Senin, 09 Mei 2016

Pembagian Tanah Gratis di Kalimantan: Pengabaian Hak Rakyat Lokal

Oleh: Nikodemus Niko

Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Universitas Padjajaran

Sumber: www.triptrus.com

Program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah pusat dengan mendatangkan penduduk dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan sudah berlangsung sejak lama; sejak masa pemerintahan orde baru. Mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan, pemerintah cukup berhasil menekan angka penduduk di pulau Jawa, salah satunya dengan adanya program transmigrasi. Pulau Jawa memiliki tanah yang subur untuk lahan pertanian, namun mengapa banyak rakyat pulau Jawa yang harus “diungsikan” ke pulau Kalimantan? Merujuk pada Undang-undang nomor 3 Tahun 1972, bahwasannya transmigrasi memiliki tujuan demografis, tujuan ekonomi dan pembangunan, serta tujuan pertahanan keamanan.

Produk riil bernama pembangunan itulah yang menggiring transmigrasi tetap eksis sampai sekarang, sampai-sampai menawarkan tanah gratis bagi transmigran yang akan menempati wilayah perbatasan RI-Malaysia di sepanjang pulau Kalimantan. Apakah ini solusi baru dari pembangunan yang dilangsir oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi? Dengan memberikan tanah gratis seluas 0,25 hektar (2500 m2) sebagai lokasi tinggal dan 3 hektar tanah untuk berkebun, per kepala keluarga. Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi, Marwan Jafar mengatakan “baik lahan perkarangan maupun lahan usahanya berstatus dan bersertifikat sebagai hak milik” (Detik News, 25/05/2015).
Lalu, bagaimana nasib masyarakat lokal yang juga bermukin di wilayah perbatasan? Apakah mereka juga mendapatkan tanah gratis dan lahan usaha gratis? Jawabannya adalah “Tidak”. Boleh di hitung jumlah penduduk perbatasan yang memiliki sertifikat tanah dan sertifikat usaha. Dalam hal ini hak mereka terabaikan, dimana masyarakat lokal tidak mendapatkan perhatian khusus pemerintah; dimana kemiskinan masih banyak terjadi. Pengembangan usaha dan segala macam fasilitas didapatkan oleh transmigran semenjak meninggalkan kampung, sementara hal yang sama tidak didapatkan oleh masyarakat lokal. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan semacam kesenjangan (gap) sosial yang tajam di antara masyarakat lokal dan para transmigran, kondisi seperti ini dapat merupakan salah satu sumber dari apa yang disebut sebagai kecemburuan sosial (Otto, et. al. 1991; Sugihen, 1997).
Sebagai akibat dari kesenjangan sosial yang terjadi, potensi konflik muncul perlahan namun pasti. Berkaca pada kasus transmigran eks-gafatar di Kalimantan Barat, gap antara masyarakat transmigran dengan masyarakat lokal tercipta oleh lingkungan mereka sendiri. Dimana area perkampungan eks-gafatar di beri portal agar masyarakat lokal tidak masuk, hubungan sosio-kultural yang tidak harmonis tercipta di antara mereka. Sehingga terjadi konflik horizontal yang sudah mengarah pada kekerasan budaya (cultural violence). Galtung memberi definisi kepada kekerasan budaya: “kekerasan budaya adalah aspek-aspek dari kebudayaan, ruang simbolis dari keberadaan masyarakat manusia—dicontohkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan formal (logis, matematis)—yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan struktural dan langsung” (Galtung, 1990; Susan, 2010) Pembelajaran penting bagi program transmigrasi bahwa program ini sudah lama gagal namun tetap dipaksakan keberlangsungannya.
Masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan di Kalimantan merupakan penduduk asli etnis Dayak, mereka masih hidup dengan berkebun dan bertani; dalam hal ini hidup mereka bergantung pada tanah dan alam. Sementara pada program transmigrasi yang dirancang oleh pemerintah, mendorong para transmigran di sektor perkebunan; dimana kelapa sawit menjadi komoditas utama yang ditanam di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Apakah pemerintah tidak memikirkan dampak berkepanjangan yang terjadi? Semisal saja, pembabatan hutan asli untuk dijadikan wilayah perkebunan sawit. Apakah pembangunan semacam ini yang dikehendaki pemerintah? Pembangunan yang tidak memperhatikan dampak ekologis serta dampak sosiologis yang berkelanjutan.
Kebijakan pemerintah sudah seharusnya memihak pada rakyat dan untuk kemakmuran rakyat, dalam hal ini kebijakan pembagian tanah gratis untuk program transmigrasi merupakan salah satu pengabaian hak-hak rakyat lokal yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun mendiami tanah di Kalimantan. Adakah hak mereka untuk tidak menyerahkan “Tanah Kalimantan” kepada transmigran? Namun ketidakberdayaan rakyat lokal adalah karena ini merupakan program pemerintah yang mengatasnamakan negara, sehingga tanah yang ada adalah milik negara, oleh karenanya rakyat lokal tidak berdaya di tanah mereka sendiri. Mengapa pemerintah tidak memberi keleluasaan dan kemudahan kepada rakyat lokal untuk mengurus dan mendapatkan sertifikat tanah? Mengapa pemerintah tidak menyerahkan pengelolaan lahan yang ada kepada masyarakat lokal saja? Membina sumber daya lokal baik SDA maupun SDM yang ada, kemudian dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat lokal itu sendiri. Bukankah ini esensi pembangunan yang sebenarnya; dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Hubungan antara manusia (dalam hal ini masyarakat lokal—etnis Dayak) dengan tanah leluhur mereka sangat erat, sehingga masih terbina ritual-ritual adat yang digunakan apabila membuka lahan untuk bertani. Sistem pertanian yang berlangsung selama ini pun masih sebagai way of life, yang artinya adalah produksi usaha bertani digunakan hanya untuk konsumsi sendiri dan keberlangsungan hidup, bukan untuk di jual. Tradisi, budaya serta adat istiadat pada masyarakat lokal kemudian bergeser sebagai akibat lingkungan yang terbatas. Sementara kehidupan mereka masih pada taraf yang sama; miskin.
Kemudian kehadiran transmigran tidak akan membawa perubahan apapun terhadap masyarakat lokal yang miskin, selain mereka akan merasa termarjinal atau terpinggirkan, tanah dan hutan yang mereka jaga serta mereka rawat bertahun-tahun dijadikan lahan perkebunan sawit untuk para transmigran; tidak ada lagi hutan dan binatang liar. Apa mungkin terdapat agenda politik yang terjadi antara investor dan birokrat yang bersembunyi di balik program yang bernama transmigrasi itu? Di satu sisi, ketika rakyat diam; mereka akan semakin tertindas dan tak berdaya, namun di sisi lain, ketika rakyat berdemo untuk meminta keadilan, mereka dituduh anti pembangunan. Bagai makan buah simalakama, bukan? Terpenjara dalam derita pembangunan.
“Program transmigrasi hingga lima tahun ke depan (2015-2019), difokuskan menjadi garda terdepan dalam mewujudkan desa-desa mandiri dengan melakukan pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi” begitu ujar Nawar Sanusi, Sekjen Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (JPNN, 06/10/2015). Perwujudan nyata program ini di pulau Kalimantan sudah jelas-jelas menimbulkan konflik komunal yang bersifat laten dalam masyarakat; lokal dan transmigran. Terjadi konflik etnis pada tahun 1998, dan terjadi konflik horizantal antar masyarakat Gafatar dengan masyarakat lokal di sekitar area kampung transmigran. Lalu, pertanyaannya dimana letak kesuksesan program ini dalam membangun peradaban manusia? Jika yang terjadi justru malah sebaliknya; humanity crisis.
Marwan Jafar juga mengatakan bahwa pihaknya (Kemendes) mempunyai target 40 juta orang transmigrasi untuk berpindah ke wilayah perbatasan Kalimantan (Merdeka, 8/05/2015). Apakah kebijakan ini sudah dipertimbangkan atas keinginan masyarakat setempat (Kalimantan)? Merujuk program yang berdalih pada kesejahteraan rakyat ini, sudahkah pemerintah memikirkan penyelesaian kemiskinan yang terjadi di sepanjang pedesaan di wilayah Kalimantan? Problematika kemiskinan yang terjadi tidak akan dapat terselesaikan, jika program transmigrasi terus menerus terjadi terhadap pengabaian hak-hak rakyat lokal yang notabene-nya hidup di bawah garis kemiskinan. Bukankah konsep pembangunan sendiri berpijak pada azas keadilan? Lalu, keadilan semacam apa yang di terima masyarakat lokal; jika tanah dan sawah serta hutan mereka di ambil alih oleh negara, kemudian di bangun dinasti perusahaan sawit bagi masyarakat imigran.
Jelas cukong-cukong pembangunan bermain di balik agenda ini, pelacur-pelacur pemerintahan bebas membubuhkan tanda tangan di atas kertas putih bermaterai sebagai kontrak politik; antara kapitalis dan birokrat. Dan lagi-lagi rakyat kecil terabaikan dalam penentuan kebijakan. Adilkah? Tentu tidak, dan mereka yang menerima ketidakadilan tidak dapat berbuat apa-apa. Toh, itu tanah milik negara (tidak ada sertifikat resmi) dan rakyat lokal bagai turis di negeri sendiri, hanya sebagai penyewa sementara (bayar pajak tanah). Sementara untuk membuat sertifikat tanah mereka tidak memiliki cukup uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar