Senin, 31 Agustus 2015

Aku: Ketika Cinta dan Takdir Saling Berbenturan




Kenapa lagi ini Tuhan? Aku hanya bisa melirih dalam hati, saat potongan-potongan kejadian tadi malam melintas dalam pikiranku. Iya, kau telah menikah dengan perempuan pilihan orangtuamu, didepan mataku. Kau pasangkan cincin dijari manisnya, merangkulnya erat, mencium keningnya mesra—sama ketika pertama kali kau memintaku untuk menjadi bagian dari hidupku. Menghujam hati ini dengan bilahan parang. Sakit. Perih.

Kembali air mata ini membasahi bantal yang kini setia menjadi sandaranku. Ah, memang hanya bantal ini yang menjadi saksi bisu kecewaku, perihku, terlukaku karena kau. Bukankah bantal ini pula yang menjadi saksi cinta kita selama ini. Saksi bisu yang sering menemani ketika kau mulai merayu, kita bercumbu. Mungkin jika ia berperasaan, aku yakin ia pasti akan menangis, sama sepertiku.

120 Hari yang Lalu
            “Selamat pagi Rizky sayang.”
            “Pagi juga sayang.”
            “Ini yuk, sarapan. Cuci muka dulu, gih!” aku sambil menghidangkan empat potong roti dan dua gelas susu untuk kami sarapan pagi ini.
            Dari belakang kau malah memelukku—hangat. Kau sandarkan dagumu tepat di bahuku. Mencoba merayu: mencumbuiku di pagi buta. Kau ingin mengajakku bercinta.
Ah. Aku hanya bisa terdiam. Menikmati rasa. Meresapi cinta yang saat itu benar-benar milikku, milikmu—milik kita. Tapi, aku tak ingin secepat itu menuruti nafsu. Cinta ini adalah ketulusan, bukan nafsu birahi. Kau dan aku bersama bukan atas dasar nafsu duniawi, melainkan cinta yang kini sama-sama kita miliki.
“Aku mencintaimu, Frans” Kau bisikkan kata itu tepat di telingaku. Menusuk dalam gendang yang terasa ingin berdendang—teduh.
Aku meraih kedua tanganmu yang sudah melingkar di pinggangku. Ingin aku melepaskan dekapanmu. Tapi kau malah menggenggam jari jemariku dengan sangat erat. Aku tak berdaya dengan sikap romantismu itu. Saat-saat seperti inilah yang nantinya akan aku rindukan darimu. Iya, suatu saat.
“Aku juga mencintaimu, Riz” suaraku memang tidak terdengar jelas. Aku grogi, nervous. Menahan napas, tidak beraturan.
“Maukah kau berjanji untuk tidak meninggalkan aku?” kutatap sepasang bola mata bening itu, kemudian kuselami bersama detak yang ada di dadamu.
“Iya, aku janji. Aku tidak akan meninggalkanmu”, kau bersungguh-sungguh.
Krrrrriinnnggggg....
Jam weker yang terletak disamping ranjang, tiba-tiba berbunyi begitu keras. Mencairkan suasana. Hmm, hanya jam dan bantal itu yang menjadi saksi bisu cinta kita. Sepasang kekasih yang menebarkan rona cinta disetiap sudut ruang asmara.

***

210 Hari yang Lalu
Rizki, cowok yang aku kenal tanpa sengaja itu memiliki tubuh atletis dan tinggi, kulit putih, berkumis tipis, serta berwajah tampan. Parfum yang selalu menebarkan aroma wangi tubuhnya, membuatku tak ingin lepas saat dia memelukku.
“Bangsat!” aku mengumpat saat mobil honda jazz berwarna merah metalic itu hampir menabrakku.
Sesaat mobil itu berhenti berhenti.
Sosok lelaki muda, berpakaian modis keluar dari daun pintu yang sudah terbuka.
“Maaf. Kamu tidak apa-apa kan?” Pemuda tampan itu sembari memeriksa, takut jika aku terluka atau ada bagian tubuhku yang cidera.
“Iya. Aku tidak apa-apa kok!” Aku sedikit jutek. Tidak ingin sok akrab.
“Kenalin nama aku Rizki” ia kemudian menyodorkan tangannya, mengajakku bersalaman.
“Oh. Iya. Aku Frans” aku menyambut tangannya.
Aku merasakan getar itu. Sungguh. Meski baru pertama kali bertemu.
Semenjak insiden kecil itu, kau jadi sering mengajakku jalan bareng.
Hingga kau benar-benar mampu membaca mataku yang kerap kali berbohong saat menatapmu. Iya, aku mencintaimu, sejak pertama kali kita berjumpa.


8 Jam yang Lalu
            Hatiku berat membawa rasa ini untuk hadir di pesta pernikahanmu. Cintamu tetap milikku, kuyakin Tuhan mengetahui itu. Kau terpaksa menikah dengan perempuan pilihan orang tuamu, bahkan sebulan sebelum pernikahan ini berlangsung kau ingin mengajakku pergi ke suatu tempat dimana tidak ada orang yang mengusik cinta kita. Aku tidak cukup punya keberanian untuk itu.
Akulah pihak yang sangat tersakiti, oleh cinta, oleh rindu, oleh rasaku sendiri. Tetapi, bagaimana pun juga aku harus datang di hari pentingmu—hari paling bahagia keluargamu. Aku tahu kau tak sedikit pun bahagia dengan semua ini. Aku ingin melihat perempuan pilihan orangtuamu itu.
            Aku berjalan lunglai, sendirian ditengah lalu lalang manusia yang tidak satu pun aku kenal. Bahkan aku tidak tertarik untuk mengenal satu diantara mereka. Aku ingin segera pulang, janur kuning didepan rumahmu merobek dinding hatiku.
            Dari jauh aku sudah mengenal sosok di pelaminan sana. Rizki. Iya, itu kau. Lelaki yang sangat aku cintai.
            Di sampingmu, entah siapa dia.
Jika boleh, aku ingin membunuh perempuan yang telah merebut ragamu, dariku. Perlahan aku langkahkan kaki menuju pelaminan itu, aku sudah siapkan pisau tertajam untuk menusuk perempuan itu. Iya, aku harus membunuhnya. Malam ini juga.
Tiba dihadapanmu. Aku masih mendapatkan tatapan indah itu, sama saat pertama kali kau menatapku. Aku masih merasakan getar cinta itu.
Aku menyalami tanganmu—menikmati aliran darah yang mengalir dari nadimu.
“Aku turut bahagia” ucapku sambil memasang senyuman manis.
Bohong! Ini adalah kebohongan pertama yang aku ikrarkan padanya. Aku adalah orang yang paling sakit dengan pernikahanmu ini. Bagaimana mungkin aku bahagia dengan semua ini. Kau tak ingin ucapkan sepatah kata pun untukku. Justru kau menatapku dengan penuh tanda tanya, aku tak ingin membalas tatapan dari kedua matamu. Kau memelukku erat, sangat erat, didepan kerumunan manusia. Dengan segera aku melepas diri dari pelukanmu.
Aku langsung menuju ke arah perempuan yang ada di sampingmu. Tak sabar ingin merujamnya dengan air mata ini. Aku ingin menusuknya dengan pelukan hangat, jabatan tangan hangat, untuk mengubur semua rasa perihku. Iya aku mampu melakukannya—membunuhnya dengan ucapan selamat, kemudian langsung menyalaminya.
            “Kau adalah perempuan paling beruntung di muka bumi ini.” Kata itu yang bisa aku ucapkan untuk perempuan itu.
“Jangan pernah sakiti dia.” Aku langsung pergi tanpa hiraukan apa pun. Ingin segera menghilangkan diri dari pandangan matamu. Air mata ini tak dapat aku tahan lagi. Aku berlari, membawa luka oleh pisau tajam yang kubawa sendiri.

 

Oleh: Nico Ajah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar