Kamis, 04 April 2013

Penyesalan di Akhir Kisah




By: Nikodemus Niko
 


Langit mendung tak ditemani sinar mentari pagi ini tak menyurutkan semangat Farhan untuk mengarungi hari, melewati tugu digulist yang tepat berada di jantung Universitas Tanjung Pura Pontianak. Padatnya kendaraan membuat Farhan menurunkan kecepatan kendaraan roda dua yang selalu menjadi teman setianya dalam mengarungi dunia perkuliahan.
Farhan adalah anak seorang pejabat tinggi di bumi khatulistiwa ini. Farhan saat ini sudah menempuh akhir-akhir masa studi nya di jurusan Ilmu Sosiologi. Meski demikian dia adalah sosok yang tak terlalu dikenal banyak orang di kampus nya. Entah apa yang membuat nya bersikap tertutup. Bahkan teman dekatnya sekalipun tidak terlalu mengerti dengan sikap Farhan.

Setiba nya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang biasa disebut “kampoes biroe”, Farhan perlahan memasuki halaman parkiran yang tidak terlalu luas itu. Tanpa basa-basi dengan siapapun ia langsung beranjak menuju ruang kelas nya.
“woy, bro. Apa kabar ni?”, kedatangan Farhan disambut hangat oleh Reynald, sahabat baiknya.
“woy. Kabar baik bro. Ape can kau ni?”, Farhan dengan bahasa khas pontianak, sembari menyalami sobatnya.
“tak ade ni, bro. Tadi malam kau ke mane bro?”, tanya Reynald yang tak mau kalah logat pontianak nya.
“tak ade ke mane-mane. Di rumah yak, mang kau ke mane?”, Farhan balik bertanya pada Reynald.
“aku semalam ke PCC, ade pameran gadget boy. Rase aku nak beli, tapi belom ade duet nye ni”, jelas Reynald sambil tertawa.
“wihh, benar sikit lah bro, ngape aku tak tau ye?”, Farhan malah tambah semangat.
“camane kau nak tau, kau diam di rumah yak terus”, canda Reynald pada sahabatnya itu. “dah lah. Dah ade dosen tu”, Reynald sembari menunjuk ke arah pintu kelas.
            Selesai kuliah Farhan langsung pulang ke rumah nya di kawasan perumahan elit danau sentarum, kota baru, pontianak. Itulah yang terjadi pada diri Farhan. Rumah-Kampus-Rumah-Kampus. Meski banyak UKM yang tersedia di tingkat kampus maupun di tingkat universitas, namun tak satupun yang menarik minatnya untuk terjun di dunia organisasi. Sebagai mahasiswa banyak hal yang bisa di lakukan di dalam maupun di luar kampus, tetapi berbeda dengan diri Farhan yang hanya mentok di kampus dan di kelas saja. Dari segi akademik, Farhan tergolong anak yang pintar di kelasnya. Selama tujuh semester ini nilai mata kuliahnya tidak ada terdapat angka C.
            Seketika Farhan tersentak kaget mendengar nada dering dari hp nya. Tertera tulisan di layar ponselnya, “Farhan, papa kecelakaan masuk rumah sakit Antonius”. Pengirim sms itu adalah mamanya Farhan. Bergegas Farhan ke garasi mobil dan langsung menuju rumah sakit Antonius. Tidak sampai sepuluh menit Farhan sudah menemui mamanya yang sedang terisak.
“ma, gimana keadaan papa?”, Farhan dengan muka sendu.
“papa lagi kritis han”, mamanya sambil terisak. Farhan kemudian memeluk mamanya erat.
“gimana ceritanya papa bisa kecelakaan ma?”, Farhan bertanya lagi.
“mama juga kurang tahu han, tadi pas waktu mama lagi di butik suster nelpon mama dan bilang kalau papa kecelakaan di jalan diponegoro”, mama Farhan masih tak bisa hentikan tangisnya.
Tiba-tiba dokter muncul dari balik pintu ruang ICCU.
“maaf, keluarga nya pak Haryo Pratama?”, tanya dokter yang mendapatkan Farhan dan ibunya yang sedang berpelukan.
“iya, dokter. Saya anak nya pak Haryo”, jawab Farhan tegas.
“bisa ikut ke ruangan saya, ada yang ingin saya bicarakan”, dokter langsung menuju ruang kerjanya diikuti oleh Farhan dan mamanya.
“silakan duduk”, dokter mempersilakan Farhan dan mamanya.
“iya, terima kasih dokter”, sahut mama Farhan yang sudah agak sedikit tenang.
“begini saudara Farhan”, dokter mengawali kata-katanya. “pak Haryo kehilangan banyak darah, dan kebetulan stok darah di rumah sakit yang golongannya sama dengan pak haryo sudah habis”, jelas dokter kepada Farhan dan mamanya.
            Malam kian larut bersama rintik hujan yang membasuh bumi khatulistiwa. Farhan tampak kebingungan dengan keadaan yang ia hadapi sekarang. Di pontianak ia tak kenal banyak orang. Kemanakah ia harus mencari bantuan? Hingga akhirnya ia menelpon Reynald, sahabat dekatnya untuk menolongnya mencari batuan.
“rey bapak aku masuk rumah sakit, gimana ni? Aku harus dapat darah yang golongan O untuk bapak aku”, ujar Farhan sedikit panik.
“iya Han, aku akan bantu kau sebisa aku”, Reynald seolah menunjukkan solidaritas nya sebagai sahabat.
“gimana kalau kita ke PMI jak, yang di jalan Ahmad Yani tu”, seru Reynald lagi.
“ayok lah”, Farhan dan Reynald langsung menuju tempat dimana mobil Farhan diparkirkan.
            Setibanya di PMI, tidak ada golongan darah yang di cari. Farhan dan Reynald harus kecewa, dan usaha mereka dirasakan sia-sia.
“kemana lagi kita harus mencari ni Rey?”, Farhan terlihat putus asa.
“aku pikir-pikir lok bro”, Reynald pun jadi ikutan tegang.
“aku tahu kita mesti ke mana. Ayok ikut aku”, Reynald tiba-tiba teringat dengan UKM PMI yang ada di Untan. Mereka langsung menuju tempat itu. Disana mereka langsung mendapatkan pendonornya, yang kebetulan ada di tempat.
            Di ruang yang berbeda, ayah Farhan kondisinya semakin lemah. Benturan keras dikepalanya membuat darah tak berhenti mengalir. Sudah tiga jam berlalu, ayah Farhan tak kuat lagi untuk menahan sakit. Hingga akhirnya ia harus menghembuskan nafas terakhirnya di kasur rumah sakit. Saat diperiksa oleh dokter, pak Haryo memang sudah tidak bernyawa lagi.
            Di ujung pintu, tampak Farhan memegang sebuah kantong kresek yang berisikan dua kantong darah golongan O. Maut memang tak bisa di tunda, Farhan harus menitikkan air mata karena harus kehilangan sosok papa yang selama ini ia sayang. Ia pandangi sekujur tubuh yang terkulai lelap itu dengan tatapan kosong. Air matanya mengalir dari sudut indah di kedua matanya.
“papa............. jangan tinggalin Farhan, pa”, Farhan teriak sekuat yang ia mampu. Mamanya yang tak bisa terima kenyataan pahit itu harus di bopong karena pingsan. Nasi sudah menjadi bubur. Semua usaha Farhan percuma.
***

            Pagi berganti malam, membuat waktu tak pernah bisa terhentikan. Semenjak kepergian papanya, Farhan jadi sering murung di kampus. Sementara ia harus menyelesai kan tugas akhirnya yaitu skripsi. Ia tak pernah berpikir panjang dalam mengambil suatu tindakan, pikiran nya kacau, galau dan sedih. Semua menjadi satu paket yang tak bisa terpisahkan dari hidup Farhan saat ini. Ia harus mengeluarkan uang banyak untuk membeli sebuah skripsi dari orang lain.
            Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan gelar sarjana. Saat wisuda, Farhan menjadi salah satu mahasiswa yang cum loud, dengan IPK nya 3,90. Hal ini menunjukkan bahwa, Farhan adalah salah satu mahasiswa berprestasi di kampusnya.
            Setelah keluar dari dunia kampus, Farhan di tuntut untuk memasuki dunia kerja. Bukan hanya bermain game saja di rumah. Berbagai perusahaan ia sudah coba masukkan lamaran pekerjaan namun alhasil, semua nihil. Bukan hanya IPK saja yang diutamakan untuk mencari suatu pekerjaan, tetapi juga skill dan pengalaman dalam sebuah organisasi. Hampir rata-rata perusahaan yang sudah mewawancarai nya, menanyakan hal yang serupa yakni “waktu kuliah pernah masuk organisasi apa?”. Pertanyaan itu yang selalu terasa berat untuk ia jawab.
            Kesana kemari ia mencoba dan mencoba lagi untuk bisa mendapatkan pekerjaan, namun keberuntungan belum berpihak padanya. Semenjak saat itu Farhan kehilangan arah hidupnya, ia mengalami depresi tingkat berat, hingga ia harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Secarik kertas usang tersimpan rapi diselipan buku hariannya.
“aku pernah kehilangan orang yang berarti dalam hidup aku, yaitu papa. Aku sangat menyesal karena aku terlambat menolongnya. Aku mengira itu adalah penyesalan terakhir dalam hidup aku. Tetapi aku salah, ada penyesalan yang lebih berarti lagi. Aku pernah kehilangan kesempatan menimba pengetahuan pada waktu aku masih kuliah. Aku menyesal karena dulu aku pernah kuliah tetapi aku tidak pernah masuk dalam dunia organisasi kampus. Sekarang semua nya sudah terlanjur”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar