Oleh: Nico Ajah
“Ayah!!!”
Mataku tertuju pada sosok yang tidak asing dimataku.
Dia adalah ayahku, sedang menggandeng perempuan lain yang aku ketahui itu
bukanlah mama. Semenjak minggat dari rumah, ayah tak pernah lagi ada kabar. Mama
pernah bilang kalau ayah memang sudah menikah lagi. Tapi apakah secepat itu?
Apakah ayah sudah lupa dengan janji suci dengan mama ketika menikah dulu? Ayah kemudian
pergi meninggalkan kami. Dan tepat seminggu ayah pergi dari rumah.
“Mama pasti terluka
kalau mengetahui ini”
Tuhan, aku gak sanggup kalau melihat mama harus
menangis lagi. Mama pasti tak akan bisa tidur nyenyak. Apalagi akhir-akhir ini
aku sering mendengar mama menangis.
“Ya ampun, kenapa
mereka menuju restoran ini juga”
“Kamu
kenapa sih, Nin? Dari tadi risih banget kayaknya”
“Oh,
eh. Tidak win. Aku, aku gak apa-apa”
Sahabat ku yang super duper cerewet itu ternyata
mengerti ketidaknyamanan ku.
Oh, God. Kenapa mereka harus duduk di dekat meja
kami. Ini benar-benar petaka.
“Pah,
mama pesen udang goreng ya”
“Iya,
ma. Mama pilih aja mau pesan yang mana”
Ayah dapat uang darimana ya? Kok bisa ngajakin
perempuan Jablay itu makan di restoran. Perasaan aku, ayah tidak bekerja lagi
semenjak kecelakaan motor yang membuat kaki nya pincang. Apa ayah punya uang
simpanan tanpa sepengetahuan mama? Betapa jahatnya ayah pada kami. Untuk bayar
kontrakan saja mama harus membanting tulang bekerja sebagai pembantu rumah
tangga. Untuk makan sehari-hari aku dan adik ku yang bekerja. Sementara ayah
lumpuh tidak berdaya di rumah.
“Ma,
anak-anak mau pesan apa?”
“Sama
kayak mama aja pa”
Anak-anak? Ya ampun, ternyata perempuan tidak tahu
diri itu sudah punya anak. Kenapa ayah bisa semanis itu sih sama anak-anak yang
tidak jelas asal-usulnya itu. Ayah tidak pernah bersikap seperti itu dengan aku
dan adik-adikku. Bahkan adikku pernah di tampar ayah gara-gara tidak bekerja.
Tapi, kali ini aku tidak menemukan sifat ayah yang ada di keluarga ku. Apa dia
bukan ayah? Apa laki-laki itu hanya mirip ayah?
Rasa penasaranku semakin memuncak. Perlahan aku
intip mereka di balik selembar katalog menu untuk ku menutup muka.
“Eh, apa yang kamu
lakuin?”
“Aku gak apa-apa
cantik”
Si gembrot masih aja
sewot sama aku. Walaupun gembrot dia tetap sahabatku yang paling aku sayang. Dia yang traktir aku makan di restoran mahal
gini. Kalau nggak punya teman, aku gak bakal pernah mimpi makan di tempat
mewah.
Dengan sigap aku
berdiri dan menghampiri meja yang tidak jauh dari tempat ku duduk.
“Ayah.
Jadi ini kerjaan ayah? Kasi makan anak orang, sementara anak-anak ayah banting
tulang bekerja untuk cari makan”
Aku marah,aku kesal, aku kecewa bersama dengan isak
tangis yang tidak dapat aku bendung lagi.
“Siapa
dia pa?”
“Eee,
dia. Dia bukan siapa-siapa ma”
“Tapi
kenapa dia kenal papa?”
“Ma,
selera makan papa jadi hilang. Ayo kita pulang”
Ayah langsung pergi tanpa memperdulikan aku yang
semakin terisak.
“Ayah
jahatt..... Ayah brengsekkkkkk......... Aku benci ayah... Aku benci ayahhh”
Aku menangis sejadi-jadinya tanpa memperdulikan
semua orang yang ada di restoran itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar