Senin, 01 Desember 2014

Mahkota Untuk Ayah dan Ibu



By: Nikodemus Niko

27 November 2014
Hari ini adalah hari dimana aku sangat bangga mengenakan mahkota bertali emas ini. Yah, hari ini adalah hari wisuda ku yang pertama kali aku rasakan seumur hidupku. Hari pertama kali aku mengenakan mahkota yang sangat mahal, toga. Dan hari pertama pula untuk ayah dan ibu menghadiri acara sakral ini.

4 tahun aku berjuang untuk bisa mendapatkan sebuah toga ini, 4 tahun pula aku mengarungi kehidupan penuh suka dan duka di Kota Pontianak. Aku tak dapat mengartikan kebahagiaan ini dalam sebuah kalimat atau bahkan sepatah katapun. Ini bukan hanya menjadi kebahagiaan ku sendiri, tetapi juga kebahagiaan bapak, ibu, dan juga semua keluarga ku. Kenapa? Karena satu-satunya orang yang sekolah tinggi hingga sarjana adalah aku. Ini bukan sebuah kesombongan, tapi ini adalah suatu keajaiban Tuhan yang pernah menjelma dalam hidupku di 4 tahun yang lalu.
Mengingat segala kenangan indah yang pernah aku lalui di bangku kuliah, saat pertama kali menginjakkan kaki ini di Kota Pontianak. Pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidup, pernah mencicipi pahitnya kehidupan kota, namun bukan suatu penghalang untuk aku bisa meraih prestasi dan cita-cita. Semua aku lalui dengan penuh bahagia, dengan senyuman indah.
Selama 4 tahun bunga itu menanti hujan menyirami dan, bunga itu telah mekar hari ini, saat aku berdiri sempurna mengenakan toga ini bersama orang-orang yang sangat aku cintai dalam hidupku. Karena tanpa mereka, aku tiada artinya. Aku hanya sebuah bunga tanpa tangkai yang bisa kapan saja tertiup angin. Tapi ayah, ibu, yang membuatku merasa sempurna. Mereka yang selalu menjadi tangkai dalam ku mengarungi studi hingga aku menjadi sarjana, hari ini. Mereka adalah yang terhebat dalam hidup ini. Terkadang sering aku tidak mengikuti nasihat mereka, sering aku membantah omongan mereka, padahal aku tahu kalau itu semua untuk kebaikan ku.
Kuliah dengan berjalan kaki menuju kampus, aku lakoni setiap hari. Jarak antara rumah sederhana di pinggiran sungai kapuas yang aku sewa dengan kampusku sekitar 45 menit perjalanan. Sehingga tatkala aku tiba di kelas dalam kondisi basah kuyub bermandikan keringat, bahkan aku sering terlambat sehingga di usir dosen dan tidak boleh masuk kelas. Apa aku harus malu? Apa aku harus mengeluh? Tidak, sama sekali tidak. Aku harus sadar siapa diriku, ayah dan ibuku bukan berasal dari keluarga mampu. Yang terpenting adalah aku tetap semangat dalam mengejar mimpi dan cita-citaku, cita-cita orang tua ku. Aku tak ingin mereka kecewa, aku ingin mereka tersenyum bangga suatu saat nanti.
Pernah tersisa uang hanya seribu rupiah dalam kantong. Tapi aku harus berbohong karena aku tidak ingin merepotkan ayah dan ibu, aku juga mengerti di kampung ayah dan ibu juga pasti serba kekurangan. Apalagi jika musim hujan, musim banjir, ayah dan ibu tidak dapat bekerja di kebun karet. Aku juga harus mengerti semua keadaan itu. Berusaha berhemat, bukan berarti menyiksa diri. Tapi lebih menyadari arti rupiah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Bercucuran keringat di bawah terik sinar matahari, kehausan, kelaparan baru kami bisa mendapatkan rupiah dan itu pun tidak banyak, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terkadang juga kurang. Tapi tidak pernah ayah dan ibu mengeluh, tidak pernah ayah dan ibu mencaci, memaki saat aku meminta dikirimkan uang.
Itulah alasan untuk aku tidak pernah sedikitpun menyurutkan semangat untuk bisa berprestasi di kampus ataupun di luar kampus. Bukan aku ingin mengumbar kesombongan, tapi aku hanya ingin semua orang tau bahwa orang ‘miskin’ bukan berarti juga miskin ilmu. Aku bangga pada sosok ayah yang selalu gigih dan selalu mengajariku arti kesederhanaan, dan sosok ibu yang selalu menyadarkan ku arti kasih sayang. Dari merekalah aku belajar untuk bisa menuai pencapaian ku saat ini. Pernah menjadi yang terbaik dalam lomba tingkat nasional, dan pernah menjadi yang terbaik dalam lomba tingkat provinsi kalimantan barat, serta menjadi mahasiswa berprestasi di tingkat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2014 ini adalah pencapaian yang manis. Aku percaya bahwa rencana Tuhan akan indah pada waktunya.
Ku pandangi ibu dengan mata yang berbinar, entahlah apa yang dalam benaknya. Ia memelukku erah, hangat. Mungkin ia sedang menangis, menitikkan air mata bangga melihatku mengenakan baju sarjana kini. Ibu mengusap punggungku lembut, tapi aku tetap bisa merasakan kelembutannya. Aku mengenal telapak tangannya yang kasar, pasti karena ibu setiap hari bekerja keras monoreh pohon karet, untuk mendapatkan rupiah demi sesuap nasi.
Begitu pula ayah, aku mengerti makna senyumannya kala itu. Ayah pasti bangga, bahagia karena telah mampu membawa ku terbang dari jurang kebodohan, mampu membawaku berlari dari lembah yang tidak ku mengerti keberadaannya. Aku cium tangannya yang kasar itu, aku merindukan pelukan tangan saat 15 tahun silam, saat aku masih kanak-kanak.
Kini, semua akan dimulai dari awal lagi ayah, ibu. Inilah perjuangan aku yang sesungguhnya, aku tahu bahwa aku adalah alasan dibalik senyum ayah dan ibu. Sekarang lihatlah, anakmu yang engkau dulu engkau perjuangkan mati-matian untuk mendaftar beasiswa, kini mengenakan topi bertali emas. Topi yang tidak ada di jual di kampung kita. Anakmu kini sudah jadi seorang sarjana muda. Ini hadiah untuk ayah, untuk ibu.
Aku yakin kalian mendoakan ku siang dan malam, aku yakin kalian tidak pernah nyenyak dalam tidup karena memikirkan aku yang jauh dari pantauan mata kalian selama ini. Kalian berjuang siang dan malam. Kalian membanting tulang di pagi buta, mengumpulkan rupiah demi rupiah di hutan rimba. Percayalah, aku juga selalu mendoakan ayah dan ibu. Aku mencintai ayah dan ibu, sampai kapanpun dan dimanapun aku berada.
Inilah aku, anak seorang petani miskin dari pedalaman kalimantan, kini mencicipi rasa memakai toga itu. Topi yang belum pernah aku mimpikan seumur hidupku. Ayahku seorang petani karet yang penghasilannya hanya sekitar 15 ribu sehari, begitu juga ibuku monoreh pohon karet bersama ayah. Penghasilan demikian, merupakan sebuah mimpi menggenggam langit untuk dapat menyekolahkan anaknya hingga di bangku kuliah. Ayah dan ibu tidak tamat sekolah dasar, sehingga mereka sangat gigih agar aku tidak bernasib sama dengan mereka. Semua tidak terlepas dari program beasiswa Bidik Misi yang digalakkan pada pemerintahan bapak Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga aku sangat berterima kasih kepada pak SBY, salam hormat dari ayah dan ibu saya yang sangat mengagumi sosok pak SBY. Ibu dan ayah saya menitipkan rasa terima kasih yang terdalam untuk pak SBY.

Menuliskan goresan ini, mataku terurai air mata bahagia, air mata bangga karena memiliki ayah dan ibu. Malaikat terindah dalam hidupku. Toga kebanggan ini aku persembahkan untuk ayah dan ibu. Terima kasih ayah, terima kasih ibu, kalian akan selalu menjadi yang terindah dalam kehidupan ini.
My Graduation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar