Kamis, 23 Juli 2015

Realita (penghuni) Jalanan Yogyakarta


Anak Jalanan Jogja (sumber: instagram @diademravenclaw)


Tidak ada yang menjamin jika tinggal di kota akan hidup sejahtera. Saya teringat perkataan teman-teman saya di kampung: “kamu sih enak tinggal di kota”. Tinggal di kota tidak melulu enak tanpa adanya pekerjaan tetap yang mampu menjamin kelangsungan hidup. Jika tidak, pekerjaan pintas merupakan godaan menarik—mengamen, mengemis, bahkan mencopet demi isi kekosongan perut. Tulisan ini merefleksikan pengamatan saya selama lima bulan tinggal di Kota Yogyakarta.

Siapa sih yang tidak mengenal kota pelajar ini? Kota yang kaya akan budaya nan sungguh indah ini. Saya adalah mahasiswa short course di kota ini. Banyak cerita indah bahkan cerita tak indah pun saya toreh disini. Namun bukan soal ‘cerita saya’ yang ingin saya ceritakan, melainkan sisi lain kehidupan jalanan yang saya jumpai setiap saya muncul di jalanan. Tulisan ini sebagai renungan "Hari Anak Nasional 2015", tanggal 23 Juli 2015.
Saya tinggal di wilayah komplek kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Tidak jauh dari kos-kosan saya selalu menjumpai seorang lelaki berambut lusuh dan berpakaian kumal serta robek-robek. Setiap pagi saya hendak ke kampus, saya selalu menemukannya masih tertidur di teras rumah warga. Juga seringkali saya menemukannya masih tertidur pulas di trotoar jalan menuju kampusku. Apakah dia tidak punya rumah dan keluarga atau dia seorang lelaki gila/ tidak waras? Tapi apakah pemerintah daerah tidak tahu akan hal ini? Terus warga juga menutup mata kah? Banyak pertanyaan yang melintas seketika. Ah, belum pernah kujumpai hal semacam ini sebelumnya. Inilah realita, dimana tidak ada seorang pun yang dapat menerka jalan hidupnya.
Setiap jam istirahat, saya bersama teman-teman selalu makan di ‘Taman Kuliner’ di samping kampusku. Setiap kali kami makan selalu dihampiri ‘tukang minta-minta’. Iya mereka meminta belas kasihan, entah itu dengan cara ngamen atau dengan memutarkan musik di tape recorder bahkan ada yang hanya menadahkan tangan saja. Pun mereka dari berbagai kalangan ada yang dari kalangan kakek-nenek (lansia), waria bahkan anak-anak. Belum makanan tiba dihadapan kami, sudah ada tiga atau empat diantara mereka yang menghampiri—dengan orang yang berbeda. Baru saya mengerti arti tulisan di warung-warung makan atau tempat fotocopy-an yang bertuliskan “NGAMEN GRATIS”, yang artinya pengamen dan pengemis tidak akan dikasi uang. Ya, saya mengerti bahwa mereka mencari sesuap nasi. Apakah ini ‘satu-satu’nya cara?
Mereka yang dari kalangan lansia, tidakkah mereka memiliki keluarga yang memperhatikan? Atau setidaknya mereka sekadar menyadari dan mengasihani diri sendiri bahwa “mereka sudah tua dan cukuplah waktunya untuk bekerja”. Jika mereka memang benar adanya tidak memiliki keluarga, tidak adakah panti sosial pemerintah yang bersedia menampung mereka? Atau memang pihak mereka-nya yang tidak mau berada di panti sosial? Jika dipaksa bekerja, kemudian sakit, kan kasihan.
Kemudian kalangan waria (wanita pria) yang selalu bikin perut sakit karena tertawa atas ulah mereka. Bernyanyi dengan suara cempreng dan tak karuan, dan banyak aksi kocak yang mereka tunjukkan untuk menarik perhatian banyak orang. Oke soal penampilan, I no comment. Karena dia memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri. Tapi ini soal mengganggu, tidak semua orang senang atas ulah mereka yang terkadang sok imut dan dibuat-buat demi dikasi uang. Jika tidak dikasi mereka terkadang pula semacam ‘menyumpah’, misalnya mereka mengatakan “pelit amat sih, ntar rejekinya mampet lho”. Ibu-nya teman saya pernah dikatakan “ya ampun bu hajah pelit amat sih, ntar kuburannya sempit lho”, lantaran mereka tidak dikasi uang. Yang saya amati mereka datang untuk mengamen dengan menggunakan kendaraan bermotor, jika sudah mampu memiliki motor lalu kenapa mereka mengamen? Untuk menambah penghasilan kah? Atau untuk life style mereka yang notabene-nya mengenakan bedak lipstik yang harganya cukup mahal. Tidak adakah pemberdayaan dari pemerintah bagi mereka, seperti melatih soft skill untuk menjahit atau bekerja di salon misalnya?

Andai Malioboro Tanpa Pengemis dan Pengamen

Hal ini semacam berharap mantan kembali dalam pelukan—ketidakmungkinan yang selalu saya semogakan. Yah, lebih besar kemungkinan mengarah pada ketidakmungkinan. Saya duduk santai sambil menikmati es teh dalam kantong yang baru saja saya beli di kawasan Taman Pintar. Saya sedang menunggu teman saya yang sedang mencari buku untuk dibeli. Karena kepala saya pusing lantaran naik Trans-Jogja yang penuh desak-desakan, akhirnya saya memilih istirahat di sebuah bangku yang letaknya berada tepat dibawah pohon beringin. Di jarak yang tidak terlalu jauh saya memperhatikan seorang bapak-bapak dengan pakaian kumal, yang mengenakan sepasang sandal tak kembar. Dia sedang membongkar-bongkar tong sampah, dalam benak saya ‘dia pasti seorang pemulung’. Tapi dia tidak sedang mencari botol minuman atau barang-barang bekas, melainkan memungut sisa-sisa makanan yang masih dalam kemasan. Saya melihat dia menemukan setengah potong kue gorengan yang masih dalam plastik transparan. Dan saya juga melihat ada setengah gelas minuman berwarna merah jambu di tangannya. Lalu dia pergi meninggalkan tong sampah itu. Tidak jauh dari tempatku duduk, ada sebuah bangku dan segelas air minum kemasan yang masih hampir penuh dan lengkap dengan sedotannya. Dia menghampiri dan mengambilnya, kemudian dia berlalu tanpa menoleh ke arahku sedikit pun. Mungkin dia adalah seorang gelandangan, tidak memiliki apa pun—bahkan keberanian untuk mengemis.
Realita lain, saat saya masih terduduk manis di trotoar jalan di kawasan Malioboro. Tidak lama kemudian seorang anak kecil (berumur sekitar 7 atau 8 tahun) menyodorkan sebuah amplop kosong. Saya tidak mengerti artinya apa? Sehingga saya biarkan amplop itu—tanpa menyentuhnya sama sekali, dan tidak lama kemudian anak kecil itu mengambil amplop itu kembali. Ternyata setelah teman saya jelaskan, bahwa mereka mengemis tidak secara langsung, mereka ingin uang-nya dimasukkan kedalam amplop itu—canggih juga. Tapi kok anak-anak? Tidakkah mereka memiliki orang tua? Tidakkah mereka sekolah? Ataukah mereka memang sengaja diperkerjakan? Lalu, bagaimana tindakan pemerintah? Anak-anak seumuran mereka seharusnya berada di sekolah, atau di rumah untuk belajar. Iya, memang ada himbauan yang saya baca di jalan raya bahwa “tidak boleh memberi uang kepada anak-anak jalanan, hal itu berarti sama saja menghambat tumbuh kembang mereka”. Lalu langkah nyata-nya (selain hanya himbauan) seperti apa? Saya rasa sedikit orang yang memperhatikan tulisan himbauan itu saat di jalan raya.
Mengapa mereka masih tetap berada di jalanan? Suatu malam saat saya hendak pulang dari kawasan Malioboro. Saya mencari taksi di seberang parkiran stasiun tugu. Cukup lama saya menunggu taksi tidak ada yang lewat. Saya melihat sekelompok anak-anak jalanan yang biasa ngamen dan ngemis sedang berada di sebuah mobil pick up. Apakah yang mereka lakukan disana? Entahlah, saya tidak mungkin mengira-ngira. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang dapat dijadikan kesimpulan.



*Nikodemus Niko



Tidak ada komentar:

Posting Komentar