Rabu, 22 Maret 2017

Awareness Building Keberpihakan Kepada Petani Kecil


Nikodemus Niko
Mahasiswa Master Sosiologi—Universitas Padjadjaran
Ide ini disampaikan pada FGD kerjasama Pemkot Bandung, Pemkot Merauke dan Mata Garuda


Background
Pendekatan pembangunan daerah saat ini masih terkesan bersifat top-down, sedikit sekali implementasi pendekatan bottom-up. Semboyan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” masih jauh panggang dari api. Pada dasarnya masyarakat lokal memiliki kapasitas untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan (participatory development). Pendeketan sosio-kultural sudah seharusnya menempatkan masyarakat miskin dan masyarakat lemah (petani kecil) sebagai subjek/pelaku utama pembangunan. Pembangunan pertanian dalam rangka ketahanan pangan, masih direduksi ke dalam konteks ekonomi; padahal bisa saja dalam konteks sosial dan budaya.
Pemahaman akan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat petani di pedesaan, dapat membantu kita untuk turut mengenal bagaimana kehidupan mereka. Hal ini sebagai sarana membangun awareness kita terhadap kebutuhan petani kecil dan miskin di pedesaan. Terlebih bagi kaum perempuan, yang masih tertindas di tanah mereka sendiri.  Sehingga dengan adanya pemahaman ini, akan ada kebijakan yang berpihak kepada petani kecil dan sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.


Membangun Etos Kerja Petani Berperspektif Gender
Pembangunan pertanian di pedesaan, sebagai langkah konkret pemerintah dalam mengatasi kelangkaan pangan (krisis pangan) masih terkesan mengesampingkan kaum perempuan. Pada pengamatan saya di wilayah desa saya, kaum perempuan masih sedikit dilibatkan dalam pembangunan pertanian. Contoh; dalam pembentukan Kelompok Tani yang diinisiasi oleh Pemda, masih sangat sedikit melibatkan perempuan dalam kepengurusan Kelompok Tani. Aktivitas bertani merupakan bagian yang menyatu dalam kehidupan masyarakat desa, terlebih bagi kaum perempuan; mereka yang pandai merawat dan menjaga alam dengan nilai-nilai tradisional daerah setempat. Diharapkan pembangunan pertanian dalam rangka menginisiasi krisis pangan, peran perempuan penting untuk diperhitungkan.


Langkah-langkah Penerapan
Sosialisasi Pertanian
Pada proses sosialisasi ini, masyarakat setempat diharapkan lebih separuh dapat menghadiri pemaparan materi dari narasumber yang berkompeten. Disamping kegiatan sosialisasi, diharapkan pada proses ini, terjadi feedback dari masyarakat lokal; teridentifikasi sumber daya lokal (di samping pangan utama; padi). Dari assesment sumber daya lokal ini, dapat diidentifikasi program yang sesuai kebutuhan masyarakat (bagi perempuan dan bagi laki-laki). Harapannya; proses ini merupakan penyatuan ide antara pihak terkait dengan masyarakat bahwasannya bertani untuk kebutuhan keluarga mereka. Dalam arti lain bahwa “mereka bertani untuk mereka makan”.

Implementasi Dasar Kebijakan
Output dari usulan ini adalah Kebijakan yang berpihak kepada petani kecil. Implementasi dasarnya adalah pemberdayaan masyarakat lokal. Dengan adanya identifikasi sumberdaya lokal selain padi (misalnya; jagung, singkong, sayuran, dan lain-lain), diharapkan menghasilkan program-program pemberdayaan yang relevan. Misalnya; pelatihan mengolah singkong menjadi makanan tambahan, dan lain-lain.

Kontinuitas
Program-program yang ada diharapkan tidak hanya bersifat temporer, tetapi berkelanjutan. Tentu, hal ini memerlukan manajemen yang tepat dan sesuai; seperti adanya accounting, aktuating, dan evaluating.


Pihak-pihak yang Terlibat
1.      Pemda setempatà sebagai pemegang tanggung jawab kunci
2.      Kemedesa dan Transmigrasi—Dirjen pembangunan daerah tertentuà sebagai fasilitator
3.      Bappenasà sebagai fasilitator
4.      Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak—Bidang pemberdayaan perempuanà sebagai fasilitator
5.      Kelompok Petani (laki-laki dan perempuan) àSebagai sasaran pembangunan pertanian.


“Gali! Bekerdja! Gali! Bekerdja! Dan kita adalah satu tanah air jang paling cantik di dunia”

-Soekarno-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar