Oleh: Nikodemus Niko
Cerita ini
diangkat dari kisah nyata seorang gadis cantik bernama Sannori Juniarti Ola
yang akrab disapa Yuni. Saat ini ia kuliah di jurusan Ilmu Administrasi Negara
di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Pernah terbit di Harian Pontianak Post.
Sabtu sore ini awan tampak cerah dan
mendung perlahan tergantikan senyum mentari yang kini mulai bersinar kembali.
Mungkin ini awal terbaik untukku bisa meraih mimpi di hari pertamaku tinggal di
Kota Pontianak. Iya, seminggu lagi aku akan mengawali perkuliahan di salah satu
Universitas ternama di Kalimantan Barat. Bahagia, mungkin itu yang tampak
terpancar dari wajah Ayah, Ibu dan Adikku yang sangat aku cintai di dunia ini.
Lelah, hmm. Mungkin lelah setelah
kemarin pagi berangkat dari kampung halamanku tercinta. Iya, aku berasal dari
Kabupaten Ketapang. Kami sekeluarga berangkat pukul 05.00 dan tiba di Kota
Pontianak pukul 16.00. Perjalanan yang sungguh berkesan dan cukup menguras
tenaga. Yah, mau bagaimana lagi? Mereka sangat menyayangiku, sama sepertiku
yang teramat menyayangiku.
Kota Pontianak, disinilah pusat
pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat. Sehingga kemajuan di kota ini sangat
pesat. Oleh karena itu pula, Ayah akan check up di salah satu Rumah Sakit di
kota ini. Kami semua tahu, 4 tahun terakhir ini Ayah menderita penyakit Sinus.
Sehingga tidak hanya sekedar check up saja, melainkan Ayah juga harus ke dokter
spesialis untuk berobat.
Awal mulanya, memang Ayah yang kami
ketahui sakit. Tetapi sesuatu yang aneh ada dalam diri Openg, iya Openg adalah
panggilan sayang kami untuk Laoper adikku satu-satunya yang sangat aku sayangi.
Awalnya memang kami mengira Openg hanya sakit gigi, atau gusi nya bengkak. Tapi
lama-kelamaan pembengkakan tidak kunjung sembuh dan bahkan semakin membesar.
Ibu sangat khawatir.
Ayah dan Openg kini sepertinya
sama-sama terlihat sakit setelah tiga minggu di Pontianak. Tepat di malam
senin, Openg merasa kakinya keram dan tidak dapat digerakkan. Setelah itu Openg
juga tidak sadarkan diri selama hampir setengah jam, semua khawatir, semua
panik hingga akhirnya Openg harus di rawat inap di salah satu Rumah Sakit yang
ada di Kota Pontianak. Openg harus mendapatkan perawatan intensif dari dokter.
Seminggu sudah Openg di rawat di
Rumah Sakit, ada yang kurang dalam setiap hariku. Biasanya kami main bareng,
tapi semua terasa sepi. Aku kangen senyumnya, kangen tawanya yang selalu saja
membuatku semangat di awal-awal aku menempuh studi di bangku kuliah ini. Tapi,
yah mungkin Tuhan akan lebih mengetahui semuanya. Aku yakin Tuhan menyayangi
Openg.
“Cepat sembuh Openg,” lirihku dalam
hati saat menjenguknya hari ini.
Dokter yang menyarankan untuk segera
membawa Openg ke Rumah Sakit di Jakarta untuk melekukan perawatan lebih lanjut.
Karena radang gusi dan gigi yang tidak kunjung sembuh pada Openg harus
menjalani operasi. Keterbatasan peralatan di Rumah Sakit itu membuat dokter
menyarankan untuk di rujuk ke Rumah Sakit Dharmais yang diketahui Rumah Sakit
tersebut merupakan khusus untuk menangani pasien yang menderita kanker.
Kanker? Apakah Openg menderita
kanker? Semua bertanya, termasuk aku. Namun kusembunyikan semua pertanyaan itu
dalam relung hatiku. Aku yakin Openg akan baik-baik saja, aku yakin Tuhan akan
menyembuhkan Openg. “Oh, Tuhan. Ku percaya akan kuasa Roh kudus-Mu,” aku
berucap dalam hati sembari menumpahkan segala kekhawatiran ini bersama air
mata.
Keterbatasan biaya memaksa Ayah dan
Ibu harus membawa Openg pulang ke kampung halaman. Rumah Sakit bagus, biayanya
juga tentu akan bagus serta fantastis. Dilema ini yang aku alami. Lalu
bagaimana dengan Openg? Apakah Openg harus dibiarkan begitu saja? Apakah sehat
hanya milik orang berduit saja? Di Pontianak aja sudah sangat banyak biaya yang
di keluarkan untuk perawatan. Bukan dengan bantuan Jamkesmas atau Askes karena
kartu sakti itu tidak berlaku untuk digunakan di Rumah Sakit yang cukup bagus
di Kalimantan Barat ini. Oh, Tuhan Yesus. Tolong keluarga kami. Kemana lagi
kami harus mengadu, hanya kepada-Mu kami berserah Bapa.
***
Hampir dua minggu, tetap tidak ada
perubahan dalam diri Openg. Tidak ada pilihan lain selain harus membawa Openg
ke Jakarta. Tepat di awal bulan September tahun 2012 Openg di rawat di Rumah
Sakit Mochtar Riady Comprehensive
Cancer Centre (MRCCC) Siloam di Semanggi, Jakarta.Selatan. Tidak
hanya Openg, sebelumnya tanteku juga pernah di rawat di Rumah Sakit itu karena
sebuah tumor ganas yang bersarang di otaknya. Di Rumah Sakit itu Openg dirawat.
Dokter serta perawatnya sangat baik dan ramah. Setelah menjalani beberapa jenis
test serta pengobatan akhirnya diketahui penyakit sesungguhnya yang diderita
Openg. Dengan sangat berat dokter memvonis Openg menderita kanker getah bening
stadium 4. Iya, stadium itu adalah stadium akhir.
Tersayat, pilu, semua bagai
tersambar petir. Ibu, Ayah semuanya shock mendengar penuturan dokter. Tak
terkecuali aku yang saat itu tidak bersama Openg karena berada di Pontianak
untuk menjalani aktivitas kuliah. Aku tersentak kaget saat mengetahui itu semua
lewat telepon.
“Apa? Kanker?” Tangis ini tak bisa
terbendung lagi saat aku mengetahui semua itu. Terdengar pula tangis Ibu di
ujung suara telepon. Membuat aku tak sanggup untuk berkata apapun lagi.
“Ya,
Tuhan. Cobaan apalagi yang Engkau berikan ini? Buat kami sanggup hadapi ini
semua Tuhan.” Aku menggumam disela tangisku. Semua ini bagai cerita dalam
sebuah sinetron saja, tak pernah aku mengira jika hal ini terjadi pada Openg.
Semakin
hari, Openg semakin parah. Sehingga ia harus segera menjalani Kemoteraphi. Iya,
setiap minggu Openg harus menghadapi alat-alat Kemoteraphi yang sungguh luar
biasa sakitnya.
“Kuatkan
dia, Tuhan. Aku sangat menyayanginya. Jaga dia selalu Tuhan Yesus.” Lagi-lagi
aku menumpahkan segalanya bersama air mata ini. Aku yakin Openg pasti menangis,
saat menjalani Kemoteraphi. Dia pasti merindukan ku seperti aku yang kini
sangat merindukannya.
Setiap
hari, Openg selalu menelponku. Dia menceritakan semua yang ia rasakan, dan
segala yang ia lalui disana. Dan setiap hari pula air mata ini tak dapat aku
bendung dalam sebuah rasa rindu yang teramat dalam. Aku ingin segera melihat
keadaan Openg disana, aku ingin selalu ada disampingnya.
“Kakak
kapan kesini? Kasihan Ayah dan Ibu yang selalu mengurusiku setiap hari,” terdengar
suara openg di ujung telepon.
“Iya,
dek. Kakak juga sudah sangat rindu. Kakak pasti secepatnya kesana.” Aku hanya
berusaha menghiburnya. Karena saat aku ingin ke Jakarta untuk melihat keadaan
Openg, Ayah melarangku untuk meninggalkan perkuliahan. Lagi-lagi karena kuliah
ini yang memaksaku memendam rindu ini.
Ayah
dan Ibu yang selalu setia menjaga dan merawat Openg selama menjalani pengobatan
dan perawatan di Rumah Sakit. Tanpa lelah, tiada henti, itulah pengorbanan
orang tua pada anaknya. Pengorbanan dengan penuh cinta tanpa mengharapkan
apapun, cukup melihat Openg bisa tersenyum setiap hari.
***
Kurang
lebih sebulan Openg di rawat di Rumah Sakit MRCCC Siloam. Lagi-lagi karena
keterbatasan biaya yang memaksa Openg harus dipindahkan di Rumah Sakit lain. Dan
dengan pertimbangan Ayah dan Ibu melanjutkan pengobatan Openg di Rumah Sakit
Dharmais. Disana Openg terlihat sangat bahagia karena ditempatkan di ruangan
yang khusus untuk anak-anak. Openg tak lagi kesepian, ia memiliki banyak teman
disana. Dan salah satu yang diceritakannya kepadaku adalah sosok Intan, seorang
anak berumur 6 tahun penderita kanker darah. Semangat dan senyum Intan yang
selalu ia ceritakan kepadaku. Hal itu pula yang menjadi semangat buat Openg
untuk menjalani proses pengobatan.
Di
Rumah Sakit Dharmais, Openg juga terus menjalani Kemoteraphi setiap seminggu
sekali. Dan aku selalu menanti kabar tentang perkembangan Openg. Saat itu
sebelum menjalani Kemo dia menyempatkan diri menelponku.
“Yun,
lagi apa? Tau nggak, selama aku sakit aku banyak uang lho,” Openg sembari
tertawa kecil. Sungguh bahagia hati ini mendengar tawa itu.
“Yuni
lagi kuliah aja, Peng. Wah, enak dong yang banyak duit. Bagi Yuni dong, lagi
bokek nih,” Aku hanya membalasnya dengan canda.
“Minta
ama kakak aja, Yun. Aku aja di kasih,” Openg membalasnya dengan canda.
“Kan
Openg di kasih karena sakit. Kalo gak sakit mana mau kakak kasih duit, kan
kakak pelit,” Aku sambil tertawa ingin mengajaknya ikut tertawa.
“Ya
udah, Yun. Kalo gitu Yuni pura-pura sakit aja.” Openg sembari tertawa juga.
Sungguh rindu padanya. Segalanya hanya dapat aku curahkan dalam sebuah do’a
untuknya dalam setiap waktuku. Memeluknya dari kejauhan hanya melalui untaian
do’a terindahku.
Ibu
jadi ngomel-ngomel karena candaan kami, dan pesawat telepon pun ditutup karena
sudah ada panggilan dari perawat untuk memasuki ruang Kemo.
“I
love you, Openg. Aku yakin kamu kuat bersama Roh Kudus yang selalu menguatkan
mu,” lagi-lagi air mata ini yang menjadi saksi rasa pedih ini.
***
Kondisi
Openg yang sudah cukup membaik tidak mengharuskan Openg untuk dirawat di Rumah
Sakit, namun ia harus tetap menjalani Kemoteraphi rutin di setiap minggu nya.
Selama menjalani kemoteraphi Openg dan orang tuaku tinggal di rumah Anyo. Di
rumah itu memang penginapan bagi orang tua dan anak yang menderita kanker,
dengan biaya yang relatif murah. Rumah Anyo sering kedatangan tamu relawan, terutama
dari kalangan artis. Pada suatu waktu Openg harus menunda Kemoteraphi nya
karena ingin bertemu artis idolanya. Padahal hari itu adalah jadwal Kemo
terakhir perminggu dan akan dilanjutkan Kemo perbulan. Iya, demi bertemu artis
idolanya jadwal Kemo di tunda. Ayah dan Ibu hanya menuruti kemauan Openg,
karena Openg sangat ingin bertemu sosok idola yang selama ini belum pernah ia
temui.
Semenjak
hari itu, iya semenjak penundaan jadwal Kemoteraphi itu kondisi Openg memburuk.
Dan harus di rawat kembali di Rumah Sakit. Seminggu sebelum ia koma, kami
sempat berkomunikasi. Lewat apalagi kalau bukan telepon.
“Yun, lagi apa?”
“Lagi
santai aja. Openg lagi apa? Gimana perkembangannya?” Aku menanyakan hal yang
biasa aku tanyakan saat menelponnya.
“Badanku sakit
semua Yun, aku udah gak tahan lagi, rasanya aku ingin tidur selamanya,”
terdengar suara lesu yang membuat semangatku down saat itu.
“Jangan
bicara kaya’k gitu. Openg pasti kuat. Ingat rencana Tuhan indah pada waktu-Nya
ya, jadi openg harus semangat gak boleh nyerah sama penyakitnya. Adikku kan
hebat. Semangat ya,” aku terus memberi semangat positif padanya. Aku percaya
janji Tuhan tak akan pernah teringkari.
“Iya,
Yun. Makasih ya. Openg istirahat dulu ya, Yun.” Kata itu yang terakhir ia
ucapkan sebelum telepon terputus.
***
Semenjak
hari itu, orang tuaku tidak sepenuhnya memberikan informasi tentang
perkembangan Openg. Dan semenjak hari itu pula Openg tak pernah lagi
menelponku. Padahal aku sangat ingin mendengar cerita tentangnya setiap hari.
Ayah dan Ibu tak ingin kuliahku terganggu. Mereka hanya mengabarkan tentang
Openg seadanya saja.
Seminggu
sudah aku tak lagi mendengar suara indah, canda, tawa dari Openg. Aku sangat
meindukannya. Di malam yang tiada berbintang itu hanya kulalui dengan
memikirkan keadaannya disana. Tiba-tiba handphone ku berdering. Orang tuaku
memintaku agar segera datang ke Jakarta.
“Ada
apa ini? Apa yang terjadi pada Openg?” pertanyaan demi pertanyaan hadir dalam
benakku saat aku tiba di bandara Soekarno-Hatta. Karena Ayah dan Ibu tidak memberitahuku,
dan tiba-tiba mendadak aku disuruh untuk datang ke Jakarta.
Tepat
jam 10 pagi, aku langsung menuju Rumah Sakit tempat Openg menjalani perawatan.
Tiba disana, hanya wajah lesu, dan sedih terpancar dari kedua orang tuaku. Iya,
Openg kini terbaring di ruang ICU. Mereka tidak mengatakan hal ini sebelumnya,
tiada daya lagi untuk hati ini tersenyum. Semua pahit bagai empedu, segala rasa
aku tumpahkan dalam tangis di pelukan ibu. Aku tak cukup kuat mendengar kabar
ini. Semula aku ingin bertemu Openg dengan bisa bermain bersamanya, bisa
bercanda dan tertawa bareng bersamanya. Tapi, kini aku hanya dapatkan Openg
yang terbaring lemah di ruang ICU.
Jam
besuk baru buka jam 11 siang. Aku harus menunggu sekitar setengah jam lagi
untuk dapat bertemu Openg. Saat jam besuk dibuka, aku adalah orang pertama
bertemu Openg. Perlahan kulangkahkan kaki ini menuju ruangan itu. Aku ingin
segera bertemu Openg, aku ingin bisa memeluknya, meski kini dia dalam keadaan
koma.
Sepi,
tiada kata, senyap, dan hanya terdiam untuk sejenak. Kini aku telah bertemu
Openg, hati ini ingin berlari jauh. Aku tak dapat berkata apapun setelah
mendapatkan Openg dalam kondisi terbaring dengan selang-selang yang mengalir di
sekujur tubuhnya. Dan bahkan aku tak lagi mengenal sosok Openg yang kini
berbeda. Semua karena kanker yang telah menjalar di seluruh tubuhnya, sehingga
tubuhnya membengkak.
Aku
melihat Openg dengan tatapan kosong, ingin ku menghamburkan rasa ini dengan
memeluknya. Perih, hanya tangis, iya hanya tangis yang berusaha mengungkapkan
perihnya rasa hati ini.
“Openg.
Ini Yuni datang untuk Openg,” aku mencoba untuk menyapanya, mengajaknya bicara.
“Maafin
Yuni, ya. Yuni baru bisa datang sekarang,” aku mencoba lagi untuk berharap
keajaiban Tuhan agar ia dapat membuka mata dan melihatku hadir disini untuknya.
Tiada
respon apapun darinya, ia tak dapat berkata apapun. Aku yakin ia mendengarku,
aku yakin ia juga merindukan ku, aku yakin ia juga ingin bertemu denganku. Tapi
kenapa dia tidak membuka mata sekedar untuk melihatku. Aku hanya bisa menatap
wajahnya serta mencium tangannya.
Perlahan
mata itu terbuka dengan penuh keindahan. Ia Openg membuka matanya, mungkin ia
baru saja berada dalam mimpi indahnya.
“Openg.
Ini Yuni datang untuk jaga Openg, Openg cepat sembuh ya.” Kata-kata itu yang
terus aku ucapkan di telinganya.
Masih
tak ada respon apapun darinya, sambil aku memegang erat tangannya yang bengkak
aku tak dapat lagi membendung air mataku. Seketika sepasang mata dengan
tatapan kosong Openg bergerak menoleh ke
arah ku. “Oh, Tuhan. Beri kekuatan untuk adikku.” Aku mengusap air mataku dan
terus memberinya semangat.
Tatapan
mata itu seolah memiliki arti yang begitu dalam yang akupun tak tahu. Entahlah,
mungkin hanya ia dan Tuhan yang mengetahui itu. Tak pernah aku melihat mata bening
seindah ini, yang kemudian tiba-tiba mata indah itu meneteskan air mata yang
aku tak tahu apa artinya.
Tiada
siapapun di ruangan itu, hanya aku dan Openg yang kini dalam keadaan koma. Dan
ia dapat merasakan kehadiranku disini, ia ikut menangis karena tiga bulan ini
merindukan ku. Tapi selama tiga bulan Openg dirawat di Jakarta aku tidak sempat
untuk mengunjunginya.
Ingin
rasanya untuk terus berada disini, bersamanya. Ingin terus melewati waktu
dengannya. Hingga akhirnya jam besukpun berlalu, aku menunggu dan terus
menunggu hingga jam besuk selanjutnya.
***
Openg
yang kukanal selama ini adalah sesosok adikku yang periang, ceria, jahil dan
terkadang membuat aku kesal dan senang. Tetapi kenapa kini sosok itu jauh berbeda
dari yang aku kenal? Adikku yang kukenal dulu sekarang terbujur kaku diatas
tempat tidur Rumah Sakit di ruangan ICU dengan berbagai macam alat terpasang di
sekujur tubuhnya. Apakah masih ada harapan untuk adikku kembali seperti semula?
Sosok yang kurindukan selama beberapa bulan ini. Hanya ke dalam tangan Tuhan ku
berserah.
Tak
lelah untuk bisa bertemu dengannya lagi. Akhirnya jam 17.00 aku masuk ruangan
ICU untuk dapat melihat keadaannya. Aku menyanyikan lagu-lagu rohani dan terus
berdoa bersama kakakku, karena di ruangan tersebut dibatasi maksimal dua orang.
Kakakpun beranjak keluar dan membiarkan aku bedua bersama adikku.
Openg
masih tetap seperti tadi siang. Tanpa bicara apapun, kudapatkan mata indah itu
kembali dengan tatapan kosong. Aku terus berbicara padanya, berharap ia akan
menjawabku. Tapi tak ada respon apapun darinya. Tak pernah berhenti kata do’a
ini untuk Openg, meski waktu kini terus berjalan. Hingga akhirnya jam
kunjunganpun habis dan aku harus meninggalkan Openg sendirian di ruangan itu.
Aku yakin Openg pasti tidak betah disini. Aku menyanyikan satu buah lagu rohani
dan mengusap mata indah itu yang kini kembali mengeluarkan air mata. Openg
pasti ingin bernyanyi bersamaku. “Aku berharap bisa melihatnya tersenyum,
Tuhan.”
Malam
yang sangat mencekap di Ibu Kota. Meski keramaian dan suara bising memenuhi
seluruh sudut kota ini, hatiku tetap terasa sepi tanpa adanya Openg di
tengah-tengah kami. Kini aku hanya bisa bertemu Openg, tanpa melihat ia
tertawa, bercanda seperti saat-saat kami berkomunikasi lewat telepon.
Sebelum
beristirahat malam ini. Aku, Ayah, Ibu dan Kakak berdoa bersama untuk menyerahkan
adikku ke tangan Tuhan. Biarlah Tuhan yang berkehendak atas hidupnya, kami
yakin dan percaya akan Mukjizat-Nya di tengah-tengah keluarga kami. Karena
hanya Dia lah sang pemilik kehidupan dunia.
Mata
ini enggan tuk bisa terpejamkan. Pikiran ini masih pada Openg disana. Biasanya
Openg selalu jailin aku sebelum tidur. Berharap bisa untuk bisa bercanda bareng
Openg lagi sebelum tidur.
Baru
saja beberapa menit mata ini terpejam. Tepatnya jam 03.00 subuh, perawat
membangunkan tidur kami. Kami tersentak kaget dan segera menuju ruangan dimana
Openg terbaring disana sudah ada dokter dan perawat. Dalam perjalanan hati ini
terus mengucapkan kata do’a untuknya, “Tuhan, jaga Openg selalu. Semoga dia
baik-baik saja.”
Semua
terdiam, tiada suara terdengar dalam ruangan itu. Semua bagai patung, iya bagai
tiada siapapun disini. Bagai tersayat sembilu saat dokter berkata adikku sudah
tiada. “Tuhan, cobaan apalagi ini? Aku tak akan mungkin sanggup terima
kenyataan ini, Tuhan.”
Aku
tidak percaya akan hal itu. Berharap ini hanya mimpi. Tak bisa lagi ku tertahan
dengan tangis ini. Ibu, Ayah, dan juga kakakku sangat terpukul dan menangis,
begitu pula aku. Rasa hatiku benar-benar hancur, segala harapan kini telah
patah. Openg kini telah beristirahat di tengah malam sunyi. Seperti yang pernah
ia katakan padaku di telepon, kalau dia telah lelah dan ingin beristirahat
untuk selamanya.
“Openg,
bangun Peng.” Pintaku sembari memeluk tubuhnya yang kini sudah tiada bernyawa
lagi. Aku tak sanggup untuk menerima semua kenyataan ini. Aku belum lama untuk
bersamanya Tuhan. Aku belum sempat untuk merawatnya, seperti pintanya di waktu
itu. Penyesalan yang terus menghantuiku. Aku masih ingin bersamanya, Tuhan.
Masih
memeluk tubuhnya, aku tak ingin Openg tinggalkan kami. Tapi inilah kenyataan
pahit yang harus kami terima, bahwa Openg benar-benar pergi untuk selamanya.
Openg akan menuju rumah Bapa di surga.
Keesokan
hari, kami semua harus membawa jenazah Openg pulang ke Kalimantan Barat untuk
disemayamkan di kampung halaman di Ketapang. Rasa hati ini masih tercambuk luka
yang teramat dalam. Kehilangan adik yang sangat aku cintai, namun aku tersadar
bahwa Tuhan lebih mencintai dia.
Aku
masih belum bisa menerima kenyataan ini. Kenapa ini harus terjadi? Dia pernah
memintaku untuk menjaganya, dan belum lama aku bertemu dengannya kini dia pergi
untuk selamanya. Rasa sesal ini terus ada dalam perasaan, penyesalan selalu
datang terlambat. Iya terlambat, karena sesuatu yang telah terjadi adalah
rencana indah Tuhan yang tak dapat kita tebak.
Kini
aku telah tersadar bahwa Openg telah sembuh total dari penyakit kanker yang di
deritanya selama ini. Tidak ada lagi rasa sakit saat Kemoteraphi, tiada lagi
nyeri lagi yang bersarang di tubuhnya. Tidak ada lagi penderitaan dan tangisan
karena kesakitan yang dia alami. Kini Openg telah bahagia disisi Bapa di surga.
Damailah disana adikku. Aku merindukan Openg, aku akan selalu senantiasa
memeluk Openg bersama do’a yang selalu untuk Openg.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar