Senin, 23 Februari 2015

Uang Kuliah Tunggal: Ribet


Oleh: Nikodemus Niko


Katanya biaya pendidikan saat ini paling murah, tapi masih banyak yang hanya mampu ‘berkhayal’ untuk kuliah.
Kalimat tersebut menjadi pengantar singkat tulisan ini. Kalimat singkat itu muncul dalam benak saya, saat saya teringat dengan adik dari salah satu teman saya. Ia adalah salah satu calon mahasiswa di Universitas Tanjungpura tahun 2013 lalu. Saat itu dia dinyatakan lulus test di Fakultas MIPA. Tetapi saat mendaftar ulang, biaya yang harus dibayarkan cukup fantastis bagi dia yang orang tuanya hanya seorang buruh tani. Dia menangis penuh uraian air mata saat bercerita dengan saya, sehingga mau tidak mau dia harus mendekam impiannya untuk bisa kuliah di Universitas yang cukup ternama di Kalimantan Barat ini.

Sebagai mahasiswa yang sudah cukup lama berada di kampus, pasti tidak asing bagi kita membaca atau mendengar istilah UKT atau singkatan dari Uang Kuliah Tunggal dan juga BKT atau singkatannya Biaya Kuliah Tunggal. UKT dan BKT ini merupakan satu kesatuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 55 Tahun 2013. Tetapi tak bisa untuk dipungkiri tidak sedikit mahasiswa yang tidak mengetahui apa itu UKT atau BKT, tidak terkecuali mahasiswa di Universitas Tanjungpura Pontianak. Iya, hal itu karena minimnya sosialisasi tentang UKT kepada mahasiswa. Sudah dua tahun ajaran ini UKT diberlakukan yaitu tahun ajaran 2013/2014 dan tahun ajaran 2014/2015, tetapi belum pernah ada satupun kegiatan sosialisasi yang saya jumpai di kampus-kampus.
UKT telah menjadi bahasan ‘sebagian’ kalangan akademisi sejak tahun 2012, hingga pemberlakuan sistem UKT di tahun 2013 lalu. Tentu dengan berbagai pandangan yang berbeda, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Pandangan yang beragam itu muncul karena banyaknya spekulasi, terutama mengenai besaran pembayaran UKT ini. Katanya, UKT yang diberlakukan di Perguruan Tinggi Negeri ini ditujukan untuk mempermudah dan mengurangi beban finansial mahasiswa baru dalam membayar uang perkuliahan. Apakah benar begitu? Pada contoh kasus yang saya temukan, kata mempermudah nya justeru lebih sedikit. Pada bulan Februari lalu, banyak Maba Fisip yang mengeluh dengan sistem UKT ini. Bayangkan saja orang tua hanya berprofesi sebagai buruh kebun karet, harus membayar uang kuliah anaknya sebesar 2.500.000 saat itu juga. Mau muntah uang darimana?
Menurut informasi yang saya dapatkan, biaya kuliah yang dibebankan pada mahasiswa dibagi menjadi lima golongan. Golongan pertama diberlakukan bagi mahasiswa yang latar belakang ekonomi keluarga kurang mampu, hingga golongan kelima yang merupakan mahasiswa dengan latar belakang keluarga sangat mampu. Masalah baru yang turut timbul dengan pemberlakuan sistem berjenjang ini adalah cara mengelompokkan mahasiswa dalam golongan-golongan ini. Oke, fix. Dengan menunjukkan bukti seperti surat pendapatan orang tua, rekening listrik, rekening air, rekening PBB, dan lain-lain. Apakah cara ini dapat dinilai efektif? Sepertinya tidak. Karena terjadi pada banyak kasus, mahasiswa sudah mengisi data dengan benar tetapi diberlakukan pembayaran uang kuliah yang tidak sesuai yang bisa saja memberatkan mahasiswa.
Sesuai judul tulisan ini, tentu pembaca yang budiman bertanya-tanya letak ribet-nya itu dimana? Bilamana kita memahami UKT sepintas lalu, yang kaya bayar kuliah mahal dan yang miskin bayar kuliah murah. Kata yang cukup sederhana, namun memahami sistem UKT yang ada di Untan sendiri tidak sesederhana itu. Bahkan banyak mahasiswa baru yang hanya ikut-ikut arus saja, tanpa tahu menahu apa itu UKT. Jangankan mereka yang baru duduk di bangku kuliah, mahasiswa yang sudah lama dikampus saja banyak yang tidak mengerti UKT, atau bahkan mungkin dosen-dosen di kampus juga ada yang belum mengerti sistem UKT.
Ketika UKT diterapkan, pendapatan universitas maupun fakultas akan menurun drastis. Lha, kok bisa? Iya, penurunan pendapatan ini karena Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pembayaran sumbangan pengembangan manajemen pendidikan (SPMB) kampus sudah tidak diberlakukan lagi. Lalu, bagaimana strategi universitas atau fakultas menghadapi itu di tahun ajaran baru ini? Apa mungkin pembukaan prodi baru turut berpengaruh? Atau memperbanyak penerimaan mahasiswa non-reguler yang tidak diberlakukan sistem UKT? Bisa jadi.

*Penulis adalah Demisioner Lembaga Pers Mahasiswa Mimbar Untan 2013/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar