Jumat, 03 Juni 2016

Dimana Letak Kehadiran Negara?

Joko Widodo--Presiden Republik Indonesia
Source: http://gumilang.me/1302/profil-dan-biodata-joko-widodo-atau-jokowi/

“Kabinet Kerja” pada masa kepemimpinan Jokowi telah membangun citra positif bagi parlemen. Nawa Cita yang kemudian dibangun melalui elaborasi media massa, menempatkan kepemimpinan Jokowi di puji puja berbagai kalangan; mulai dari kalangan tukang sayur dan pemulung hingga kalangan elit. Pada prinsipnya, Nawa Cita membangun visi “menghadirkan kembali negara” dalam berbagai persoalan di negeri ini. Selain itu Nawa Cita juga membawa esensi “membangun dari pinggir”.
Permasalahan yang kemudian muncul yaitu, mengapa harus “menghadirkan kembali negara,” apakah selama ini negara tidak pernah hadir dalam mengatasi persoalan negeri? Menurut pandangan saya, tidak juga. Memang kehadiran negara saat kekuasaan rezim orde baru terepresentasi dalam tubuh militer, dimana terdapat hubungan yang tidak harmonis antara civil society dengan military society.

Sejarah politik yang panjang untuk kemudian membangun era demokrasi dan kebebasan informasi masa kini. Meski demikian, praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sebagai warisan dari orde baru masih tetap langgeng hingga sekarang. Pertanyaan kita bersama adalah sejauh mana negara hadir dalam mengatasi hal ini?
Kehadiran negara kemudian terepresentasi dengan kehadiran lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Tetapi nepotisme dan kolusi bahkan korupsi masih menjamur di berbagai lembaga pemerintahan. Perselisihan antar lembaga negara; Polri-KPK, atau TNI-Polri, ditambah lagi oknum elit yang bermental instan, yang menggunakan jalan pintas untuk on stage. Hal ini sudah cukup untuk melunturkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga pemerintah; dalam artian lain bahwa negeri ini sudah mengalami krisis kepercayaan.
Era Jokowi, hal yang sama juga masih terjadi. Sehingga Nawa Cita yang dideskripsikan sebagai “menghadirkan kembali negara”, menurut saya terlalu berlebihan. Apa yang terjadi? Arogansi aparat terhadap masyarakat sipil yang baru-baru ini terjadi, sebagai akibat ketakutan munculnya paham dan kelompok Kiri. Apakah ini sebagai bentuk penghadiran negara? Mengapa negara tidak hadir dalam penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) di negeri sendiri? Negeri ini memiliki sumber alam terbesar nomor delapan di dunia. Namun semua sudah di kuasai asing, terbukti bendera Amerika, bendera Inggris, bendera Kanada, dan beberapa negara lain, berkibar di titik-titik penguasaan alam Indonesia. Negeri ini sudah dibawah kendali UN (United Nation), dan atau WTO (World Trade Organisation). Mengerikan!
“Membangun dari pinggir” misi ini juga terbangun di era Jokowi. Tetapi yang terjadi desentralisasi pembangunan masih terjadi. Pembabatan hutan di Kalimantan, Sumatera, dan wilayah lain untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit, bahkan di legitimasi sebagai pembangunan. Kemudian yang terjadi adalah lingkungan rusak, rakyat miskin masih berkutat dengan kemiskinannya. Esensi pembangunannya untuk siapa? Dimana letak kehadiran negara dalam masalah ini?
Kemiskinan melanda begitu dahsyat di negeri ini, benih-benih etnosentrisme mulai terbangun dengan adanya otonomi, dan negeri ini berada dalam lilitan hutang luar negeri (cyrcle of debt). Sementara anak-anak muda kita terbuai oleh arus modernisasi yang diciptakan oleh negara-negara kapital. Negeri kita dalam bahaya, karam jika anak-anak muda saling mengkotak-kotakkan diri. Pilihannya adalah larut atau hanyut? Jika masih bisa berenang, mari kita berenang bersama-sama.

*Opini: Nikodemus Niko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar