A Cerpen
By: Aries Pena
Sore kini telah
menjelang. Rintik hujan membawaku hanyut dalam cerita sore yang tak inginkan ku
terlelap. Tapi nyanyian hujan seakan merayu ku untuk terpejam dalam sebuah
mimpi. Iya, mimpi yang tak ku inginkan hadir kembali dalam hidupku. Dan aku...
Aku tergoda dalam rayuan hujan yang benar-benar membawa mimpi itu hadir dalam
kisah sore ini. Mungkin ini bukan kesalahan, atau bukan pula sebuah keinginan.
Andy. Begitu aku
mengenalnya dahulu, dan hingga kini. Pertemuan singkat yang dahulu pernah
terjadi seolah memaksa ku untuk kembali dalam masa itu.
“Hai. Aku andy.” Sapa nya sembari menyodor kan tangan
untuk bersalaman.
“Hai. Aku Nico.” Sahutku menyambut salam dari nya.
“Aku dancer di Club ini.” Ucapnya lagi.
“O,iya? Keren dong!”
“Hmm, ya udah aku latihan dengan anak-anak dulu ya!”
“Oke.”
Tak pernah sedikitpun
dalam benak ku mengira pertemuan ini. Dia yang hanya ada dalam angan ku semata,
kini tepat berada di hadapanku. Aku pernah menyaksikan dia perform di salah satu
hotel berbintang di Kota Pontianak. Namun sayang, aku tidak punya nyali untuk
menyapa nya kala itu.
Selalu saja membaca
setiap status yang ada dalam sosial media miliknya, hanya bisa menge-like dan
tak berani untuk berkomentar sekedar say hallo, mungkin. Aku tak ingin terlihat
konyol saat menyukai nya. Dan aku memilih untuk memendam rasa itu, karena
memang hanya itu yang bisa aku lakukan.
Kesalahan memang tak
bisa di sesali, meski ada penyesalan datang nya selalu terlambat. Saat itu
memang bukan waktu yang tepat tuk ku ungkapkan semua nya. Karena memang aku
tahu bahwa dia tidak menyimpan rasa yang sama kepadaku.
Seorang penari yang meluliukkan tubuhnya
Menghipnotis segala ragaku
Kelu lidah ini
Darah ini semakin mengalir deras
Degup jantung ini semakin kencang
Iya, lekukan tubuhnya membuat mata ini tak berkedip
Pandangan mata hanya tertuju pada pemilik tarian itu
Ya, itu kamu....
Kamu yang telah membuat ku ingin terjatuh dalam
kubangan bunga yang sedang mekar
Kamu yang memaksa ku menjelajah alam imajinasi sehingga
ku pasrah
Aku tak berdaya melawan aliran rasa ini
Aku mencintai mu, Andy...
Puisi itu memang bukan
yang sempurna, tapi rasa ku hanya dapat terungkap dalam sebuah kata-kata. Tak
mampu bibir ini tuk berucap, tak sanggup tubuh ini tuk berdiri kembali.
Tapi apa, kau malah
semakin membuat ku tak berdaya. Saat tangan mu menggenggam erat jemariku.
“Aku juga mencintai mu.”
Aku hanya terdiam kaku,
saat bibirmu mengecup erat bibirku. Tak sanggup lagi mata ini menahan kantuk,
sehingga memaksaku untuk terlelap dalam pelukan hangatmu. Hingga malam
menjelang tuk menjemput hari esok, untuk kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar