Minggu, 29 September 2013

Dia yang Terbuang


Oleh: nikodemus niko
Angin berhembus sepoi-sepoi, matahari terasa menyengat kulit, saat aku menemani menti ku untuk mencari sebuah berita. “kresett.....kreset...”, suara sandal yang ku pakai sahut-menyahut sepanjang perjalanan. Tiba-tiba saja ada yang menarik perhatian kami, seorang kakek-kakek duduk di pinggiran jalan. “Bagaimana kalau kita menulis tentang kakek itu saja, bisa dimasukkan di tulisan humaniora”, ujarku pada Nur, mentiku. “Memang nya boleh ke bang? Yok lah”, Nur meng-iyakan. Menoleh kiri kanan sebelum menyeberang jalan, seakan tak ingin hentikan langkah kami. “Ternyata begini ya bang jadi wartawan”, ungkap Nur padaku. “Yah, begini lah dek, tidak kenal hujan, panas, siang, malam”, imbuh ku.

“Selamat siang pak, kami dari mimbar untan, kebetulan kami ikut kegiatan pelatihan, dan kami turun ke lapangan untuk mencari berita”, kata ku membuka pembicaraan kepada kakek tua berjanggut putih, dengan pakaian lusuh, yang belum kami ketahui nama nya. “Iya,iya”, kakek itu seolah belum mengerti saja. Aku sembari duduk di sisi keranjang yang berisi perkakas, didepan kami terdapat sepeda tua yang bergantungan ban sepeda bekas.

Sebut saja nama kakek itu pak jojon. Ia adalah seorang perantau asal pulau sumatera, yang kini berumur 75 tahun. Di kota Pontianak pak jojon tinggal di rumah indekos. Selama bertahun-tahun ia menjalani kerasnya hidup sendirian di kota Pontianak, tanpa siapapun. Dengan bekerja sebagai tukang tambal ban sepeda dan sepeda motor di Jalan daya nasional komplek untan, tepat nya di samping masjid muhtadin. “Yang saya pikirkan sekarang hanya bagaimana menyambung nyawa, dan tinggal nunggu ajal saja”, ungkap nya dengan nada jelas.

Pak jojon adalah korban kekerasan dalam rumah tangga, ia tidak pernah berpikir untuk bisa berada di kota Khatulistiwa ini. Namun, keadaan yang memaksa nya untuk menghadapi pahitnya hidup. “Saya ini pelarian, bukan pelarian karena masalah hukum, tapi masalah rumah tangga”, ujarnya. Saat di minta keterangan lebih lanjut mengenai permasalahan nya, pak jojon tidak mau bicara apapun, ia seolah takut. Takut dengan keadaan, takut dengan situasi yang seakan-akan dapat memangsanya kapan saja. “Anak saya seorang pejabat di sumatera sana dek, saya tidak mau diri saya di publikasikan. Pernah dari tv-one datang pada saya, tapi saya tidak mau. Kalau gambar saya di tampilkan di tv, bisa pecah kepala anak saya di tembak dek”, ungkap pak jojon dengan menggebu-gebu, sembari ia mengacungkan telunjuk tangan kanan nya ke arah kepala nya. Kami mencoba untuk bertanya tentang diri nya lebih mendalam, namun ia kekeh tidak mau dirinya di publikasikan. Hingga akhirnya kami beranjak pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar