Oleh: Nikodemus Niko
Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Tanjungpura
“Kapan sidang skripsi?”
Setidaknya pertanyaan ini yang selalu terlontar dari teman-temanku saat di
kampus. Cukup mengganggu memang, karena sudah semester 9 masih saja betah jadi
penghuni kampus. Cukup malu juga dengan teman-teman se-angkatan (2010) yang
sudah pada seminar bahkan mendapatkan
gelar sarjana di ujung namanya. Dan juga malu dengan adik-adik tingkat yang
tentu menganggap senior-seniornya cukup ‘tidak
pintar’ dalam menempuh kuliah. Padahal bukan karena goblok kami masih berada di kampus, tapi karena bobrok yang masih saja bergelantungan
bersarang di dinding-dinding kampus.
Sebut saja teman-teman
dari prodi Ilmu Administrasi Negara, prodi Sosiatri dan prodi Ilmu Politik yang
mampu lulus dalam waktu kurang dari 4 tahun, bukankah bangga kedengarannya jika
prodi mampu mencetak lulusan sarjana kurang dari 4 tahun. Lalu, kemana program
studi yang satunya lagi yang namanya Sosiologi itu? Kok, tenggelam terbawa arus sungai? Mungkin pertanyaan saya ini
cukup tidak enak dibaca. Tapi, ini adalah ungkapan kemirisan saya sebagai
mahasiswa Sosiologi.
Puluhan sahabat
seperjuangan saya sudah berganti foto profil dengan mengenakan caping permata
yang bernama ‘toga’ itu, mulai dari foto di facebok hingga BBM (Blackberry Massanger). Mereka semua
tidak ada satu orangpun yang berasal dari program studi Sosiologi. Lho, kok bisa? Dalam tulisan ini saya
ingin mengupas alasan-alasan yang menurut saya seperti meng-Anak Tiri-kan prodi Sosiologi.
Flashback sejenak, pada
semester 7 lalu (berarti setahun yang lalu) kami pengurus inti Himpunan
Mahasiswa Sosiologi (HMS) angkatan kedua menghadap ketua prodi (Viza Juliansyah
MA, MIR) untuk menanyakan alasan mengapa di prodi lain kok sudah bisa bimbingan proposal skripsi tapi prodi Sosiologi
belum bisa? Hal utama yang mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar adalah karena
jumlah SKS kami belum mencukupi syarat. Peraturan yang berlaku jumlah SKS untuk
dapat mengajukan outline penelitian miniman 130 sementara kami baru menempuh
128 SKS. Cuma selisih 2 angka, doang.
Nyesek-nya tuh disini (nunjuk jidat).
Awalnya semester 7,
kini saya flashback lagi ke semester-semester sebelumnya. Dari awal semester
kami memang tidak mengalami kendala apapun. Justeru dari awal nampak-nya anak prodi Sosiologi bakalan
menjadi lulusan tercepat, nih
(preeeeeetttt). Kenapa? Karena bila dibandingkan prodi lain, prodi sosiologi
adalah satu-satunya yang tercepat menyelesaikan mata kuliah prasyarat. Seperti,
praktikum I diselesaikan di semester 4 sementara prodi lain di semester 5. Dan
praktikum II diselesaikan di semester 5, sementara prodi lain di semester 6.
Bila diruntutkan Praktikum IàPraktikum II àKKMàProposal
PenelitianàSkripsiàSelesai.
Tapi runutan mata kuliah prasyarat ter-urgent itu tidak semudah ngemeng, bray.
Setelah menjalani
proses panjang perkuliaha yang tak terkira ujungnya itu, segalanya tersendat di
semester 6. Iya, pada semester ini kami hanya di sajikan 3 mata kuliah wajib
saja, atau sama dengan 9 SKS. Sementara prodi lain full class bahkan sampai ada yang masuk kelas malam. Lalu, kami
bisa apa? Minta penambahan mata kuliah, gitu?
Atau memohon agar mata kuliah di full
kan menjadi 24 SKS, gitu? Waktu itu
kami hanya menjalani apa yang ada, karena memang kami pikir memang segitu mata
kuliah yang ada di semester itu.
Kembali ke masa di
semester 7. Dari diskusi kami dengan ketua prodi Sosiologi yang cukup panjang
tersebut kami mendapatkan kesimpulan bahwa kami harus menunggu SKS cukup, alias
menjajaki 1 semester lagi di bangku kuliah. Ya, sudahlah. Tanpa hasil dan tanpa
aksi yang arogan kami menuruti sistem yang ada pada saat itu.
Kami mengira bahwa mata
kuliah kami cukup sampai semester 7 saja, seperti yang berlaku di prodi lain.
Tapi ternyata kami salah, kami harus mengambil mata kuliah wajib yang sempat
hilang pada saat kami semester 6, dan muncul kembali saat kami semester 8.
Sungguh sistem yang cukup aneh bagi saya, bagaimana bisa mata kuliah yang sudah
ditiadakan kemudian muncul kembali? Kami kecewa, kami kesal. Tapi kepada siapa
kami harus berkeluh kesah? Teman-teman di prodi lain sudah menyelesaikan
skripsi di semester 8, sementara kami masih harus mengambil kuliah sebanyak 4
SKS. Ini gilaaa.... Kenapa tidak dimunculkan saat kami duduk di semester 6
lalu? SKS-nya nanggung banget.
Saya selalu berpikiran
positif terhadap suatu peristiwa. Untuk apa disesalkan yang sudah berlalu,
amarah biarlah abadi bersama tulisan (karena sempat saya nyinggung prodi lewat tulisan di koran, tapi gak di gubris). Saya
mengambil lanagkah inisiatif yang positif pula, untuk konsultasi masalah
skripsi dengan dosen Pembimbing Akademik (PA). Terima kasih untuk bapak Drs.
Muhil Shonhadji M.Si yang sangat care terhadap permasalahan mahasiswa-nya, sangat
sedikit jumlah dosen yang seperti beliau. Saya dibimbing secara totalitas oleh
beliau, mulai dari penentuan tema, judul, permasalaha, bahkan hingga hal
terkecil dalam penulisanpun beliau perhatikan.
Finally,
bulan Maret 2014 lalu SK pembimbing saya keluar. Kesempatan dan waktu yang
tiada ingin ku sia-sia kan, terus berkonsultasi dari dosen satu berpindah ke
dosen yang satu nya lagi. Nasib baik, saya mendapatkan pembimbing skripsi yang
sangat ramah dan friendly dengan
mahasiswa nya. Beliau adalah Dr. Bakran Suni, M.Ag dan Dra. Rupita, M.Kes.
tanpa menuunggu waktu lama, sebulan bimbingan saya maju seminar sebagai yang
perdana di prodi Sosiologi angkatan kedua. Senang dapat nilai A+ dari tim
penguji seminar ku kala itu.
Berangsur-angsur
sembari menjalani perkuliahan di semester 8, saya menulis skripsi dengan penuh
cinta dan tanpa ada beban. Mungkin ini yang disebut tanggung jawab dalam tugas
akhir bernama skripsi itu. Turun ke lapangan penelitian yang lokasi nya cukup
jauh dari tempat tinggalku. Saya tidak memiliki kendaraan untuk bolak-balik,
sehingga saya harus tebal muka untuk meminjam motor kakak sepupuku selama
penelitian berlangsung.
Setelah semuanya
selesai, sekitar selama waktu 3 bulan terhitung dari bulan April. Saya
berkonsultasi dan terus berkonsultasi dengan pembimbing. Sebelum menginjak masa
lebaran bulan lalu, 2 dosen pembimbingku sudah membubuhkan tanda tangan pada
lembar persetujuan. Itu artinya saya sudah boleh langsung mendaftar sidang
skripsi. Tapi, sekali lagi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kendala
utama adalah nilai mata kuliah belum dikeluarkan oleh dosen, sementara rekap
nilai dari semester awal hingga terakhir harus tercover. 1 mata kuliah saja
yang menjadi kendala di akhir Agustus bulan lalu. “Cepat daftar sidang, Nik.
Jangan mentang-mentang dapat beasiswa jadi mau daftar ulang lagi semester 9
ini.” Nada bercanda terungkap dari salah satu dosen pembimbingku. Sejujurnya,
beasiswa ku sudah non-aktif semenjak Juli lalu, karena masa penerima beasiswa
hanya 4 tahun saja. Sementara saya kuliah lebih dari 4 tahun dengan serentetan
sistem yang tidak jelas.
Segala persyaratan dan
berkas sidang sudah terpenuhi, saya masukkan berkas ke akademik untuk
mendapatkan persetujuan Pembantu Dekan 1, ini adalah berkas terakhir menuju
kursi persidangan. Lagi-lagi ada saja hal yang tersangkut, pihak akademik
meminta sertifikat TOEFL saya harus diperbaharui dengan sertifikat terbaru.
Apakah sertifikat lama tidak bisa digunakan atau sudah tidak berlaku? Mereka
mengatakan bahwa, takutnya sertifikat TOEFL saya palsu. Tapi kali itu saya
sedikit ngotot karena memang sudah
saya minta surat keabsahan dari UPT Bahasa Untan. Tapi, mereka juga ngotot meminta sertifikat TOEFL terbaru
yang mana model sertifikatnya berbeda dengan sertifikat punya ku. Aku mengalah,
meski geram, kesal dan sangat mempersulit saya. Jika mahasiswa Sosiologi yang
berurusan kayaknya ribet sekali, itu yang aku pikirkan kala itu.
Hari jum’at tanggal 30
Agustus lalu berkas saya masuk ke akademik, karena tersangkut masalah
sertifikat TOEFL saya harus perbaharui lagi hingga jadinya hari Jum’at tanggal
6 Sepetember. Tetapi hingga selasa tanggal 9 hari ini, saya belum mendapat
kepastian kapan saya akan maju untuk sidang. Dalam keadaan seperti ini aku merasa
bahwa di semester akhir itu bukan skripsi nya yang susah, tetapi sistem yang
mengharuskan ini dan itu sebagai persyaratan. Memang tidak sulit mendapatkan
persyaratan tersebut, dari jauh-jauh hari saya sudah persiapkan segala berkas
yang menjadi persyaratan, tapi pengalaman yang saya alami saya dipersulit
seperti ini. Terbersit dalam benak saya, bahwa aku ingin merajuk saja untuk tidak sidang skripsi. Bukan berputus asa, tapi
saya sudah muak dengan semua ini. Belum lagi saya harus belajar menguasai materi
skripsi, belum lagi ngurus ini dan
itu yang diminta akademik kampus. Sementara saya harus jalan kaki berkilo-kilo
meter untuk mengurus selembar demi selembar kertas itu. Bila saja saya memiliki
kendaraan, mungkin tiada kesulitan bagi saya. Tapi keterbatasan saya, penuh
perjuangan dan kerja keras berpeluh-peluh datang ke kampus hanya untuk mengecek
apakah berkas sudah bisa masuk ke jurusan, jawaban “Belum” itu cukup membuat
hati kecewa.
Pontianak,
9-9-2014. 02.38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar