Rabu, 12 November 2014

Pejuang Aksaraku



Flash Fiction
Oleh: Nico Ajah

Tahun 2010
Hidupku, hidup kami, tidak pernah jauh dari kemakmuran. Namun, aku senantiasa dipenuhi rasa bahagia walau bukan dengan materi yang berlimpah. 4 tahun lalu, saat mengawali studi ku dengan beasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa yang tidak mampu, aku menangis saat aku lolos seleksi tanpa ujian masuk di universitas ternama di Kalimantan Barat ini. Kebanggaan, namun aku tidak pernah menunjukkan hal itu kepada siapa pun.


Aku masih mengingat perjuangan ayahku waktu 4 setengah tahun yang lalu. Saat ia mengetahui informasi beasiswa bidik misi yang ditawarkan untuk keluarga miskin. Iya, saat itu pula aku tahu bahwa ayah tidak tidur semalaman untuk bisa melengkapi persyaratan yang dibutuhkan saat mendaftar di beasiswa itu. Kartu keluarga (KK) kami tidak punya, Akte lahir aku tidak punya, KTP ibu, dan bahkan KTP ayah juga tidak ada. Lalu mau daftar pakai apa? Sementara waktu hanya tinggal beberapa minggu lagi terakhir pengumpulan berkas.

Aku letih, lemah. “Sudahlah Yah, aku tidak kuliah saja. Lagian untuk bisa masuk universitas negeri itu sangat susah. Kalau aku mendaftar juga tidak akan diterima. Lagian kan persyaratan yang diminta itu kita tidak punya”, aku ingat kata itu yang aku ucapkan pada Ayah saat kami menoreh di kebun karet. Tidak ada tanggapan dari ayah, ia hanya berekspresi datar. Entahlah apa yang ada dalam benaknya kala itu. Demikian pula ibu, ia sangat ingin aku bisa mendaftar beasiswa walau kecil kesempatan untuk diterima.

Entahlah aku harus bercerita awalnya dari mana, waktu itu ayah mendatangi kantor desa yang letaknya sekitar setengah jam perjalanan dengan berjalan kaki. Ia meminta bantuan Sekdes untuk membuat KTP, KK serta akte lahir. Semua pasti tidak hanya dengan omongan semata, melainkan harus keluarkan uang muka untuk mengurus semua itu. Biaya pembuatan KTP untuk aku, ayah dan ibu masing-masing 40 ribu, pembuatan KK 60 ribu, serta pembuatan akte 120 ribu, namun sebelumnya harus mengurus akta nikah yang harganya 120 ribu. Jika ditotalkan sekitar 400-an ribu. Harus dapat uang darimana? Sementara penghasilan menoreh karet hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Ayah adalah sosok orang yang nekat yang pernah aku kenal. Ia gigih dan bersikeras agar bisa mendapatkan semua itu, agar aku tetap bisa mengenyam pendidikan. Sebenarnya dokumen-dokumen itu harus dimiliki setiap warga negara, tapi tidak menutup kenyataan bahwa masih banyak warga negara yang tidak memiliki dokumen-dokumen seperti itu karena keterbatasan ekonomi, tidak mampu membayar karena terlalu mahal, tidak terkecuali keluarga kami. Ayah, engkau pejuang tangguh yang pernah aku kenal di dunia ini, tanpa mengeluh, ikhlas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar