Tak ada uang
rokok pun jadi
Feature by nico
Pagi ini
cuaca di kota pontianak tampak terselubung kabut asap. Sekitar pukul 09.00,
embun pagi masih turun perlahan mengiringi perjalananku. aku telah melewati
jalan imam bonjol untuk menuju counter hp yang terletak di jalan tanjung pura.
Setelah
selesai membeli pulsa dan juga batery untuk hpku, aku hendak buru-buru pulang
ke rumah karena masih ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Di perjalanan
pulang, tiba-tiba seorang polisi berpakaian lengkap Polantas melintas di depan
motorku. Aku terpaksa harus berhenti, tanpa aku tahu apa salahku.
“Boleh saya lihat surat-surat dan SIM nya?”, polisi itu
langsung melontarkan perkataan itu padaku.
“Maaf pak, saya tidak ada bawa apa-apa”, aku menjawab jujur.
“Lalu apa yang kamu bawa? Motormu itu lampu belakangnya
warna putih. Aturannya warna merah lampu itu”, polisi itu bernada agak kesal.
“KTP mu ada?”, polisi itu menanyakan lagi. Aku rogohkan
dalam tas ku, ternyata KTP ku terselip disana.
“Ada pak”, sahutku sigap. Polisi itu langsung mengambil KTP
ku sembari berkata,
“Ikut saya ke pos polisi”. Aku tersentak kaget dan ikut saja
tanpa berkata apa-apa lagi.
Setibanya
di pos polisi tanjung pura, yang bersampingan dengan pasar tengah. Disana
suasananya sangat ramai sekali, aku beranikan diri untuk masuk ke dalam pos
itu. Disana ku jumpai polisi beberapa orang polisi. Di dalam pos, aku lama
sekali menunggu pak polisi yang menyita KTP ku di jalan tadi. Aku risih dan tak
tahu harus bagaimana setelah sekitar setengah jam menunggu salah seorang polisi
bertanya padaku,
“nunggu siapa dek?”.
“Saya nunggu pak polisi yang tadi mengambil KTP ku”, jawab
ku dengan wajah lesu. “Siapa nama polisi nya?”, tanya bapak itu lagi.
“Tak tahu nama nya, ndak sempat nanya juga tadi”, jawab ku
apa ada nya.
“Ya kalau tidak tahu nama nya, kamu mau nunggu sampai kapan
disini”, kata polisi itu tak bersahabat denganku. Aku kesal diperlakukan
seperti ini, mungkin kata pepatah pontianak mengatakan “saket ati tak belawan”,
itu lah keadaanku saat ini.
Jarum jam
terus berdetak, ia tak kenal lelah. Begitu juga aku yang tak lelah menatap ke
arahnya terus menerus. Mungkin jarum jam itu sudah muak melihat mukaku yang
sudah hampir satu jam setengah menunggu di hadapannya. Sudah banyak yang
menyelesaikan urusannya disini, ada yang kena tilang karena motornya memakai
knalpot racing, ada juga yang salah membelok di area tanjung pura, ada juga
yang motornya tidak memiliki flat, dan banyak kasus yang ku jumpai. Sementara
aku, hanya bengong seperti orang bodoh. Aku mencoba beranikan diri untuk
bertanya pada pak polisi bernama pak Joko yang kebetulan adalah komandan.
“Pak, bagaimana saya ini?”, ujarku padanya.
“Ya mana saya tahu, kamu aja tidak tahu nama polisi yang
mengambil KTP kamu”, bapak itu berkata sambil sibuk dengan hp nya.
“Orang yang ngambil KTP mu pakai motor apa?ciri-ciri orang
nya seperti apa?”, bapak itu menambahkan.
“Kalau tidak salah dia pakai motor matic, kayak vario gitu,
pak. Orang nya tidak terlalu gemuk, ndak juga terlalu kurus”, jawab ku sambil
mengingat-ingat.
“Tidak ada itu, atau kamu coba ke pos yang di garuda”, ucap
dia.
“Ndak lah pak, orang tadi bapak itu suruh saya ke pos sini
kok”, ucap ku masih kekeh pada pendirianku.
“Nanti dulu ya, saya hubungi satu per satu mereka”. Aku
terdiam beberapa saat. Tanpa kata, hanya bisa termenung dengan pikiran yang
berkecamuk dalam benakku.
Setelah
sekian lama aku menanti, sekitar 2 jam lebih. Akhirnya pak komandan itu berkata
padaku,
“bapak yang ambil KTP mu nama nya pak Haris. Dia pakai motor
besar kok, bukan motor bebek”, ucap nya padaku dengan muka yang tak bersahabat.
“Kamu ini gimana mau nya? Mau sidang, nanti bayar dendanya
di pengadilan atau tidak ikut sidang bayar dendanya disini saja?”, bapak itu
bertanya lagi padaku.
“Kalau saya ikut sidang dendanya berapa? Kalau saya bayar
denda disini berapa?”, tanya ku polos.
“Kalau di pengadilan kamu kena tiga pasal kan, belum punya
sim, tidak ada kelengkapan surat-surat, dan lampu belakang motormu warna putih.
Itu dendanya bisa Rp.2.500.000, kalau kamu bayar disini kami bisa bantu kamu
bayar Rp.250.000”, pak Joko itu menjelaskan. Aku langsung tertunduk dan rasa
lemah. Aku tak menjawab apapun. Selang beberapa menit,
“kamu gimana mau nya? Harus cepat, nanti biar saya yang
ngomong sama bapak yang ambil KTP mu itu”, bapak itu melotot padaku.
“Saya tak punya uang sebanyak itu pak”, jawab ku pasrah.
“Kamu adanya berapa?”, tanyanya lagi.
“Saya Cuma punya uang Rp.20.000 , pak”, jawab ku apa adanya.
“Mana ada denda yang Rp20.000”, jawab pak Joko cuek kemudian
bapak itu sibuk lagi dengan hp nya.
Aku
benar-benar pasrah. Apapun yang terjadi aku sudah siap dalam segala keadaan.
Aku menangis dalam hati, namun berusaha ku tahan. Pak polisi yang berperawakkan
gagah dan juga ganteng itu masuk pos dengan penuh wibawa.
“Mana yang KTP nya di tahan?”, tanya dia. Aku langsung
angkat tngan ku,
“saya pak”.
“Kamu sini duduk”, ucapnya lagi. Aku langsung menuju kursi
dan duduk tepat di hadapannya.
“Kamu udah macam satpol pp saja ngambil-ngambil KTP, ris”,
ucap pak joko pada pak haris.
“Kamu melanggar beberapa pasal”, kemudian pak haris mulai
menjelaskan pasal demi pasal, sembari menunjukkan buku tilang nya pada ku.
“Jika kamu membayar denda disini hanya Rp250.000, itu
sebagai uang titipan sidang nama nya”, pak haris mengakhiri penjelasannya.
“Saya tidak punya uang sebanya itu pak”, jawab ku.
“Kalau begitu, kami bisa bantu kamu, Rp100.000, bagaimana?”,
sudah seperti negosiasi barang saja. Aku langsung menutup muka ku, tanpa sadar
aku menangis di depan polisi itu.
“Kamu kenapa menangis?”, tanya pak Haris padaku.
“Saya gak punya uang segitu pak”, jawabku.
“Kamu punya nya berapa?”, tanyanya lagi.
“Saya Cuma punya Rp20.000, pak”, jawabku.
“Tidak bisa dek, disini sudah tertulis minimal itu
Rp100.000, kalau bisa sih saya akan bantu. Kalau kamu tidak bisa bayar motor
kamu yang kami tahan”, ujar dia lagi.
“Sudah masukkan saja motor nya, udah gak punya sim, gak ada
surat-suratnya lagi. Jangan-jangan motor ngambil di parkiran tu”, sahut polisi
yang bernama pak Irsyad.
“Tu, atasan saya sudah beri perintah itu”, kata pak haris.
Aku menutup muka, sembari menangis. Isak tangisku semakin terdengar saat kunci
motor ku di ambil. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa pasrah.
“Masa’k gara-gara lampu motor aja, motor saya harus di sita
pak. Tadi saya Cuma beli pulsa doang, gak nyangka akan kejadian seperti ini”,
ucapku, aku sudah tidak menangis lagi.
“Kalau begitu, kamu pulang dulu ambil uang nya, saya
ijinkan”, ucap pak haris.
“Tapi saya benar-benar tidak punya uang segitu pak”, jawabku
ngotot.
Setelah
sekian lama bernegosiasi, “kalau begitu suruh dia beli rokok jak”, kata pak Joko.
“Ya sudah kamu dengar kan apa kata komandan saya, nanti abis
ini kamu ke bengkel ganti lampu nya dengan warna merah ya”, kata pak haris
padaku.
“Iya, pak”, jawabku. Aku harus membeli rokok sampoerna mild
dan L.A mentol. Itupun ada sedikit kesalahan lagi, rokok L.A yang aku beli
salah.
“Orang minta nya L.A mentol, di beli nya L.A mint, tukar
lagi sana”, ucap pak Irsyad, dengan nada tegas namun agak sedikit bercanda. Aku
yang tidak mengerti soal menyoal rokok terpaksa ku langkahkan kaki ku menuju
warung tempat ku membelinya. Aku lesu, aku lapar, sudah hampir setengah tiga,
belum ada sebutir nasi pun masuk dalam perut ku. setelah urusan rokok selesai,
aku pamitan dengan bersalaman pada pak joko dan pak irsyad.
Sungguh ini
menjadi pelajaran berharga buatku, betapa rumit nya berurusan dengan pihak
kepolisian, ujung-ujung nya duit juga. Disadari atau tidak, duit bisa mengatasi
segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar