Rabu, 02 Januari 2013

Mereka Juga Manusia





Oleh: Nikodemus Niko
 


Siapa mereka?
Manusia adalah mahkluk sosial, pada hakikatnya manusia akan membentuk sebuah struktur ataupun sistem masyarakat yang akan melahirkan standar nilai maupun norma yang akan menjadi pedoman hidup. Pada kenyataannya interaksi di dalam masyarakat tidak pernah berjalan lancar tanpa adanya pertentangan. Pertentangan ini terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan setiap orang. Dari segi kebutuhan tentunya masing-masing individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Apabila kebutuhan individu tersebut bertentangan atau bahkan mengancam kebutuhan individu lainnya, dapat dipastikan akan muncul konflik antar individu untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan masing-masing.
Untuk menghindari pertentangan tersebut, dibutuhkan suatu tatanan masyarakat yang mengatur interaksi antar individu yang dinamakan norma sosial. Norma sosial lahir dari konvensi sosial untuk membantu orang berperilaku baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Perkembangan zaman yang semakin modern dan pengaruh budaya barat menyebabkan pergaulan manusia semakin tiada batas membuat banyak pelanggaran norma sosial dan penyimpangan perilaku. Salah satu bentuk penyimpangan norma asusila yang tumbuh dalam masyarakat adalah homoseksualitas.

Kapan mereka ada?
Di Indonesia homoseksual masih merupakan hal yang tabu dan sangat sulit diterima oleh masyarakat. Budaya timur yang melekat di masyarakat membuat hal ini menjadi sebuah masalah yang besar. Berbeda dengan di negara barat, khususnya negara Belanda, masyarakatnya telah menerima keberadaan kaum homoseksual dan menghalalkan pernikahan sesama jenis. Demikian pula di Argentina, yaitu di kota Buenos Aires dan Provinsi Rio Negro. Mereka menamakan diri dengan ‘The Argentine Homosexual Community’. Kelompok ini mengajukan perluasan hak atas undang-undang yang berlaku di Negara itu pada tahun 2002, yaitu mengenai hak bagi pasangan, tanpa ,emperdulikan jenis kelamin atau orientasi seksualnya, menjadi sepasang pengantin yang syah di muka hukum Negara.
Pada zaman prasejarah, praktik homoseksual sudah terjadi. Sebagai contoh suku Marind di Merauke dan Kiman di Papua. Begitu terlepas dari masa kanak-kanak maka anak lelaki diambil dari ibunya dan dari rumah para perempuan untuk selanjutnya tidur bersama bapaknya dirumah laki-laki. Sejak muncul tanda-tanda pubertas pertama, pamannya dari pihak ibu diberi tugas untuk mempenetrasi anus si anak lelaki itu, yang dengan demikian memberi/melengkapinya dengan sperma yang akan menjadikannya sebagai laki-laki kuat. Anak-anak lelaki baru meninggalkan fase ini setelah kira-kira tiga tahun kemudian.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual yang berjenis kelamin sama secara situasional dan berkelanjutan. Menurut Ensiklopedia Indonesia, Homoseksual adalah istilah untuk menunjukkan gejala-gejala adanya dorongan seksual dan tingkah laku terhadap orang lain berjenis kelamin sama.
Homoseksual terdiri dari gay yaitu laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap laki-laki dan lesbi yaitu perempuan yang secara seksual tertarik terhadap perempuan. Perdebatan terhadap kaum homoseksual baik gay maupun lesbi membuahkan sikap negatif dari lingkungan sosial. Akan tetapi sikap negatif oleh masyarakat lebih kuat terhadap kaum gay daripada kaum lesbian (Knox, 1984). Hal ini disebabkan karena keberadaan kaum gay lebih teramati dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari sehingga masyarakat semakin bersikap negatif dengan harapan mereka hilang dari kehidupan sosial (Bonan, 2003 & Pace, 2002). Keberadaan kaum gay adalah fakta. Mereka adalah sebuah realita abad 21. Kini mereka mulai berani memunculkan diri di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia
Perkembangan jumlah homoseksual di Indonesia tiap tahunnya semakin bertambah. Data statistik menunjukkan 8-10 juta populasi pria di Indonesia pada suatu waktu terlibat pengalaman homoseksual. Dari jumlah ini, sebagian masih aktif melakukannya. (Kompas Media Cyber, 2003). Hasil survey YPKN (Yayasan Pendidikan Kartini Nusantara) menunjukkan, ada 4000 hingga 5000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo (Gaya Nusantara adalah satu yayasan khusus untuk kaum gay yang sangat terkenal di Indonesia. Yayasan ini berdomisili di Surabaya. Mereka menerbitkan buku, bulletin, majalah dan mengadakan acara serta seminar khusus untuk kaum gay). Angka-angka itu belum termasuk kaum homo di kota-kota besar lainnya.
Dr. Dede Oetomo, lahir tanggal 6 Desember di Pasuruan. Dia adalah orang yang pertama kali mengumumkan bahwa dirinya adalah seorang gay di Indonesia. Berkat itu, sekarang dia mendapat julukan “Presiden Gay Indonesia”. Penerima penghargaan internasional Felipa De Souza Award 1998 di New York ini adalah pendiri Yayasan Gaya Nusantara dan dia sekarang menjadi Dewan Pembinanya. Penulis buku ‘Memberi Suara Pada Yang Bisu' ini juga laris sebagai narasumber untuk kegitan-kegiatan seminar di bidang gender, kesehatan seksual, sosial maupun politik. Bukan cuma di Indonesia saja, namun juga di mancanegara. Aktivis gay dan telah hidup selama 18 tahun dengan pasangan homonya ini, memperkirakan secara nasional jumlahnya mencapai 1% dari total penduduk Indonesia. (Gatra,2003).
Sejarah Gay di Indonesia
Tanggal 1 Maret 1982, organisasi gay resmi terbuka pertama di Indonesia dan Asia dengan nama “Lambda Indonesia”, dengan sekretariat di Solo. Dalam waktu singkat terbentuklah cabang-cabangnya di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan tempat tempat lain. Terbit juga buletin G: gaya hidup ceria (1982-1984). Akibat dari munculnya organisasi Lambda Indonesia, di tahun1992, terjadi ledakan berdirinya organisasi-organisasi gay di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar. Juga di tahun 1993 Malang dan Ujungpandang menyusul.
Pada tahun-tahun selanjutnya, kaum gay makin banyak mendirikan organisasi dan komunitas, hanya saja belum berani unjuk diri secara terang-terangan ke masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun, akhir-akhir ini fakta itu bergeser. Pasalnya, acara-acara TV yang menampilkan sosok gay semakin banyak. Kebanyakan dari mereka muncul untuk “menginformasikan” kehidupan kaum gay kepada masyarakat.
Salah satunya acara Empat Mata yang dibintangi oleh komedian Tukul Arwana. Pada tanggal 16 Mei 2007, Empat Mata menghadirkan seorang gay yang bernama Dede. Dede hadir menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar dunia gay. Muncul nya Dede ini dinilai oleh sebagian pihak sebagai tanda-tanda bahwa masyarakat Indonesia mulai menerima kehadiran kaum gay, atau setidaknya mulai tumbuh rasa ingin tahu tentang kehidupan kaum gay.
 Orang yang membenci kaum gay biasa disebut Homophobia. Reaksi kaum Homophobia apabila bertemu gay ataupun berada di lingkungan gay adalah merasa tidak tenang, gelisah, khawatir, takut tertular “penyakit homoseksual”, merinding dan tidak sedikit yang langsung kabur dan menjauh. Namun ada juga kaum Homophobia yang sampai mengisolasi dan memprovokasi masyarakat untuk menjauhi kaum gay.
Dewasa ini, sebagian besar masyarakat masih melihat kaum gay sebagai sesuatu yang keluar dari koridor heteronormativitas. Perilaku gay bahkan dianggap sebagai penolakan terhadap takdir. Dalam kehidupan nyata, keberadaannya senantiasa disingkirkan dan dibedakan dengan heteronormativitas.
Gay merupakan sebuah identitas yang dialamatkan pada seorang laki-laki yang mempunyai pola hubungan cinta, kasih sayang, dan erotisme seksual pada sesama laki-laki. Sebagian besar dari mereka masih menutupi identitas seksual yang sebenarnya, karena banyaknya konsekuensi buruk yang akan mereka terima ketika harus mengakuinya. Dengan berbagai siasat, hingga kini mereka bisa teta mempertahankan identitas seksualnya.

Gay di kalbar
Di kalimantan barat, khusus di kota pontianak kaum gay sudah mulai menunjukkan identitas diri mereka. Meski hanya melalui dunia maya seperti facebook. Dari data penelusuran yang diperoleh penulis hingga awal bulan desember, sebanyak 488 orang yang tergabung dalam group akun facebook Gay Pontianak. Di dunia maya mereka bisa lebih bebas berekspresi, dibandingkan di kehidupan nyata. Mereka saling mengenal, kemudian tukaran nomor handphone dan tak jarang ada diantara mereka langsung ketemuan. Dalam hal ini mereka jarang menggunakan nama asli. Agar tidak ketahuan mereka cenderung menggunakan nama samaran, baik dalam akun facebook maupun dalam berinteraksi. Demikian pula dengan foto profil yang mereka pasang di facebok, mereka lebih suka menggunakan foto syur, seperti bertelanjang dada dan lain sebagainya. Namun, ada pula yang menampilkan nama dan foto aslinya.
Di Pontianak mereka memiliki tempat untuk nongkrong atau tempat untuk santai di malam hari. Bahkan tempat untuk mereka saling bertemu sesama Gay. Menurut salah seorang narasumber yang Gay, tempat untuk mereka nyantai di pontianak ini adalah di Ambalat Caffe, Tisya Caffe dan Hyundai Caffe. Mereka hanya nongkrong dan ngobrol-ngobrol biasa saja.
Salah seorang Gay tidak mau namanya dicantumkan yang ditemui penulis dalam sebuah caffe di pontianak mengaku bahwa pada awalnya dia bukanlah seseorang penyuka sesama jenis. Namun ia sudah terlanjur masuk dalam dunia Gay. “kejadian nya sudah setahun lebih. waktu itu ada teman aku dari sambas nginap di rumah, pas waktu malam nya aku langsung di setubuhi sama dia, semenjak itu juga kami berdua pacaran. Sampai sekarang lah ni aku jadi gini”, ungkap pria berumur 28 tahun itu.

Apa kata para ahli tentang mereka?
Drs. Mukhlis, M.si, seorang sosiolog Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjung Pura, Pontianak mengakui bahwa tidak dapat dipungkiri di era globalisasi ini perkembangan homoseksual sangat pesat. Beliau menilai bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu penyebabnya. Fenomena gejala penyakit masyarakat, yaitu homoseksual ini menurutnya perlu penanganan dari berbagai pihak. Orang tua merupakan aktor yang paling penting dalam hal ini. Beliau juga menilai bahwa kaum homoseks ini sering mengganggu ketenangan masyarakat pada malam hari.
“homoseksual ini merupakan salah satu gejala di dunia modern yang membuka jati dirinya ke hal-hal yang baru. Tapi hal ini sudah ditunjukkan pada jaman nabi Nuh. Dari perspektif sosiologi Agama, ini menunjuk pada ciri-ciri dunia kiamat”, ungkapnya pada Miun (12/12).

Pendapat hampir senada terlontar dari seorang dosen Sosiologi Hukum fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjung Pura Pontianak, Yulianti S.H yang mengatakan bahwa homoseksual adalah fenomena yang mau tidak mau harus ada di masyarakat. Menurutnya perkembangan homoseksual di kota pontianak belum terlalu nampak terlihat di permukaan, namun tidak dapat di pungkiri komunitas mereka memang ada. Beliau melihat perilaku seperti itu terbentuk dari pola asuh keluarga dan karena kurangnya perhatian dari orang tua. Beliau juga memandang bahwa perilaku homoseksual secara langsung memang tidak mengganggu, namun perilaku seperti ini tidak dapat di lolerir karena melanggar secara moral dan perilaku mereka tergolong bersifat aneh bagi orang normal pada umumnya. “saya pribadi menolak”, ujarnya. Karena memang ada ciri-ciri tertentu yang menggambarkan bahwa mereka adalah homoseksual. “Dari sisi hukum, saya kira sudah jelas ‘bahwa segala perbuatan yang menyimpang itu dilarang oleh kaidah-kaidah hukum’. Cuma bagaimana agar tindakan melanggar ini tidak terjadi secara terus menerus, saya rasa tidak hanya aparat penegak hukum saja yang dilibatkan tetapi juga seluruh masyarakat. Tetapi yang paling penting adalah keluarga”, tuturnya kemudian.

Pendapat berbeda terdengar dari dosen Syf. Ema Rahmaniah, MBA.Ed, menjelaskan jika dilihat dalam konteks kemanusiaan bahwa hidup adalah pilihan. Dan kaum homoseksual mempunyai pilihan tersendiri yang mungkin berbeda dengan harapan kita. Namun, mereka memiliki potensi yang luar biasa. “Saya melihat dari sisi kemanusiaan, mereka adalah masyarakat kita dan mereka adalah bangsa kita. Jika berbedapun tidak semestinya harus menghapus mereka, harus memerginalkan mereka. Karena isu minoritas dan mayoritas itu harus kita hapuskan ”, ungkapnya kepada miun.
Beliau melihat sejauh ini kaum homoseksual tidak pernah mengganggu kehidupan masyarakat secara fisik seperti, tindakan kriminal pelecehan seksual dan sebagainya. Ia juga mengatakan dalam hal ini masyarakat hanya merasakan kebisingan psikologi, aktivitas kaum homoseksual ini mungkin mengganggu kebisingan psikologis mereka. Namun, perlu di garis bawahi mengenai aktivitas ini, banyak terdapat aktivitas kemasyarakatan mereka yang bersifat positif misalnya:mereka mengadakan konser amal untuk korban bencana, mereka mengadakan suatu pelatihan dan lain-lain. Yang mengganggu itu adalah aktivitas seperti tawuran dan pergaulan bebas yang ternyata mengganggu aktivitas masyarakat. Jadi bagaimana kita saling menghormati “jika mereka meminta dihormati pilihan mereka, mereka juga harus menghormati pola kehidupan yang sudah ada disekitar masyarakat mereka. Saya rasa jika sudah seperti itu, tidak akan ada istilah mengganggu baik secara fisik maupun psikis”, ungkapnya.
Dari perspektif pendidikan beliau mengungkapkan bahwa pemahaman kita tentang peran gender perlu direkonstuksi. Gender ini tidak berorientasi kepada jenis kelamin atau seksual. Dalam hal ini bagaimana kita menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan nilai-nilai toleransi terhadap mereka yang berbeda. “Artinya kewajiban kita bersama membentuk menciptakan nilai-nilai character building”, tuturnya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar