Sabtu, 13 Oktober 2012

bingkisan terakhir untuk ayah



Bingkisan Terakhir Untuk Ayah
By: Nikodemus Niko

            Birunya langit yang menyatu dengan laut dihiasi kilau cahaya mentari pagi ini sungguh menakjubkan setiap insan ciptaannya. Sebongkah batu besar menambah semerbak indah pantai kura-kura beach di pagi ini. Lambaian daun kelapa ditepi pantai seakan kudapatkan dari seseorang yang pernah hadir dalam hidupku. Angin berdesir menembus tulang belulangku yang terasa lelah.
            Perlahan ku buka kedua mataku yang mulai redup bersama nyanyian ombak di tepi pantai. Aku masih merenung, kebingungan. Kemana lagi kaki ini kan hendak melangkah. Tak ada lagi dia yang dahulu selalu menemaniku. Semua berlalu bersama kenangan yang kini telah usang. Aku rapuh, tak ada gairah lagi tuk jalani hari-hari.
            “hai, sendirian aja nih”, sapa ardi yang sedari tadi memperhatikan ku.
“iya nih, Ar. Adek aku belum pulang sekolah, makanya aku sendiri aja”, jawabku pada ardi.
“oh, gitu ya. Boleh aku temenin nggak?”, ardi mencoba menawarkan dirinya.
“oh, tentu boleh lah, Ar”, jawab ku lagi.
Meski sudah ada ardi yang menemaniku, pikiranku masih menerawang jauh tanpa arah. Aku masih tertegun dalam lamunan yang tak kunjung berujung kurasakan.
“aku masih ingat masa-masa kita kecil dulu lho Rin”, Ardi sambil menatap wajahku.
“Rin, Rina. Kamu kenapa?”, Ardi melambaikan tangan kanannya ke arah mataku.
“oh, eh. Iya, Ar. Kenapa?”, aku yang sejak tadi terdiam dalam lamunan tersentak kaget. Sambil ku menyusup air mata yang tak ku rasakan meleleh di pipiku.
“kamu menangis Rin? Kamu kenapa?”, Ardi terlihat panik dengan wajah yang serius.
“aku tidak apa-apa kok Ar. Tadi mata aku kelilipan. Ada sampah ndak?”, aku mengelak sambil mencari-cari alasan dengan berpura-pura menunjukkan mataku.
“Rina, aku kenal kamu dari kecil. Kita temanan bukan hari ini dan kemarin, tetapi sejak kita masih kecil. Aku tahu siapa kamu Rin, kamu ada masalah? Cerita sama aku Rin”, Ardi berusaha menenangkan perasaanku yang tiba-tiba ingin kuluapkan. Aku langsung rebahkan kepalaku di dada bidang Ardi, sahabat yang selalu ada dikala aku punya masalah. Aku tumpahkan tangisku yang tak bisa ku redam lagi.
“maafkan aku Ar. Aku jadi cengeng kayak gini”, aku melepaskan diri dari pelukan yang seketika membuatku merasa nyaman.
“nggak apa-apa kok, Rin, kamu cerita ma aku, kamu ada masalah apa?”, Ardi berusaha mencoba tuk tahu apa yang sedang terjadi pada diri aku.
“aku belum bisa cerita sekarang Ar, maafin aku”, aku sembari mebuang muka dari ardi.
“o, ya tadi kamu bilang apa Ar. Tentang masa kecil kita”, aku berusaha tuk mengalihkan pembicaraan.
“iya, aku kangen masa-masa kita waktu kecil dulu. Setiap hari sabtu dan minggu kita selalu sama-sama berjualan manisan di pantai”, Ardi berusaha menerawang masa lalu yang seolah masih menari di pelupuk matanya.
“hahahaha. Aku juga sangat merindukan masa-masa itu Ar”, aku sambil tertawa renyah. Masa kecil itu tak pernah kulupakan sedikitpun dalam hidupku. Menjadi seorang anak pantai yang berjuang setiap hari untuk mendapatkan sesuap nasi. Berjualan manisan buah-buahan ditemani sengat terik mentari pantai, membuat semangatku tak pernah surut tuk berjuang dan belajar.
Dari situlah awal kisah ku bermula. Waktu itu umurku 14 tahun. Saat ku menawarkan daganganku kepada sepasang turis asing. Mereka tidak terlalu pandai berbahasa indonesia.
“manisan nya pak, bu”, ucapku pada kedua orang bule itu.
“what do you say?”, sahut salah seorang dari mereka.
“oh, iya”, aku yang tak mengerti apa yang diomongkan orang itu langsung ingin beranjak pergi.
“hey, where are you going?”, orang itu tiba-tiba menghadang langkahku.
“kemu mau pegi kemena?”, kata orang bule itu seperti anak TK yang lagi belajar ngeja saja.
“saya mau berjualan disana”, jawabku sambil menunjuk ke arah orang ramai.
“jangan pegi dulu”, yang perempuan nya ikut seperti anak TK juga. Mereka seperti mahkluk luar angkasa yang tidak aku mengerti sama sekali bahasanya.
“you, kemu kelas berapa school, sekolah?”, masih saja orang itu seperti nenek-nenek kehilangan tongkat.
“saya kelas dua SMP”, sahutku dengan lantang.
“kemu mau jadi anak kemi?”, mereka menunjukkan diri mereka, aku malah jadi bingung sendiri maksud orang bule itu.
“mau”, jawabku polos. Aku yang tidak mengerti apa-apa, langsung kubawa mereka pulang kerumahku yang tidak terlalu jauh dari bibir pantai.
“maaf rumahnya jelek”, ucapku sambil tertawa pada kedua bule itu. Mereka malah ikutan tertawa sambil bilang “Oh”. Mungkin mereka tidak mengerti dengan apa yang aku ucapkan. Setelah mereka berpanjang lebar berbicara pada bapakku, karena sejak kecil ibuku sudah pergi jauh meninggalkan kami semua.
            Aku dibawa ke pontianak oleh sepasang bule itu. Mereka adalah duta dari belanda yang ditempatkan diwilayah kalimantan barat. Mereka belum mempunyai anak, sehingga rumah dinas mewah yang mereka tempati di jalan Ahmad Yani itu tampak sepi tanpa anak-anak. Semenjak itu aku dibiasakan untuk hidup mewah, tetapi aku merasa didalam darah aku mengalir darah pesisir pantai yang tak bisa untuk aku ubah. Aku tetap menjadi diri aku sendiri, mencuci pakaian sendiri, membersihkan rumah, dan kegiatan lainnya. Mereka semakin menyayangi aku. hingga saat aku berumur 18 tahun, pertama kali aku masuk di perguruan tinggi ternama di Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjung Pura, Pontianak. Aku tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran. Aku tidak pernah bermimpi untuk bisa duduk di bangku kuliah, apalagi bisa masuk di Fakultas Kedokteran. Sering aku menangis sendiri, mengenang nasibku lima tahun lalu.
            Saat tiba waktu liburan semester, aku selalu pulang mengunjungi ayah dan adik-adikku. Itulah waktu untukku melepaskan segala kerinduan ku pada mereka. Mencurahkan kepenatan yang kulalui di kota pontianak.
“ayah sekarang jangan melaut lagi yah”, aku mengingatkan ayah yang dahulunya selalu melaut untuk mencari rupiah untuk pendidikan kami.
“iya, Rin. Ayah sudah tidak pernah melaut lagi semenjak kamu tinggal di pontianak. Siapa yang jaga adik-adik kamu?”, ayah masih tetap seceria dulu. Senyum indah yang dulu masih bisa kudapatkan hingga sekarang.
“kan setiap bulan, orang tua angkatmu selalu mengirimi ayah uang”, ucap ayah kemudian.
“iya, ayah jangan sering capek. Rina tidak mau ayah sakit saat Rina tidak ada di samping ayah”, aku tampak menunjukkan raut wajah sedihnya karena harus berpisah lagi dengan orang-orang yang ia cintai.
“doakan Rina ya, yah”, ucapan terakhir itu mengiringi deru suara mobil ku meninggalkan rumah ayah yang kini sudah berdiri kokoh, tegap meski nampak sederhana.
“doa ayah selalu menyertaimu Rin”, ayah berucap dalam hati yang seakan ikut menggetarkan hatiku.
            Tugas akhir membuat ku sibuk dan tak sempat untuk mengetahui keadaan ayah dan juga adik-adikku. Tetapi kadang aku sms mereka, namun tidak terlalu sering. Menjadi dokter pendamping di rumah sakit Antonius adalah suatu kebanggan buat aku. Selain membantuku menyelesaikan skripsi, aku juga selalu mendapatkan uang tambahan dari pihak rumah sakit. Mungkin hanya sebagai penghargaan saja. Target ku, tiga bulan lagi aku harus wisuda dan mendapatkan gelar Dokter.
            Berbagai praktek selalu menyibukkan ku, hingga aku tidak mengetahui kalau ayah sedang sakit di kampung. saat adik-adikku sms yang mengabarkan bahwa ayah sedang sakit, aku hanya balas “jangan lupa suruh minum obat dan periksa ke dokter”. Aku tidak tahu kalau ayah menderita penyakit kronis yang sudah parah.
            Penyelesaian skripsi ku sudah memasuki tahap akhir, sehingga aku tidak punya waktu untuk orang lain, bahkan diriku sendiri. Aku sering telat makan, bahkan sempat juga sakit-sakitan. Sehingga membuat orang tua angkatku panik. Detik terakhirku menghadapi sidang skripsi membuat sekujur tubuhku dingin. Aku tidak tahu entah kenapa semua bisa terjadi.
Di ruang dan waktu yang berbeda, terbaring sosok ayah yang kini telah menjadi jenazah. Sosok yang pantang menyerah, sosok yang selalu tersenyum dalam keadaan sesulit apapun.
Detik bahagia ku memperoleh gelar dokter, beriringan dengan terhentinya nafas ayah berhembus di dunia ini. Aku girang, aku bangga, aku bahagia, semua rasa membaur dalam jiwaku saat itu. Tak dapatku ungkapkan dengan kata-kata apa yang terjadi.
            Seketika ria itu terhenti, dunia kini terbolak saat ku lihat ada puluhan kali missed call. Saat ku baca salah satu sms dari adik ku yang mengatakan bahwa ayah telah meninggal dunia. Semua bahagia ku tiba-tiba menjadi sebuah ledakan tangis. Tak ada yang lebih berarti dalam hidupku selain saat ku lihat senyum ayah ketika aku memperoleh gelar Dokter. Tetapi semua pupus, sirna tanpa bekas.
Aku langsung bergegas menuju kampung halaman ku tercinta. Tak kuhiraukan lagi siapapun. Di sepanjang perjalanan aku tak bisa menahan air mata.
            Ku langkahkan kaki gontai saat tiba didepan rumah ayah. Dari kejauhan tampak sosok yang tak asing dimataku, kini telah terbungkus kain putih. Aku menangis, aku terpukul.
“ayah, Rina sekarang sudah jadi Dokter beneran yah. Bangun yah, dengarkan Rina bercerita”, aku terisak dalam tangis sembari mengguncang-guncangkan jenazah ayah.
“ayah, bangun yah. Rina punya hadiah buat ayah, rina sayang ayah. Maafkan rina yah. Rina tak berada di samping ayah saat-saat terakhir ayah”, aku terus menangis tanpa henti. Aku menyesali semua yang terjadi hanya dengan tetesan air mata.
            Aku tidak akan pergi kemanapun lagi, setelah menyelesaikan studi ku dan mendapatkan gelar Dokter. Aku memilih untuk tinggal di kampung halamanku. Aku akan mengabdi disana. Untuk ibuku, untuk perjuangan ayahku. Aku tidak pernah membayangkan aku yang dahulu adalah penjual manisan, kini telah berdiri tegap menjadi seorang dokter yang siap mengabdikan diri kepada masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar