Senin, 24 November 2014

Goresan Mimpi Seorang Anak Petani

Oleh: Nico Ajah



Mengawali cerita dalam tulisan ini, aku kini mengetahui bahwa ‘Cinta adalah menyadari dengan susah payah ada sesuatu yang nyata selain diri sendiri’.


Maret 2014
Aku malu pada diriku sendiri, aku tidak PD dengan diriku sendiri, aku tidak mungkin berdamai dengan keadaan. Begitu banyak hal berkecamuk dalam pikiranku, saat-saat seperti ini hanya aku dan air mata ini yang senantiasa menghibur. Ingat pada orang tua nun jauh di kampung halaman. Entahlah! Mungkin aku teramat sangat merindukan mereka, atau aku merindukan hangatnya dekapan mereka. Esok aku akan mengikuti pemilihan ‘Mahasiswa Berprestasi’ di kampusku, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tidak bersemangat dalam ajang ini, karena aku sudah pasti tidak akan lolos. Banyak orang pintar di kampus ini, sudah barang tentu mereka yang akan memenangkan kompetisi ini, terlebih mereka memiliki kondisi ekonomi yang mendukung sehingga tidak susah bagi mereka untuk belajar. Lain hal nya dengan aku, yang hanya seorang anak petani miskin dari pelosok kampung, untuk memikirkan makan untuk esok hari saja sangat sulit di prediksi.
Mimpi bagi aku untuk bisa menang dalam persaingan ketat ini. Saat ini aku kuliah dengan beasiswa, yah, mungkin ini suatu kebanggan tersendiri buat aku. Walau aku terlahir dari latar belakang keluarga petani miskin, aku masih dapat bersyukur untuk mencicipi bangku perguruan tinggi, yang sangat bernilai tinggi, dan berharga tinggi. Hingga aku tersadar untuk bangkit dari perasaan cengeng yang terkadang membuat aku terpuruk. Bersaing secara fair, siapa pun kamu, apa pun latar belakang keluarga mu, aku akan tetap berdiri disini.
Entahlah, apa yang terjadi saat itu. Yang pasti, semangatku sampai pada titik power, kalah atau menang adalah hal nomor dua, yang terpenting sudah memberikan yang terbaik, untuk diri sendiri. Makalah yang aku sajikan saat itu hanya seputaran kehidupan di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di kabupaten sanggau, tempatku. Memang sebagian besar masyarakatnya masih hidup dalam garis kemiskinan. Mungkin aku masih dalam rindangnya kelambu malam yang membawaku ke alam mimpi, hingga nama aku di panggil sebagai Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Aku senang, melebihi batas, namun aku pendam sendiri kebagiaan itu.

Juni 2014
Aku kini menyandang seorang Mawapres dari salah satu Fakultas yang ada di Universitas Tanjungpura Pontianak, kini aku harus berusaha keras lagi. Satu hal yang aku tanamkan dalam diri aku, kalah atau menang adalah hal nomor dua yang terpenting adalah memberikan yang terbaik untuk diri sendiri. Detik-detik menegangkan karena aku adalah urutan keenam dalam presentasi. Bukan hal mudah untuk meyakinkan hasil riset kita (seorang mahasiswa S1) kepada para Profesor dan Doktor, meski di anggap lebih karena dari 3.000 lebih mahasiswa di Fakultas, aku lah yang kini mewakili nya.
Waktu mengalir indah, tidak ada yang aku harap lebih dari semua itu. Namun, sebuah kepercayaan ku bahwa janji Tuhan itu pasti, aku dapat meraih 5 besar dari 9 peserta (9 Fakultas). Ini niscaya bagiku, ini bagai mimpi yang tidak pernah aku mimpikan sebelumnya. Seorang anak petani miskin sepertiku, tercatat sebagai 5 besar mahasiswa berprestasi di universitas ternama di Kalimantan Barat. Ini kebanggaan yang luar biasa, ibarat kata yang tak mungkin dapat terucap. Begitulah yang aku rasakan, aku belum bisa berkata apa-apa kala itu. Setidaknya mimpi itu pernah hadir dalam duniaku, meski mimpi itu tidak pernah aku mimpikan, namun kini telah tergoreskan. Ibu, Bapak, tiada kata selain cinta yang aku persembahkan untuk kalian. Aku bisa, aku bersemangat, semua karena ibu dan bapak yang tidak pernah letih mencintai aku.
Finalis Mahasiswa Berprestasi Universitas Tanjungpura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar