh http://www-wds.worldbank.org Singapura adalah salah satu dari pusat perekonomian besar di Asia Tenggara. Produk domestik bruto (PDB) Singapura adalah S$243 miliar (2007) dan pendapatan per kapita tahunannya hampir S$53.000.1 Sebagai negara Singapura adalah salah satu industri yang baru, angka pengangguran di Singapura termasuk rendah(3,1 persen) dan tingkat pertumbuhannya tinggi (7,7 persen). Hanya sekitar dari pusat perekonomian besar di Asia Tenggara. 17 persen dari jumlah penduduk yang bekerja di pabrik, sedangkan 12,4 persen lainnya bergerak di bisnis jasa. Sebagian besar penduduknya adalah pekerja kerah putih, hal ini menunjukkan kedewasaan perekonomian yang serius dalam memberikan pelayanan. Singapura telah diakui sebagai salah satu pusat keuangan internasional dan mempekerjakan sekitar 6,1 persen penduduknya di sektor keuangan.

Namun disisi lain negeri singa itu ternyata masih memiliki warga yang hidup miskin dan tuna wisma atau homeless. Namun awareness antara warga terhadap warga lainnya sangat rendah sekali, karena kehidupan modern generasi internet itu lebih individualisme. Jarang sekali ada interaksi atau komunikasi intens di tempat umum antar sesama warganya. Sebagai contoh ketika sedang berada di MRT, rata-rata manusia yang ada sibuk dengan gadget-nya masing-masing, tanpa mereka mau tahu bahwa ada diantara saudara sebangsa mereka yang hidup dalam belenggu kemiskinan.
Potret Kemiskinan di Singapura (Koleksi Penulis)

Kemiskinan acapkali didefinisikan semata hanya sebagai fenomena ekonomi, seperti Levitan (1980) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak (Suyanto, 2013:1). Para ahli barat memang merujuk pada fenomena ekonomi yang terjadi pada suatu negara dalam mendefinisikan kemiskinan, sangat akan berbeda jauh apabila kita bandingkan dengan kondisi riil yang dihadapi keluarga miskin di Indonesia. Namun pendekatan barat ini akan lebih cocok untuk melihat fenomena kemiskinan yang terdapat di negara Singapura, dimana kemiskinan yang terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk mencapai standar hidup layak. Data tahun 2011 disebutkan bahwa Singapura memiliki penduduk berjumlah 4,8 juta jiwa, dan 26% dari jumlah penduduk atau 458.257 orang yang hidup dibawah garis kemiskinan (sesuai standar kemiskinan di Singapura yaitu penduduk yang berpenghasilan dibawah S$1.500 per bulan).

Singapura terkenal dengan kehidupan glamour yang ditandai dengan kemewahan-kemewahan. Namun tidak cukup sulit untuk menemukan mereka yang hidup masih meniti bawah garis kemiskinan di negeri itu. Yang saya jumpai pertama kali yaitu di kawasan Merlion Park, tak kurang dari lima orang yang saya perhatikan berjualan disana. Mereka adalah bapak-bapak tua sekitar umur 50 ke atas bermata sipit, berpakaian sederhana (pakai baju kaos dan celana kain yang sudah agak lusuh, dengan handuk kecil di lehernya) dan mereka ada yang berjualan ice cream seharga 1 dollar Singapura (SgD), ada pula yang berjualan makanan ringan dan minuman mineral dan beragam jenis minuman lainnya seperti green tea, yang kisaran harganya 3-5 dollar Singapura (SgD).

Mereka berjualan di bawah teriknya sinar matahari, ketika itu saya membeli sepotong ice cream yang seharga 1 dollar itu. Tidak banyak dagangannya  yang laku sepagi itu, mungkin sekitar delapan potong ice cream, karena masih terlihat banyak yang terdapat di dalam kotak pendingin. Perkiraan saya pendapatan bapak itu seharian full sekitar 20-30 dollar Singapura (SgD), dan itu merupakan nominal yang sangat rendah, dimana seorang pekerja kantoran penghasilannya bisa lebih dari 80 bahkan 100 dollar per hari. Namun apa daya, mereka adalah sekumpulan orang ‘miskin’ yang harus bertahan hidup.
Potret Kemiskinan di Singapura (Koleksi Penulis)

Berpindah ke area Bugis, banyak saya temukan ojek sepeda ‘Uncle’ dimana para pengayuh sepeda itu adalah laki-laki cukup tua (semacam paman-paman disana) yang berpakaian sederhana, lagi-lagi mereka bermata sipit atau keturunan tionghoa. Bahkan aku menjumpai seorang ibu-ibu yang bersama anaknya yang lumpuh sedang berjualan. Ya, dari situ saya tahu bahwa hidup di Singapura tidak seperti yang terbayangkan—enak, senang, dan mewah. Siapa bilang? Tidak sedikit diantara mereka (penduduk asli) yang tidak punya rumah alias homeless.

Kemudian di area Sentosa Island saya menemukan beberapa tukang kebun membersihkan area taman dan mereka berkulit hitam, dan perawakannya seperti orang hindi (India), saya tidak tahu apakah dia asli warga Singapura atau pendatang yang bekerja di Singapura, ketika itu saya meminta air minum di kran yang ada dekat mereka bekerja, anehnya mereka tidak bisa berbahasa inggris. Sehingga saya sendiri tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan, dan saya pakai bahasa isyarat untuk meminta air minum dari kran. Mereka berpakaian pekerja seperti di pabrik dan bertopi, ditangannya terdapat sapu dan sekop pengangkut sampah.

Berjalan kaki di semua tempat di Sentosa Island memang asyik disaat panas tidak terlalu terik, dalam arti hari yang sedikit mendung ditemani awan hitam tentunya. Tidak jauh berjalan di Boardwalk khusus pejalan kaki, saya menemukan seorang Ama (nenek) yang bekerja sebagai tukang pembersih sampah. Dia berbaju seragam putih, bertopi (seperti jenis caping), dan mendorong gerobak sampah yang berisi sapu dan sampah-sampah. Saya sengaja selfie di dekat-dekat Ama, agar saya bisa dapat gambarnya. Mungkin saja Ama ini berpenghasilan 10-20 dollar per hari, belum untuk makan, untuk minum, untuk sewa rumah (jika ia menyewa rumah) dan kebutuhan hidup yang serba mahal di Singapura, cukupkah? Tidak. Jika ia berkecukupan, ia hanya duduk manis di rumah dan membiarkan anak dan cucunya yang bekerja menafkahi dia. Namun kenyataannya? Ama itu masih tetap bekerja meski sudah Manula. Mungkin, hukum di Singapura tidak mengatur tentang usia pekerja, saya tidak mengerti sistem hukum yang ada disana.

Sungguh berbeda jika kita menafsir persoalan kemiskinan yang terjadi di Indonesia dengan yang terjadi  di Singapura. Di Indonesia orang miskin masih ditandai dengan kurangnya fasilitas ini dan itu, wilayah terpencil, terisolir, kemudian yang di perkotaan sulit mendapatkan pekerjaan, mengemis, ngamen, nyopet, dan banyak lagi fenomena yang terjadi akibat kemiskinan. Namun berbeda dengan di Singapura, orang miskin saja ‘terlihat’ seperti sejahtera. Yang menjadi persoalan utama orang miskin di Singapura adalah perekonomian, hanya itu. Kebutuhan hidup yang tinggi, sehingga mereka harus bekerja keras. Walau seorang itu miskin, pemerintah tetap diberi pekerjaan yang layak bagi warga Singapura agar mereka dapat bertahan hidup.

Mereka adalah sepotong dari potret kemiskinan yang ada di Singapura, saya yakin masih sangat banyak di daerah lain yang merupakan komunitas warga miskin di negeri Singa itu. Di negara teknologi itu, kemiskinan seringkali ditandai dengan jenis pekerjaan, rentang usia dan mungkin masih banyak lagi indikator yang mendukung. Jika seorang Manula bekerja di sektor berat, siapa yang akan meng-judge bahwa ia hidup sudah berkecukupan. Atau seorang Ama bekerja sebagai petugas kebersihan, tentu tidak akan terpikir oleh kita bahwa ia adalah seorang yang hidup kaya. Singapura memang negeri modern nomor satu di Asia Tenggara ini, namun tidak dapat disangkal bahwa di negeri yang mayoritas berpenduduk kaya itu memiliki seribu kisah bagi orang-orang miskin dan termarginal.

Negara Penyedia Prostitusi Ter-Rapi

Menurut beberapa referensi yang saya baca, terdapat beberapa tempat prostitusi di Singapura. Salah satunya adalah kawasan Geylang Road. Wilayah ini terdiri dari bangunan-bangunan yang menyediakan penginapan murah dan juga beberapa tempat hiburan seperti bar. Ketika saya lenggang kangkung melewati kawasan tersebut, banyak sekali saya menjumpai tempat yang berkedok jasa pijat, padahal merupakan jasa pelayanan prostitusi, mengapa saya meyakininya, karena tempatnya di sebuah rumah yang dapat dibilang gelap, dan hanya diterangi lilin-lilin redup.
Berjalan dan cukup lama saya berjalan menelusuri jalan itu, setelah melewati gang sepi, hingga ketemu tempat malamnya Geylang Road. Ramai, sangat ramai pengunjung, aku yakin mereka berasal dari berbagai negara di belahan bumi ini, termasuk negara Indonesia, entah mereka yang hendak makan di beberapa restoran chinese, atau sekedar menikmati secangkir kopi di bawah langit Singapura.
Geylang Road Singapura (Koleksi Penulis)

Selama ini Singapura di ‘anggap’ negara paling menjunjung tinggi moral, karena sangat jarang terekspose berita pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur, atau sejenisnya. Tidak seperti Indonesia yang tersebar luas di dunia Internasional. Namun, jangan salah, Singapura memiliki Geylang yang merupakan tempat prostitusi terbesar di negara singa tersebut. Padahal jelas-jelas negara tersebut sangat menentang keras pornografi dan pornoaksi, mengapa kawasan Geylang masih beroperasi menjadi kawasan prostitusi nomor satu, mulai dari yang kelas teri hingga kelas kakap, atau dalam artian dari kelas kuli hingga yang berdasi dapat main bebas di kawasan Geylang. Hanya tinggal memilih saja mau yang mana, perempuan atau laki-laki.

Tidak hanya perempuan saja yang menyediakan jasa seks, tetapi juga laki-laki bahkan hingga kaum Gay atau LSL. Tak heran jika mereka sengaja nongkrong di pinggir-pinggir jalan untuk mencari mangsa. Hal itu saya jumpai di Lorong 12 sampai 13, yang saya sendiri sebenarnya canggung dan takut karena sendirian menelusuri kawasan itu. Tetapi saya berlagak seperti warga lokal yang seolah-olah mengetahui tempat itu secara khusus.

Amoy-amoy (sebutan gadis chinese) cantik berpakaian seksi tersandar di dinding-dinding lorong menanti para pelanggan menggunakan jasa mereka. Ada yang sambil menyulut sebatang rokok, ada yang hanya memegang tas jinjing. Dan saya tidak mau lewat ke sana. Saya mencari jalan, kemudian memutar arah karena sudah jauh saya melangkah dan saya takut lupa jalan pulang. Akhirnya saya nongkrong di sebuah cafe (semacam angkringan kalau di Indonesia), kemudian memesan minuman. Ah, banyak sekali para perempuan sosialita nan glamour ada disini, dan para lelaki mulai dari yang pake kemeja sampai yang nyaris tidak pakai baju, ada.

Saya duduk tanpa ingin mengajak siapapun berbicara selain pelayan tadi. Mataku hanya menelisik beberapa pasang manusia yang tidak jarang ada pula laki-laki dengan laki-laki, ah hal biasa lah itu. Jadi saya tidak terlalu menghiraukan, karena mereka tidak merusak pandangan siapa pun. Mereka asik menikmati, ya itu urusan mereka lah. Banyak diantara mereka yang berbahasa Indonesia fasih. Menurut bacaan yang saya temukan di google blog, saya lupa alamat blognya, menyebutkan bahwa ternyata banyak perempuan dari Batam yang ‘mangkal’ disana. Tak jarang pula ada diantara mereka yang masih dibawah umur alias masih anak-anak. Shit! Apa-apaan? Bukankah safety security di wilayah perbatasan Indonesia-Singapura sudah sangat ketat? Mengapa masih banyak perempaun-perempaun Indonesia yang datang hanya ‘melacur’ saja di Singapura dapat lolos dengan sangat mudah. Mungkin wajar saja, sebab cara mereka berpakaian sudah tergolong seperti kalangan orang berduit. Bahkan harga mereka bisa 30-40 dollar sekali pakai. Namun, pelacur laki-laki (Gay-Straigh) lebih cenderung mahal sekitar 100-120 dollar sekali pakai.

Tidak lama kemudian saya beranjak pergi, rencananya memang pulang ke penginapan di kawasan Kallang. Namun, semakin malam kawasan Geylang semakin ramai dan sepertinya semakin asyik. Kawasan penduduk yang notabenenya dijadikan penginapa murah itu semakin ramai saja. Kawasan seperti ini juga pernah saya jumpai di Yogyakarta, di kawasan Pasar Kembang (Sarkem) yang juga terkenal menjadi tempat prostitusi di Jogja. Persis sekali, bedanya kawasan Geylang memanjang dan memiliki lorong-lorong banyak. Mungkin tidak jauh berbeda dengan Dolly di Surabaya atau Saritem di Bandung.

Ah, tulisanku ini bukanlah hasil riset bertahun-tahun seperti yang dilakukan oleh David Brazil yang menelusuri pusat-pusat pelacuran di Singapura seperti Geylang, Orchard Road, Orchard Towers, Desker Road, Flanders Square, dan Keong Saik Road. Wilayah ini oleh pemerintah Singapura disebut kawasan lampu merah. Para lonte selain mangkal di kawasan zona merah, juga mereka dapat ditemukan di panti pijat, klab malam, lobi hotel atau escort agencies (biro teman kencan) yang iklannya marak di buku telepon.

Pelacuran di Singapura saat ini tak ada bedanya dengan konsep pada zaman Raffles dahulu. Dimana banyak mucikari dan calo mencari pelanggan untuk ayam-ayam (sebutan pelacur perempuan) dan kucing-kucing (sebutan untuk pelacur laki-laki), semuanya demi dollar, uang, dan fulus!. Apabila dirunut dari sejarahnya, prostitusi di Singapura sudah menjadi lahan bisnis sejak Stamford Raffles memerintah pada 1819.


Daftar Bacaan:
Soetomo. 2010. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarya: Pustaka Pelajar.
Suyanto, Bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan. Malang: Intrans Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar