Kamis, 18 Juni 2015

Guru(ku)


Sumber: http://nasional.news.viva.co.id
 
Oleh: Nikodemus Niko

“Ibu senang kau berada disana”, ujarnya melalui pesan teks di App. Blacberry Massanger-ku.
Pesan itu membuatku tersentak kaget, bagaimana tidak? Ia mengomentari foto yang kujadikan display picture—fotoku sedang berpose berada di sebuah universitas termasyur di Indonesia. Iya, disanalah aku mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi Master.
“Terima kasih, Bu. Siapa dulu dong Ibu Gurunya!”, balasku sembari menyisipkan emoticon *smile* pada akhir kalimatku.
“Ah, kamu. Ya tidak lah, itu karena kamu yang hebat”, dia malah memujiku. Yah, begitu lah sewajarnya seorang guru. Tidak mau mengakui bahwa siswanya hebat bukan lah karenanya. Bahkan dia tak mengakui bahwa aku mengenal mengenal ilmu karenanya.
Guru. Begitulah kebanyakan orang kenal namanya. Bagiku, seorang guru bukan saja mereka yang berada di kelas dan mengajariku teori-teori yang tak jarang aku tak mengerti. Namun guru lebih dari pada mereka yang memberikan arti sebuah kehidupan—termasuk ayah dan ibu yang merupakan guru utama dalam hidupku.
 
Delapan tahun silam—Agustus 2007
“Ibu belum pernah membaca cerpen seperti ini sebelumnya”, begitu komentarnya tentang cerpen yang kubuat untuk tugas harian mata pelajaran Bahasa Indonesia.
“Apa kamu anak tunggal?” ia bertanya saat aku sudah terduduk.
“Iya, Bu. Saya anak tunggal” aku menjawab seadanya, karena waktu itu aku memang belum memiliki seorang adik, seperti sekarang.
“Ok. Cerpen mu bagus” pujinya sekali lagi.
Dia adalah guru baru di sekolahku. Seorang perempuan muda yang belum menikah. Ia baru saja menamatkan pendidikannya di sebuah universitas ternama di Kalimantan Barat. Namun ia tak disukai banyak anak-anak dikelasku—bagaimana tidak, setiap masuk kelas ia selalu memeriksa satu per satu baju seragam kami, apakah sudah ‘masuk dalam’ atau belum. Jika belum, perut kami menjadi sasaran empuk pendaratan cubitannya.
“Bu Siska kok jahat sih”, samar-samar aku mendengar percakapan beberapa temanku seusai mata pelajaran.
Fransiska Kurniawati, begitu lah nama lengkapnya saat ia pertama kali memperkenalkan diri di depan kelas. Sehingga kami harus memanggilnya Ibu Siska. Kenapa tidak Ibu Kurnia saja, atau Ibu Wati? Ah, entah lah. Nama memang memiliki keunikan tersendiri.
Berbeda dari guru lainnya, ia memiliki tubuh kecil. Gaya sedikit centil dan suara yang lantang, namun memiliki kelembutan tersendiri sehingga kami sangat mengerti ketika ia sedang menjelaskan saat mata pelajaran. Tidak saja Bahasa Indonesia, namun ia juga mengajar mata pelajaran Sosiologi—pelajaran kesukaanku.
Selain muda dan enerjik, ia juga humble dan mudah bergaul dengan siswa dan siswi-nya. Dia adalah guru pertama yang mengenalkan ku pada “makalah”. Apa itu? Aku belum pernah tahu apa itu makalah, bahkan tak pernah terpikir untuk bisa membuatnya. Tapi Ibu Siska membawa warna berbeda di sekolahku. Aku bersekolah di SMA Wiyata Mandala Balai, aku sebut itu salah satu sekolah ter-favorite di Kecamatan Batang Tarang.
Aku tidak mengerti, aku tidak tahu. Semua dari kami berpikir demikian. Bahkan kami baru mengenal komputer dan Ms. Word pada saat duduk di bangku SMA, sehingga tak heran jika ada yang benar-benar tidak mengerti mengoperasikan komputer, termasuk aku—yang masih mengetik dengan kedua ujung telunjuk (kami menyebutnya mengetik sebelas jari). Bagaimana kami bisa menyelesaikan sebuah makalah yang jumlah halamannya belasan bahkan hingga puluhan itu. Semua mengeluh.
Tapi apa? Ibu Siska tidak lelah untuk mengenalkan kami pada mahkluk bernama makalah itu.
“Kalian akan diberi tugas makalah yang sangat banyak, pada saat kalian kuliah nanti”, begitu kata Ibu Siska.
Aduhai, bahkan aku tidak pernah memikirkan bisa kuliah. Bisa duduk di bangku SMA ini saja sudah mukjizat yang sangat luar biasa. Bahkan, aku sering menunggak uang sekolah karena tidak punya uang untuk membayar. Bagaimana aku bisa memikirkan untuk kuliah dengan kondisi ekonomi orang tuaku yang serba pas-pasan, bahkan kurang.
Kami diberi PR mengerjakan makalah maksimal lima halaman. Susah, sangat susah. Aku tidak memiliki komputer—semacam laptop gitu, atau warnet yang dekat dengan kampungku. Jangan saja warnet, listrik saja tidak ada di kampungku. Tapi apakah aku menyerah? Tidak, sama sekali tidak. Aku menggunakan tulis tangan, bukan huruf cetak yang berasal dari mesin print. Itu lah makalah pertamaku—makalah lima halaman portofolio dengan huruf tulis tangan.
Saat tiba waktunya tugas itu harus dikumpulkan ke tangan Ibu Siska, ia tidak mau menerima makalah yang sudah aku buat selama tiga malam lamanya ku menuliskan. Tapi apa daya, tidak ada istilah bagiku untuk melawan seorang guru. Aku disuruh untuk mengetik dengan mesin komputer—harus, tidak ada kata tawar menawar. Sehingga aku mencuri jam istirahatku untuk pergi ke warnet tidak jauh dari sekolahku (jika aku ketahuan, sudah pasti aku di hukum oleh guru. Karena ke warnet pada saat jam sekolah sangat di larang). Tapi aku melanggarnya, demi untuk makalah. Finally finish dengan hasil yang memuaskan.

April 2013
Aku sempat tidak percaya pada kehendak takdir yang membawaku pada tempat ini. Iya, tempat bernama kampus yang tak pernah aku mimpikan dalam hidupku. Kini dua tahun sudah aku berada di kampus ini. Kampus yang sama dengan Ibu Siska. Dan bahkan aku tidak sempat untuk membayangkan dua tahun lalu, saat aku meraih beasiswa Bidik Misi—beasiswa bagi anak yang tidak mampu namun berprestasi.
Namaku tercantum dalam sebuah surat pengumunan yang aku terima lewat e-mail. Aku ingin katakan bahwa anak kampung ini tak lagi gagap teknologi. Hehehe. Aku sudah bisa mengoperasikan komputer, dan bahkan sudah bisa mengoperasikan internet. Iya, disana tercantum namaku sebagai finalis lomba tingkat Nasional. Tidak hanya sampai disana, tidak lama kemudian aku juga dinobatkan sebagai juara lomba di tingkat provinsi—dua tahun berturut-turut.
Ibu Siska, aku yakin pasti ia bangga padaku saat itu. Bukan kuingin menjadi yang ia banggakan, tapi aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku bisa. Dan setidaknya ia yang pernah mengenalkan makalah yang kini sangat aku sukai untuk menulisnya. Bukan hanya makalah, tetapi tulisanku juga biasa menghiasi media masa seperti koran lokal di Kalimantan barat.

***

Ibu Siska, ia yang mengenalkan ku pada tulisan makalah, yang hingga saat ini masih aku tekuni, bukan saja untuk tugas-tugas kuliah tapi juga untuk memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar sarjana—yang familiar disebut skripsi.
Bukan tentang apa yang kudapat hari ini, tetapi tentang bagaimana proses aku mendapatkannya hingga hari ini tiba, yang hingga pada masanya nanti akan membawaku pada belahan dunia lain. Maksudku belahan bumi yang sangat jauh, hingga ke negeri Eropa yang sangat termasyur itu. Terima kasih guru-ku, tiada ucapan pantas selain itu. Tetaplah menjadi guru terbaik bagiku, bagi adik-adikku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar