Kamis, 27 Agustus 2015

Manusia Tanpa Kelamin—Tiada Yang Bisa Mengatur Tubuhku Selain ‘aku’ Sendiri


Jenis Kelamin itu tidak bisa didefinisikan dengan sebuah CD (celana dalam)

Malam semakin sayup menerpa kelopak dinding-dinding rumah yang terbuat dari bambu—pelapor’o begitu masyarakat subsuku dayak mali menyebutnya. Rembulan mulai menampakkan dirinya, menyapa lelahku yang tak telah terbayar lunas ketika tiba di kampung halamanku. Pejalu, demikian nama kampung yang tidak terlalu dikenal banyak telinga itu. Entah bagaimana filosofi nama itu, aku pun tidak begitu banyak tahu. Aku pernah mendengar cerita ayahku, kalau kampung kami dahulunya adalah tempat persinggahan pasukan belanda. Di hulu sungai kampung ada tempat persembunyian bernama Kemawang’k Tayan, dimana pasukan belanda melepas penat dan beristirahat menginap.

Kampung pejalu merupakan satu diantara kurang lebih sepuluh kampung yang terdapat di Desa Cowet. Letaknya berada di daerah pedalaman Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. 100% masyarakat yang menghuni kampung Pejalu merupakan Suku Dayak subsuku Dayak Mali, yang mana suku asli ini 100% ber-agama katolik. Meski demikian mereka tetap mempertahankan adat budaya leluhur mereka yang ditinggalkan sejak zaman dahulu kala. Agama adalah agama, adat adalah adat, saling berdampingan dalam kehidupan Dayak Mali. Tak jarang pula ada perempuan Dayak Mali yang menikah dengan suku lain kemudian berpindah agama, namun mereka menerima siapa saja dengan tangan terbuka.
Ah, bukan tentang kampung ku ini yang ingin kuceritakan dalam tulisan ini. Lain waktu saya pasti akan menceritakannya lebih detail bagaimana hutan dan manusia saling menyatu dalam irama kehidupan yang asri, begitulah yang kurasakan selama ini. Namun sayang beribu sayang belum ada yang dapat mengabadikan keindahan itu. Suatu saat pasti kubercerita, pasti.
Adalah sebuah kampung yang tidak jauh dari kampungku. Kira-kira setengah jam jika berjalan kaki melalui jalan hutan (pada umumnya jalan dari kampung menuju kampung lain memiliki jalan melalui hutan belantara yang disebut bantes). Disana hidup seorang manusia yang tidak memiliki kelamin—karena itu aku tidak menyebutnya ‘seorang perempuan atau seorang laki-laki’. Banyak yang bilang “Kasihan”, tapi apa yang harus dikasihani? Toh, dia merasa tidak terganggu atas apa yang terjadi dalam dirinya. Tidak ada yang berbeda, tidak ada yang lain, dia sama seperti manusia lainnya. Hanya saja sifatnya lebih keibuan, oleh karena itu ia amemilih untuk menjalani  peran sebagai seorang perempuan. Dan seandainya pun ia memilih untuk menjadi seorang laki-laki, tidak akan menjadi masalah apa pun bagi tatanan sosial apa pun. Sebut saja namanya Rindang, seorang perempuan Dayak Mali yang hingga kini tidak memiliki kelamin.
Meski sudah memilih peran sebagai seorang perempuan, Rindang tetap sering melakukan pekerjaan layaknya seorang laki-laki, seperti memperbaiki atap rumah, mencangkul di sawah, dan banyak pekerjaan laki-laki yang dikerjakannya (sesungguhnya tidak ada batasan untuk klasifikasi pekerjaan untuk laki-laki atau untuk perempuan, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki tubuh dan peran yang sama—meski saya yakin jika diperdebatkan dalam forum mana pun, pendapat saya ini sangat mudah dipatahkan oleh kaum agamawan atau theolog). Rindang sebagaimana manusia pada umumnya, melewati masa kanak-kanak yang sama seperti anak lainnya—sekali lagi tidak ada yang berbeda dan tidak ada yang lain. Ketika beranjak dewasa, ia kemudian mengerti akan segala hal yang memang belum terketahui olehnya di waktu kecil. Yaitu tentang sesuatu yang hilang pada tubuhnya—kelamin.
Rindang hanyalah anak seorang petani miskin yang hidup serba pas-pasan. Jika ia memiliki orang tua yang kaya raya, mungki saja ia sudah operasi kelamin sejak ia masih kecil. Hanya saja kelamin yang akan dipasang pastilah tergantung yang ia kehendaki, karena pada dasarnya ia memiliki hak sepenuhnya atas tubuh yang ia miliki. Tetapi hal itu mustahil untuk dilakukan, sehingga Rindang hidup tanpa adanya kelamin. Jika ia ingin membuang air semua aktivitas hanya melalui lubang anus selama ini. Lalu, apakah dia menjerit? Mengatakan jika Tuhan tidak adil atas hidupnya? Tidak. Bahkan dia sendiri bahagia atas hidupnya.
Kemudian ia memilih untuk menikah dengan pemuda dari kampung lain yang menerima Rindang apa adanya—bukankah begitulah layaknya manusia saling menerima apa adanya. Jika saja kemudian Rindang memilih untuk menjadi seorang laki-laki, apakah sebuah kesalahan? Menurut saya, tentu tidak lah. Lalu bagaimana ia akan berhubungan seks pasca nikah? Tentu hal ini mengakar dalam pikiran masing-masing kita. Tentu tidak akan ada jalan lain, selain melalui anus. Dosakah? Haramkah? Jangan pandang atau tafsir hal ini dengan agama mana pun, karena fakta ini akan gugur seketika oleh perkataan-perkataan yang sudah terpelajari dan tersurat oleh para ahli agama.
Banyak orang mengatakan hal demikian adalah hidup yang tidak normal. Nah, ukuran dari sebuah ke-normal-an hidup itu sendiri apa? Apakah dengan menikahnya laki-laki dan perempuan lalu hidup normal—selesai. Atau kah perempuan berpakaian laki-laki dan bergaya seperti laki-laki, kemudian tidak normal—selesai. Tidak sesederhana itu untuk membangun persepsi dan konsep. Bagi saya semua sisi kehidupan siapa pun, tidak akan ada yang normal, semuanya tidak normal. Justru jika manusia dikatakan hidup ‘normal’ itu yang patut dipertanyakan (bagi saya aneh), karena normal itu berada pada ketidaknormalan itu sendiri.
Ambigu bukan? Iya, karena setiap manusia memiliki persepsi masing-masing dalam menilai hidup orang lain. Kembali kepada topik, saya pernah berpikir “bagaimana jika dahulu Rindang memilih jalan hidupnya sebagai laki-laki—meski tanpa kelamin?”, sudah pasti ia akan menikah dengan seorang perempuan. Tidak akan ada yang salah. Jika berbicara ‘kodrat’, bukan Tuhan yang menciptakan kodrat melainkan manusia itu sendiri, dengan adanya konstruksi-konstruksi sosial dan budaya yang sudah mengakar pada suatu kelompok. Saya sangat ingat dengan pelajaran agama yang saya dapatkan ketika saya duduk dibangku SMA, bahwa kodrat manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Sebagai contoh, kodrat perempuan: menyusui, melahirkan, dan bla, bla, bla. Bagi saya hal itu bukan Tuhan yang menciptakan, melainkan manusia yang mengkonstruksi aktivitas tersebut karena sudah melekat dalam diri seorang perempuan. Bagaimana jika Tuhan meng-kodrat-kan manusia ‘harus’ memiliki pendidikan? Kemudian salah siapa jika di negeri ini banyak orang yang tidak sekolah? Berarti negara mengkhianati kodrat Tuhan dong.
Saya memiliki teman laki-laki yang gayanya seperti perempuan, suka bersolek dan sifatnya seperti perempuan. Fisiknya adalah seorang laki-laki, tetapi naluri batinnya adalah seorang perempuan. Salahkah dia? Banyak yang mengatakan dia “tidak normal”, saya sempat bertanya ‘tidak normal dari segi mananya?’ mereka hanya melihat kemudian sesuka hatinya menilai. Kemudian dengan mudah mengatakan ‘kembalilah ke kodratmu’. Kodrat yang mana? Bukankah yang ia jalani sekarang adalah kodratnya sendiri? Lalu kemudian, banyak orang mengatakan karena salah bergaul, salah asuhan, salah ini dan itu. Bulshit! Yang salah itu adalah mereka yang menilai dengan salah. Jika kembali pada cerita diatas, bisakah kita mengatakan pada Rindang bahwa ia harus kembali pada kodratnya? Tidak akan bisa. Karena kodrat manusia pada hakekatnya adalah saling mengasihi, saling mencintai, saling menghargai satu dengan yang lainnya. Bukan justru menyalahkan ini dan itu, atau menyuruh untuk bertobat.
Tubuhku adalah tubuhku, tubuhmu adalah tubuhmu. Setiap orang memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Mau bergaya kemayu (laki-laki), atau bergaya perkasa (perempuan), toh tidak akan mengganggu hak hidup yang kamu dan mereka miliki. Aku, mereka dan juga kamu, memiliki hak hidup yang sama. Sama halnya dengan Rindang, penentu jalan hidup ada di tangan kita masing-masing. Bukan pada penghinaan, bukan pula pada pengucilan yang jelas-jelas merusak hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Lalu bagaimana dengan status kewarganegaraannya? Apakah dalam kolom sex/jenis kelamin di KTP dan surat-surat kewarganegaraannya menggunakan male/female? Jikan di negara Australia ada kolom  Sex: Not Specified, namun di negara Indonesia belum ada peraturan UU yang mengatur hal tersebut.


Oleh: Nikodemus Niko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar