Rabu, 18 Desember 2013

Pejuang Becak



By: Nico

Lalu lalang kendaraan di Jalan Imam Bonjol Pontianak pagi ini mengiringi langkahku menuju kampus. Sebenarnya dosen pagi ini tidak masuk, makanya aku enggan mau ke kampus. Tetapi karena tugas kuliah sebagai pengganti kuliah harus dikumpulkan pagi ini, terpaksa aku harus datang ke kampus. Sepanjang perjalanan, kemacetan panjang memang sudah menjadi konsumsi pengguna kendaraan di Kota Pontianak. Kebetulan hari ini kuliahnya di Magister Ilmu Sosial sehingga jarak antara kost dengan kampus tidak sampai lima menit.


Setiba di kampus aku langsung menuju lobby kampus, disana teman-teman sekelas sudah duduk-duduk santai. Aku yang sudah berkeringat langsung duduk.
“Tugasmu udah dikumpulkan belum nik?” salah satu temanku bertanya.
“Ntar aja ah. Panas, capek aku”.
Setelah berkipas-kipas sejenak, aku menghampiri ketua kelas.
“Nih, tugas aku.”
“Oke deh niko.”
“Bapak ndak masuk kan? Berarti abis ini pada boleh pulang dong?”
“Iya, hanya kumpulkan tugasnya aja.”
Huh, lumayan nyebelin sih kalau dosen gak masuk. Perjuangan kita nyampe ke kampus itu lho, seolah-olah gak di anggap banget. sepertinya teman-temanku sudah pada pulang, tetapi masih ada yang terlihat sedang mencuri mangga, dan aku harus ikutan dengan mereka, dan adapula yang baru saja menulis tugas kuliah karena kelupaan mengerjakan di rumah, dan alasan tidak tahu mengenai adanya tugas dari dosen. Mungkin ini perjuangan mereka.

Ah, baru sampai dikampus masa’ aku harus pulang awal. Kan capek! Aku masih termangu sendirian di bawah pohon rindang di depan kampus. Tempat ini memang adem, tidak heran jika tempat ini menjadi tempat nongkrong asik bagi anak muda. Tidak jauh dari belakangku ada sepasang kekasih yang sedang berbincang asyik. Aku malas banget kalau lihatin dua sejoli yang pacaran disiang bolong, hari jumat pula, (heloooooo... ini kampus non, bukan tempat pacaran). Kemudian di samping kiri ku, ada dua orang cewek yang sedang enak-enakan makan syomai (aku jadi ngiler,hahaha... emang kampus aku tempat makan syomai, hadeh...)

Ditengah kesalku dari kejauhan sana, aku melihat seorang kakek tua tengah mengayuh becaknya. Ia kira-kira berumur 60-an tahun. Tepat didepanku duduk ia singgahkan becaknya. Ia mengenakan baju putih yang yang kecoklatan karena sudah lama, celana putih yang sudah usang dan kumal. Kacamata dan jenggotnya yang sudah memutih membuatnya kelihatan tua dan tidak pantas untuk bekerja keras lagi. Ia menurunkan karung goni kumal dari dalam becaknya kemudian diletakkan di bawah becak, serta membenahi kardus-kardus yang sepertinya hasil ia memulung. Ia naikkan atap becaknya dan kemudian ia berbaring diatas kardus-kardus itu. Ah, mungkin ia kecapean. Yang terlihat hanyalah sapu lidi bak guling di samping kanannya, yang mungkin ia gunakan untuk membersihkan sebagian jalan di kota ini, ah betapa ia mulia. Menjulur sepasang kaki yang penuh urat timbul serta celana panjang yang berjuntai beribu benang.

Kakek tua itu sudah terlelap, entah apa yang kini ada dalam mimpinya. Becak yang juga sudah tampak tua dan usang itu sepertinya adalah rumah baginya. Entah apa yang ada dalam pikiranku, aku hanya ingin menangis. Kakek tua itu seperti terlantar, tidak punya siapa-siapa, tidak ada yang merawatnya, hanya memiliki sebuah becak yang selalu setia menemaninya dalam keadaan apapun, siang, malam, hujan, panas, serta badai. Penuh perjuangan, ya inilah perjuangan sesungguhnya, perjuangan hidup yang mungkin belum pernah aku rasakan selama ini. Betapa ia tabah. Bahagia terpancar dalam lelap itu, terlihat seperti tidak ada beban, tidak ada sedikitpun keluh terselip diwajahnya. Sedangkan cobaan kecil dalam hidupku saja, aku sering mengeluh, aku sering lelah, menganggap Tuhan tak adil bahkan aku putus asa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar