Oleh: Nico Ajah
28 Oktober 2014
Hari
ini, mungkin saja hari pengadilan terpanas yang aku rasakan selama ini. Itu masih
dalam angan kemungkinan sih. Test LGD di hari pertama sudah membuat tubuh ini
panas dingin, seperti es teh manis yang belum diminum peneyantapnya (apa
hubungannya sih?). Flash back malam harinya. Hmm, aku masih merasakan hawa jika
hantu itu benar-benar dekat denganku. Ah, mungkin ini firasatku saja. Tetapi,
apa pun itu namanya, hantu berambut panjang itu benar-benar nyata dalam intuisi
ku. Aku pejamkan mata sejenak, aku mencoba melihat dengan mata batinku, benar
saja seorang perempuan berambut panjang samar-samar dalam penglihatanku. Sementara
di ruang dapur, seorang suster ngesot agak malu untuk mendekati kami. Oh, God. Ini
benar adanya, sembari aku membuka mata. Aku bukan seorang paranormal, atau
seorang yang bisa menerawang masa lalu dalam artian indigo. Bukan, aku hanyalah manusia biasa yang meng-imani adanya
Tuhan. Tapi kali ini, bayangan itu benar-benar terlihat ada. Mungkin karena
hawa yang mengitari rumah ini.
Beranjak
dari cerita hantu deh, aku jadi serem sendiri saat menuliskan nya. Aku dan
ketiga sahabat seperjuanganku, berdiskusi atas apa yang terjadi di hari lalu. Bang Irul dan Amin yang
sudah melewati test wawancara, sedangkan aku dan Asyura sudah melewati test
LGD. Bertukar pikiran, saling berbagi pendapat, sharing apa yang telah di dapatkan hari pertama. Ah, bukan hal
biasa lagi si Amin malah asyik telponan. Entahlah dengan siapa, gak ada yang
tahu.
Shut up,
lagi-lagi aku bertemu pagi, aku tidak menyukainya. Aku lebih memilih embun
(apaan sih? Ngacok). Pagi ini tidak
seperti pagi kemarin, kami berangkat tepat pukul 07.00, kebetulan aku kelompok
pertama wawancara hari ini, dan jadwalku jam 08.30. Tuhan, aku masih belum
siap! Apapun yang terjadi, aku akan hadapi. Aku adalah urutan kedua dipanggil. Nyelonong masuk, seperti maling
kebakaran jenggot.
“Permisi
ibu, bapak. Selamat pagi,” kata itu yang mengawali sebelum aku duduk di bangku
empuk, namun serasa bara api bagiku.
“Selamat
pagi, dengan siapa?” bapak itu bertanya padaku yang sudah duduk seperti patung
sedari tadi.
“Dengan
Nikodemus Niko, bapak.” Aku dengan suara datar dan jujur saja nervous binggo.
“Dari
mana mas Nikodemus Niko?” lagi-lagi bapak itu yang bertanya, dua orang ibu-ibu
di samping kiri dan kanan nya hanya sibuk dengan laptopnya masing-masing.
“Saya
dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pak.” Masih dengan suara yang tidak
keruan.
Wawancara
pun berlangsung hangat dan penuh canda dan tawa, sesekali ibu yang aku ketahui
seorang psikolog itu berusaha memanuver pertanyaan, mencari titik lemah ku
dalam menjawab. Tapi aku berusaha tidak tegang dan santai. Seluruhnya,
pertanyaan yang di ajukan tentang pribadi aku. Karena aku berasal dari
kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia dan aku berasal dari
suku Dayak, jadi tempatku dan etnis ku ini yang menjadi pertanyaan panjang, dan
diskusi yang sangat menarik.
Sayangnya,
waktu berjalan dengan begitu cepat. Mungkin 30 menit atau lebih, aku merasakan
kursi empuk yang aku pikir serasa duduk di bara api itu, ternyata tidak. Setelah
berakhir, mereka mempersilakan aku untuk keluar. Namun sayang, aku lupa
bersalaman dengan mereka. Hikz.
Aku
keluar ruangan dengan penuh kelegaan hati, aku hanya berserah pada Tuhan. Apapun
hasilnya kelak, aku akan terima dengan penuh lapang dada. Menanti angin
menggugurkan daun hijau itu sangat tidak mungkin, tapi apapun itu aku percaya
pasti mungkin bagi Tuhan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar